Part. 24
Menutup Mata Ketiga
Menutup Mata Ketiga
"Kalau indigo itu seiring berjalannya waktu kemampuannya bisa menghilang atau berkurang. Namun kalau karomah tidak akan bisa menghilang. Justru semakin bertambah usianya maka akan bertambah juga kemampuannya! Semua kemampuan yang Gendis dapatkan itu sudah ijin kuasa dari Allah!" Jawab Pak haji sambil tersenyum penuh misteri.
Semua mata pasien yang berada di ruangan langsung tertuju ke arahku dan putriku. Kami menjadi pusat perhatian. Terdengar suara salah satu pengunjung menyeletuk.
"Pak haji berarti anak ini besarnya bisa mengobati orang juga seperti Bapak?" Tanya pria bertubuh kurus yang sedang duduk di dekat pintu keluar.
Pak haji mengiyakan ucapan pemuda itu.
"Jelas bisa! Tapi tunggu dia dewasa dan siap! Ini anak karakternya tidak bisa dan tidak suka dipaksa! Jangan sampai dia terpaksa saat menolong orang! Yang ada orang itu bukannya sembuh tapi malah makin parah sakitnya!"
"Wuiihh.. Pak haji punya saingan nih!" Gurau pria itu kembali.
Pak haji hanya tersenyum "Semua rejeki itu sudah ada yang mengatur, mengapa harus takut dan khawatir?" Jawab beliau dengan bijaksana.
Suamiku tertegun mendengar ucapan Pak haji. Sepertinya mas berusaha mencerna ucapan beliau. Ataukah suamiku tidak bisa menerima kenyataan kalau anak kami benar-benar bisa melihat mahluk halus?
Yang pasti kini aku bisa bernafas lega, karena apa yang kurasakan selama ini ternyata juga di amini oleh Pak haji. Semoga saja setelah bertemu dengan Pak haji, pikiran suamiku bisa lebih terbuka lagi dan mau menerima kenyataan kalau putri kami memang terlahir dengan kondisi berbeda dari anak lainnya.
"Berarti cucu saya benar-benar bisa melihat mahluk halus?" Tanya om ragu.
"Gendis ini bukan hanya bisa melihat mahluk halus. Cucu Pak Rusman juga bisa berkomunikasi dan main ke alam mereka. Hal itu merupakan hal yang mudah bagi Gendis!"
"Waduh!! Bahaya dong kalau sampai cucu saya main ke alam mereka dan tidak balik lagi!!" Sahut om dengan raut wajah datar.
"Tenang saja Pak Rusman. Cucu bapak ini sudah punya penjaga. Insya Allah, Gendis aman dan selalu dalam lindungan Allah."
"Apa kemampuan cucuku ini bisa ditutup Pak haji?"
"Saya coba semampu saya. Sini Gendis duduk dekat Pak haji" pinta beliau dengan ramah.
"Ima sini masuk, duduk samping kami" seru om kepadaku.
Gendis semakin gelisah. Berkali-kali putriku meremas bahuku, menandakan dirinya mulai tidak nyaman.
"No..! No.. !!" Pinta putriku dengan wajah memelas.
"Sudah nggak apa-apa. Ada mama disini. Gendis jangan takut ya." Sambil kuelus bahunya agar putriku merasa tenang dan dilindungi.
Inikah saatnya putriku bisa hidup normal tanpa harus melihat dan menerima gangguan dari mereka lagi? Hatiku yang awalnya tenang berubah menjadi cemas, tegang dan panik. Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi!
Beberapa mata pasien memandang ke arahku dengan sinis. Mungkin mereka merasa kesal karena aku yang baru saja tiba malah langsung ditangani oleh Pak haji. Sedangkan mereka yang sudah antri dari pagi masih harus menunggu lebih lama lagi karena sudah aku sela antriannya.
Ruangan semakin terasa pengap dan panas. Begitu banyaknya orang yang berada dalam ruangan yang tidak terlalu luas membuat sirkulasi udara tidak mengalir lancar. Bulir-bulir keringat mulai membasahi punggungku.
Aku mulai duduk berhadapan dengan Pak haji.
Pak haji tampak mengamati putriku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Saya ijin memegang badan putrinya ya" pamit beliau kepadaku.
"Silahkan pak." Sahutku dengan gugup.
"Bismillah Ndis. Allah tau yang terbaik untuk Gendis" bisikku di telinga putriku yang semakin mempererat pelukannya di leherku.
Setelah mengucap kalimat Basmallah, Pak haji mulai menyentuh punggung putriku.
Wajah beliau terkesiap dan menarik tangannya kembali.
"Ini anak cerdas banget ya!" Seru Pak haji dengan tatapan kagum.
"Aku nggak tau Pak!" jawabku dengan jujur.
"Iya, Gendis ini luar biasa cerdasnya. Lihat saja nanti kalau sudah sekolah, anak ini dengan mudahnya bisa menyerap pelajaran. Pola pikirnya juga berbeda dengan anak seusianya. Bisa dibilang IQ Gendis di atas rata-rata anak seusianya."
"Maaf Pak haji, pola pikir berbeda itu maksudnya gimana?" Aku mencoba memberanikan diri bertanya tentang putriku.
"Rasa ingin taunya juga tinggi. Siap-siap saja Ibunya kewalahan menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya yang di luar logika." Jawab Pak haji sambil mengelus punggung Gendis.
"Anak yang luar biasa....!!!" Serunya dengan senyum sumringah.
Pak haji melanjutkan ucapannya
"Atas seijin Allah, putri Ibu sudah mendapat penjaga bersamaan dengan ditiupkan ruh ke dalam janinnya. Penjaganya ini sudah menemani Gendis dari dalam kandungan Ibunya sampai sekarang. Bisa dibuang atau tidak ya?" Pak haji menggaruk-garuk kepalanya yang memakaj koliah berwarna putih dan memasang wajah jenaka.
Sepertinya beliau berusaha mencairkan suasana yang terlihat tegang. Bibirku mengerucut, berusaha menahan tawa.
"Saya coba ya.. Tapi semuanya kembali lagi ke Allah! Karena saya hanyalah manusia biasa!"
Pak haji mulai melakukan gerakan seperti sedang menarik sesuatu dari punggung putriku.Tangannya mengusap punggung Gendis dari atas ke bawah. Putriku beberapa kali berusaha menepis tangan Pak haji. Ia tidak menyukai jika tubuhnya disentuh oleh orang asing.
"NO! NO!! NO....!!!" Bentak Gendis sambil terus berontak.
Namun Pak haji tidak mengindahkan teriakan putriku. Beliau terus melakukan gerakan mencabut dan membuang dengan tangan kanannya. Namun berkali-kali juga tangan Pak haji seperti tersedot ke arah punggung Gendis.
Terlihat peluh mulai bercucuran di setiap sudut dahinya.
Pak haji menghela nafas dan menyeka buliran keringat yang membasahi keningnya. Senyuman mengembang muncul dari ujung bibirnya.
"Waaah.. ini mah susah dibuangnya. Jangankan dibuang, ditutup saja tidak bisa" kelakarnya sambil tertawa kecil.
"Jadi maksud Bapak, putri saya tidak bisa ditutup mata batinnya?" Wajah suamiku terlihat pias. Sepertinya ia merasakan kekalahan sudah berada di depan matanya.
Pak haji menganggukan kepalanya.
"Ini anak memang berbeda. Ya mau tidak mau, orangtuanya harus bisa menerima keadaannya" saran Pak haji bijaksana.
"Atau saya coba membikin yang di badan putrinya agar tidak bisa menguasai Gendis sepenuhnya. Tolong wajah Gendis dihadapkan ke saya." Pinta Pak haji sambil terus mengamati putriku.
Tangan Pak haji mulai ditempelkan di dada Gendis dan disambut perlawanan oleh anakku. Gendis mulai memukul dan menendang tangan Pak haji. Ia mulai berontak dan menjerit.
Matanya memandang penuh amarah disertai amukan yang terucap dari bibirnya "NO...!! NO..!!" Teriaknya sambil meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
Amukannya benar-benar membuatku kewalahan! Aku berusaha memiting tangan dan kaki anakku, namun usahaku sia-sia! Tenagaku kalah kuat dibandingkan dengan kekuatan Gendis yang masih berusia satu tahun!!
"Sudah selesai ...!!" Deis Pak haji sambil menyeka keringat yang membasahi dahinya.
"Bagaimana hasilnya Pak?" Tanya suamiku penasaran.
Pak haji menghela nafas panjang dan meminum segelas air putih yang berada di sampingnya.
"Maaf mas, saya tidak berhasil. Yang di badan putri bapak menolak. Tadi saya juga sempat berkomunikasi dengan yang menjaga tubuh putrinya. Beliau berkata ke saya, tolong jangan ganggu saya karena saya tidak mengganggu siapapun. Saya juga tidak berniat mengganggu anak ini. Saya hanya menjaga dirinya. Itu saja yang bisa saya sampaikan." Terang Pak haji sambil mengurut tangan kanannya yang mungkin terasa pegal.
Aku melirik menatap wajah suamiku. Kulihat om tampak menepuk-nepuk paha suamiku.
"Sudah Mas Dedi, berarti ini memang sudah menjadi anugerah dari Yang Maha Kuasa. Gendis sudah ditakdirkan terlahir berbeda. Tolong Mas Dedi mau berbesar hati menerimanya. Dan tolong sudahi petualanganmu. Sudah cukup jangan nakal lagi!! Punya anak yang berbeda itu memang tidak mudah! Mari mulai semuanya dari awal lagi dan fokus membesarkan Gendis." Nasehat om kepada suamiku.
Entah apa mas mendengarnya atau tidak. Karena yang kulihat, pandangan matanya tampak hampa. Mungkin logikanya menolak semua kenyataan ini.
Aku yakin hati suamiku pasti berontak mendengar penjelasan Pak haji. Mas yang mati-matian tidak pernah mau mengakui indra ketiga putrinya, sekarang harus menghadapi kenyataan jika anak satu-satunya ternyata terlahir indigo!
"Pak haji, maaf.. saya mau tanya." Tuturku sopan.
"Iya ada apa?"
"Yang di badan putriku itu wujudnya seperti apa?" Jujur aku begitu penasaran dengan sosok mahluk yang dibilang selalu menjaga putriku.
"Kalau Ibu atau Bapak ingin melihat wujudnya, saran saya saat tengah malam dan Gendis sudah tertidur. Ibu atau Bapak melakukan shalat tahajud dan zikir sebanyak-banyaknya memohon kepada Allah untuk melihat penjaga anak kalian. Setelah itu lihatlah ke arah Gendis yang sedang tertidur. Itulah wujud Gendis sebenarnya."
Aku memicingkan mataku saat mendengar penjelasan beliau. Semuanya di luar nalar! Aku yakin, suamiku juga berpikiran yang sama denganku.
"Apa ada lagi yang ingin ditanyakan?"
Aku berusaha mengingat sederetan pertanyaan yang sudah kususun dalam otakku, namun semuanya buyar!!
"Pak haji, Gendis alergi dingin. Apa bapak bisa menyembuhkannya?" Tanya suamiku yang sepertinya paham dengan sifat pelupa istrinya.
"Sebentar saya cek dulu."
Pak haji mulai memegang dada Gendis. Matanya terpejam dan tangannya terlihat sedikit bergetar.
Perlahan-lahan Pak haji membuka matanya kembali.
Aku benar-benar menaruh harapan besar agar alergi putriku bisa disembuhkan.
"Paru-parunya Gendis berembun. Mohon maaf, saya tidak bisa menyembuhkannya. Kalau saya boleh memberi saran, tolong orangtuanya berbesar hati menerima kekurangan ini. Karena kekurangan Gendis tidak sebanding dengan semua kelebihan yang telah Allah anugerahkan kepadanya."
Aku menghela nafas panjang. Pupus sudah harapanku ingin melihat anakku terbebas dari alergi yang kerap menyiksanya jika sedang kambuh.
Pak haji tampaknya bisa membaca raut wajahku yang tampak kecewa dengan ucapannya.
"Anggap saja ini sebagai ujian Gendis. Insya Allah kalau saatnya tiba, Gendis bisa mengobati dirinya sendiri." Pungkasnya berusaha menenangkan perasaanku.
"Satu lagi Pak haji. Gendis ini susah tidur cepat. Dari bayi sampai sekarang, Gendis tidurnya selalu malam bahkan hingga menjelang subuh. Putriku kuat melek! Apa ada cara biar Gendis bisa tidur cepat?" Pintaku penuh harap.
"Mas bisa tolong belikan air aqua botol?" pinta Pak haji ke suamiku.
Dengan tergesa-gesa suamiku segera menuju ke warung yang berada di sebrang tempat praktek. Tak lama kemudian mas kembali dan menyerahkan sebotol air mineral ukuran besar ke Pak haji.
Pak haji membuka tutup botolnya, mulut beliau terlihat merapalkan sesuatu.
Air mineral yang tadinya diam dan tampak tenang tiba-tiba mulai berputar. Awalnya putarannya terlihat pelan namun lambat laun putarannya berubah menjadi pusaran air yang kuat.
Beberapa orang yang berada dalam ruangan terpekik kaget. Semua tampak terkejut dan memandang penuh tanda tanya ke air mineral yang terus berputar sangat cepat.
"Iihh... itu airnya kenapa tiba-tiba bisa mutar begitu?" Bisik seorang wanita tua kepada pasien yang duduk di sebelahnya.
"Iya.. ya..!! Ko bisa airnya tau-tau mutar cepat begitu!!" Disusul sahutan suara Ibu-ibu lainnya.
Ruangan yang tadinya hening mendadak menjadi ramai. Semua orang menunjukkan raut wajah keheranan sekaligus berdecak kagum.
Pak haji tertawa.
"Ya Allah.. baru kali ini saya mendapatkan pasien seperti ini!" Ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Pak haji melanjutkan ucapannya sambil tersenyum lebar "Sudah puluhan tahun saya menangani berbagai macam pasien. Namun hanya Gendis yang bisa membuat air berputar seperti ini!!! Gendis... Gendis...!!" Seloroh Pak haji sambil terus mengamati putaran air yang tidak juga berhenti.
"Artinya kenapa Pak?" tanya mas dengan expresi bingung.
"Ini artinya putri Bapak itu aktif sekali! Gendis tidak bisa diam!! Pikirannya selalu bekerja, bahkan ketika ia sedang tertidur, pikirannya terus bekerja!!"
"Jadi putri saya bisa tidak bisa tidur normal seperti anak kecil lainnya?" Sambung mas dengan wajah penuh harap.
Lagi-lagi Pak haji menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Susah ini Pak! Putri bapak ini selamanya akan kuat melek. Dia bisa tidur kalau benar-benar sudah merasa lelah. Dan tidurnya ini selalu di atas pukul satu, dua bahkan menjelang subuh. Mungkin kelak ketika sudah dewasa, Gendis ini kuat tidak tidur semalaman!!"
Suamiku menepuk keningnya "Waduh.. bahaya ini Pak! Kasihan istri saya kalau harus menemani Gendis begadang setiap malam!!"
"Ya mau bagaimana lagi? Sudah dari sananya begini?" Pa ustad balik bertanya ke suamiku.
"Ada yang ingin saya sampaikan untuk orangtua Gendis. Terutama untuk Ibunya!! Kalau Gendis panas tinggi tolong jangan panik! Tetap tenang dan santai saja. Karena yang saya lihat Gendis akan sering sakit panas."
"Kok tenang Pak haji?? Bukannya kalau anak kecil panas tinggi itu bisa membahayakan keselamatannya?" Aku tak habis pikir dengan apa yang baru saja terucap dari mulut Pak haji. Nalarku berusaha meminta penjelasan!
"Betul....!! Kalau anak biasa terkena panas tinggi maka tubuhnya tidak kuat dan bisa kejang. Tapi untuk kasus Gendis beda!"
"Beda bagaimana Pak?" Sahut om dengan wajah terlihat risau.
"Karena panasnya Gendis ini berkaitan dengan kemampuannya. Dalam arti setiap cucu Pak Rusman panas itu tandanya Gendis lagi naik level. Jadi jangan kaget karena setiap habis sakit panas, maka akan ada kemampuan Gendis yang muncul dipermukaan."
"Contohnya bagaimana Pak?" Lontar mas penuh rasa ingin tahu.
"Lihat saja nanti.. kalian akan tahu sendiri. Masa semuanya harus saya jelaskan?" Gurau Pak haji sambil terkekeh.
"Sehat-sehat terus ya Gendis. Sering-sering main kemari jenguk Pak haji" ucap beliau sambil memijit kaki putriku yang mulai tertidur karena kelelahan setelah mengamuk.
Bisa dibilang pertemuan dengan Pak haji belum membuahkan hasil. Namun aku mulai menemui titik terang. Selain alm. Eyang, ternyata Pak haji juga memiliki pendapat yang sama tentang putriku.
Setelah berpamitan dengan Pak haji, kami segera menuju tempat parkir. Gendis yang sudah terbangun menatap ke arah pohon nangka yang terletak di pekarangan rumah tetangga Pak haji.
"Bye kakak..!! Byee!! Dis uyang uyu cama mama (Ndis pulang dulu sama mama)..!!!" Pamitnya kegirangan.
"Memang di pohon nangka ada siapa?" Tanya om.
"Kakak agi duduk kek!" Celotehnya tanpa memalingkan pandangan dari pohon yang kokoh berdiri tegak.
Hatiku berkata " Apakah kunti yang sedang dilihat oleh anakku? Kenapa Gendis memanggil kunti dengan sebutan kakak?" Aku tak habis pikir dengan sebutan yang putriku sematkan untuk mereka. Siapa yang mengajari Gendis memanggil mereka dengan panggilan kakak?
Sesampainya di mobil, kulihat Dwi sedang asik mendengarkan musik menggunakan earphonenya.
"Bagaimana Pak? Apa Pak haji bisa menutup mata batin Gendis?" Tanya tante yang wajahnya terlihat seperti baru bangun tidur.
"Pak haji tidak bisa menutup mata ketiga Gendis! Menurut beliau itu sudah anugerah dari Allah untuk Gendis!" Sahut om sambil memanaskan kendaraannya.
"Srreeekkkk........."
Salah satu dahan pohon rambutan tiba-tiba bergerak seperti tertiup angin kencang, sehingga merontokkan beberapa helai daunnya.
"Sreeeekkkkk....."
Kali ini dahannya berayun-ayun, seperti ada sesuatu yang sedang bergelayut di dahannya.
"Mama.... look!!!" Teriak Gendis sambil menunjuk ke atas pohon.
"Apa? Gendis melihat apa?"
"Huu..Huuu.." ucap Gendis seraya tangannya menirukan gerakan monyet.
"Big monkey !! Huuu.... huuuuu!!" ujarnya lagi sambil memperagakan suara monyet.
"Big monkey? Apa anakku sedang melihat mahluk yang berwujud gunderuwo? Bukankah wujud gunderuwo sering di gambarkan seperti monyet besar? Tapi mengapa putriku tidak takut sama sekali? Bukankah wujud mereka menyeramkan??"
"Ohh ada big monkey ya di atas pohon? Gendis jangan takut ya. Ada Allah yang selalu menjaga Gendis" seraya kukecup kepala putriku yang bau kecut.
Gendis menatap mataku dan mulai menciumi pipiku.
Kendaraan kami mulai bergerak menjauh dari halaman rumah Pak haji, diiringi tawa cekikikan Gendis yang terus memandang ke arah pohon rambutan yang dahannya terus berayun kencang.
***
Malam harinya saat kami sedang berkumpul di ruang tamu.
"Tante, om.. Dedi minta ijin. Besok Ima dan Gendis mau pulang."
"Loh, ngapain pulang? Kamu cutinya masih lamakan?" Seru tante dengan wajah terkejut.
"Ya gapapa te! Ima dan Gendiskan sudah terlalu lama tinggal disini.Dedi minta maaf, karena kelakuan Dedi jadi merepotkan om dan tante."
"Sudah nggak perlu minta maaf! Gendis itu cucu kami! Om malah senang kalau Gendis tinggal disini. Rumah jadi tidak sepi lagi" sahut om sambil menemani Gendis bermain mobil-mobilan.
"Kalau kalian besok mau pulang ya sudah tidak apa-apa. Pesan om dan tante tolong akur, malu sama Gendis kalau kalian suka ribut! Dan sering-sering main kesini biar menemani tante dan Dwi." Pinta om sambil menciumi tangan putriku.
"Insya Allah.. Om, te! Sekali lagi, Dedi mengucapkan terima kasih karena sudah bersedia mengurus Ima dan Gendis selama Dedi tidak ada."
Wajah om tampak kecewa ketika mengetahui cucunya akan pulang. Harus kuakui kalau Gendis lebih dekat dengan om dari pada ayahnya. Tapi bagaimanapun juga, aku memiliki rumah yang harus kujaga.
***
Pagi dini hari, saat mentari belum tampak di ufuk timur, kendaraan kami menerobos jalan raya yang lenggang.
"Huuf..." sudah lama juga aku menitipkan rumah ke Mba Ani. Ada terbersit rasa takut karena harus menginjakkan kembali kakiku ke rumahku. Trauma akan teror mahluk gaib masih membekas diingatanku.
Kendaraan kami melewati sekumpulan ibu-ibu yang sedang menunggu tukang sayur di pos satpam. "Waaahh ... Gendis kemana saja? Kok baru pulang?" Tanya mereka berbasa-basi.
"Gendis dari kemarin nginap di rumah nininya" jawabku sekenanya sambil tersenyum terpaksa.
"Pantesan tidak pernah kelihatan!"
"Mari bu, kami permisi dulu." Pamitku sambil tersenyum simpul.
"Oh iya..silahkan Mba Ima!"
"Aah.. rumahku, akhirnya aku kembali lagi ke rumah ini! Rumah yang menyimpan berjuta kenangan."
Aku mengucapkan salam dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Hawa pengap menyambut kedatanganku. Mataku berkeliling, semuanya tampak rapi dan bersih. Tidak salah kalau aku memilih Mba Ani untuk menjaga dan merawat rumahku. Segera kubuka semua jendela dan pintu agar siklus udara rumah lebih segar.
Aku mulai mengeluarkan semua pakaian kotor dan menaruhnya ke dalam mesin cuci.
Gendis tampak gembira bisa pulang ke rumah. Dia langsung mengambil mainan lego dan memainkannya di karpet kamar. Sedangkan suamiku langsung merebahkan dirinya di kasur.
"Mas kangen banget sama rumah kita. Rasanya nyaman sekali bisa kembali ke rumah lagi."
"Ima, mas rebahan sebentar ya. Kamu jangan terlalu cape. Nanti saja bebenahnya. Mendingan kamu istirahat dulu."
"Nggak ah! Kamu tahukan kalau aku paling tidak bisa melihat berantakan?"
Aku segera mengeluarkan pakaian bersih dan mulai menatanya ke dalam lemari pakaian. Saat aku hendak mengambil baju salin, tampak sesuatu terjatuh dari lemari pakaianku.
Sebuah foto berukuran kecil. Foto wanita yang pernah mengisi hari-hari suamiku dengan canda tawa!
"Nia..!" Desisku pelan.
Gendis langsung menghentikan aktifitas bermainnya. Putriku melangkah menghampiriku dan jemarinya memungut foto yang terjatuh di lantai.
Ia menatap foto tersebut "Ini ciapa ma?" Tanya Gendis dengan wajah tanpa dosa.
Aku terdiam.
Aku memutar otak, apa yang harus kukatakan kepada putriku. Sebuah kebohongan atau kejujuran?
Saat aku tengah menimbang apa yang harus kujelaskan ke putriku, kuperhatikan Gendis terus menatap foto yang berada dalam genggamannya. Lambat laun sorot mata anakku yang tadinya terlihat polos berubah semakin tajam dan menakutkan !!!
Bersambung
Comments (0)