Part. 23
Pak Haji
Pak Haji
Tatapan tajam putriku mengarah ke meja itu. Ia melangkah mendekat dan wajahnya melihat ke arah belakang meja. Dengan senyum mengembang, putriku tampak menyapa seseorang...
Atau lebih tepatnya sesuatu. Mahluk tak kasat mata.
"Haii....!!!" Sapa Gendis ramah.
"Kamu ciapa?? Aku Dis !! Itu ayah, mama, keke, nini, Uwi...!" Jari telunjuknya menunjuk ke arah kami satu persatu.
Sepertinya putriku sedang memperkenalkan kami semua ke sosok yang berbeda dimensi dengan kami.
"Hello...!!! Nama kamu ciapa??" Gerutunya kesal.
"IIIIIHHHHHHHH.....!!!!"
Mungkin karena tidak mendapat respon dari mahluk yang sedang bersembunyi di belakang meja, putriku tersulut emosinya.
Dengan wajah cemberut putriku menjauh dari meja pingpong.
Om tertawa melihat kelakuan cucunya.
"Hey..!! Gendis lagi ngobrol sama siapa?" Tanya om sambil terus tertawa.
"Kleetek...!!"
Mata kami semua tertuju ke arah meja pingpong.
Dengan mata telanjang, kami yang berada di teras melihat dengan mata kepala sendiri kalau meja berwarna biru tua itu tampak bergerak sedikit. Seperti ada kekuatan yang menggerakkannya!
"Loh..loh.. kok mejanya gerak sendiri Pak?" Mata tante terbelalak melihat meja yang berdiri kokoh bisa bergerak sendiri.
"Sudah cuekin saja! Paling disitu ada temannya Gendis yang lagi ngumpet!" Sahut om dengan santai.
Beda halnya dengan Dwi. Melihat kejadian itu sepupuku langsung berlari masuk ke rumah sambil berteriak ketakutan.
"Aaaahhh....!!!! Gara-gara Gendis lagi nih!!!" Pekiknya sambil berlari ke dalam rumah.
"BRRAAAKKKK......!!!" Tangannya membanting pintu ruang tamu.
Sepertinya suamiku juga penasaran, ia mulai menghampiri ke arah meja yang sempat bergerak. Mas menggoyang-goyangkan meja yang berdiri kokoh. Matanya mengintip di antara celahnya yang hanya terdapat tembok berwarna kuning gading.
Raut wajahnya tampak sedang berpikir keras mencoba mencari penjelasan yang logis.
Mungkin suamiku bertanya-tanya dalam hatinya, mana mungkin ada orang yang bisa bersembunyi di antara celah sesempit itu!
"Sudah Mas Dedi, nggak usah diintip-intip. Yang bisa melihat itu cuma Gendis!" Seru om sambil memanggil Gendis.
"Ndis tolong kemari sebentar. Kekek mau ngomong."
"Apa kek?" Tatap Gendis sambil tangannya bergelayutan di dengkul kekeknya.
"Gendis barusan lihat apa?"
"Itu kek" tunjuknya ke arah belakang meja berwarna hijau.
"Siapa yang ada disitu?"
Penglihatannya yang tajam berputar dan putriku menggeleng pelan.
"Loh kok Gendis gelengin kepala?"
Putriku kembali berjalan menuju ke arah meja pinpong dan matanya menilik ke belakangnya
"Cudah ilang kek.. Bye..! Bye..!" ujarnya sambil berlari dan kembali memeluk om yang sedang duduk di kursi berwarna hijau.
"Kok orangnya hilang? Memang hilang kemana?" Tanya kakek lagi.
Sekali lagi putriku segera berlari menuju ke arah meja. Sepertinya dia ingin memastikan kalau mahluk astral yang ia lihat bersembunyi di belakang meja benar-benar sudah pergi.
"Ilang kek... Wuuusss. No..!!! Noo!!..Nooo..!" celotehnya dengan riang sambil menatap sekeliling garasi.
"Go..!!..Go!!" ucapnya sambil menatapku. Bulu matanya yang lentik nampak serasi menghias tatapan matanya yang tajam.
"Ooh yang ngumpet di belakang meja sudah pergi, takut kali ya karena ketahuan sama Gendis" gurau om sambil memperlihatkan gurat tawa di wajahnya.
Aku yang sedari tadi terdiam hanya bisa mengamati perilaku anakku.
"Apa tanggapan ayahmu setelah melihat kejadian ini di depan matanya sendiri?" Desahku pelan.
Ku perhatikan mas tampak cuek. Dia seolah-olah tidak memperdulikan apa yang baru saja dilihatnya. Mas malah asik mengamati burung love birds peliharaan om.
"Mas Dedi tolong duduk disini sebentar" pinta om seraya menyerahkan sebuah kursi ke suamiku.
"Iya om, ada apa?" tatap mas ke arah om yang sedang memangku Gendis.
"Maaf bukannya saya mau ikut campur urusan kalian. Cuma saya mau tanya, rumah tangga kalian ini mau dibawa kemana?"
"KEK......!!!" Teriakan Gendis mengagetkan kami semua.
"Apa? Gendis mau bicara apa?"
"Mama...! Ayah....! Dis..!!!" Ucapnya berulang-ulang sambil bergantian menunjuk ke arahku dan mas.
"Gendis mau ayah dan mama baikan?" Om berusaha memastikan ucapan putriku.
Gendis tersenyum memamerkan barisan gigi dan lesung pipitnya ke sesosok orang yang biasa dia panggil dengan sebutan kekek.
"Tuh Ima! Putrimu saja ingin kalian bersatu kembali. Sudah berikan suamimu kesempatan sekali lagi." Tanteku langsung nimbrung dan mengeluarkan pendapatnya dengan wajah sumringah.
Mas menatap mataku dalam-dalam.
"Sejujurnya om, tante.. memang itu yang Dedi inginkan. Dedi ingin membesarkan Gendis bersama-sama dengan Ima. Jauh dari Gendis dan Ima benar-benar menyiksa Dedi" papar suamiku sambil menatap ke arah Gendis yang tampak asik mengusap-usap perut kekeknya.
"Ima bagaimana dengan kamu? Om dan tante juga ingin kalian rujuk lagi. Memulai semuanya dari awal tanpa ada rasa dendam dan benci. Kasihan Gendis kalau kalian sampai berpisah." Tanteku mendesak secara halus agar aku mau menerima suamiku kembali.
Aku membenarkan kalimat terakhir yang diucapkan oleh tanteku.
Perasaanku berkecamuk. Aku bingung dengan keputusan yang harus kuambil. Di satu sisi aku tidak ingin putriku tumbuh tanpa figur seorang ayah. Di sisi lainnya aku takut kalau aku memberikan suamiku kesempatan, mas akan melanggar semua janji itu kembali.
Gendis turun dari pangkuan om dan berjalan menghampiriku. Ia menggenggam tangan dan menatap mataku dengan tatapan polosnya.
"Ma..!! Mama... Ayaaaahhh..!!" Suaranya lantang sambil menunjuk ke arah mas.
Aku menarik nafas halus dan panjang. Berusaha keras memikirkan jawaban yang harus kuberikan. Ya Allah mengapa kehidupanku terasa seperti tengah menaiki roller coaster yang bergerak sangat cepat. Membuat kepalaku terasa berat dan perutku menjadi mual.
Kebahagiaan putriku atau hatiku? Mana yang harus aku utamakan?
Aku mendesah gelisah penuh bimbang.
"Sebenarnya memang ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati Ima" ucapku ragu-ragu.
Mas menatap mataku. Tatapan sayu suamiku terasa menohok jantungku.
"Kenapa? Apa kamu ragu kalau saya tidak akan berubah?" Mata sendunya menatap sayu namun cahaya cinta begitu terang memancar dari iris matanya yang berwarna coklat muda.
Aku memalingkan wajahku menatap ke arah kolam ikan.
" Aku.... aku hanya..." bibirku bergetar. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di hadapan pengganti orang tuaku.
Aku mengatur nafasku. Berusaha menahan mati-matian air mata yang mencoba menerobos keluar dari kelopak mataku.
"Aku hanya takut seandainya aku memberi kesempatan sekali lagi, mas Dedi akan menghancurkan kepercayaanku serta putrinya lagi!" Tatapku hampa ke hamparan langit yang semakin bertambah mendung.
"Ima tolong percaya sama mas! Mas berjanji tidak akan mengecewakan kamu dan Gendis lagi. Mas tidak bisa jauh dari kalian! Hanya kalian penyemangat hidup mas!!"
Ku tatap wajah suamiku. Ayah dari putriku. Tatapan matanya masih terlihat sendu dan teduh. Aku melihat ketulusan dan kesungguhan dari ucapannya.
"Jadi bagaimana keputusanmu Ima?" Tanya om dengan tatapan menyelidik.
Aku mengganguk lemah.
"Demi Gendis" bisik hatiku pelan tanpa ada seorangpun yang bisa mendengarnya.
"Alhamdulillah" serentak mas dan keluargaku mengucapkan hamdalah.
"Karena hasilnya sudah jelas. Om mau meminta kesediaan kalian, besok pagi untuk ikut menemui Pak Haji di Cikarang. Kebetulan om sudah membuat janji dengan beliau."
"Pak Haji?? Siapa dia om? Dan ngapain besok kita harus kesana?" Telisikku dengan raut wajah tidak paham.
"Bukan buat kalian! Tapi buat Gendis!"
"Kenapa memangnya sama Gendis?" Cecarku penasaran.
"Om pernah cerita ke Pak Haji tentang Gendis. Semalam, om sudah berkomunikasi dengan beliau agar mau menutup mata batin Gendis. Om tidak tega kalau melihat Gendis suka berbicara sama pohon atau tembok. Om tidak mau kalau orang-orang mengecap anak kalian itu anak yang aneh."
Aku menatap ke arah Gendis. Betul juga kata om. Kalau mata ketiganya tidak ditutup, bisa-bisa anakku di cap anak aneh oleh lingkungan di sekitarnya.
"Coba kalian diskusi dulu, apa kalian setuju dengan pendapat om arau tidak. Om cuma ingin yang terbaik untuk Gendis!"
"Kalau Dedi terserah Ima saja."
Akhirnya setelah berpikir sejenak, aku menyetujui saran om. Kuperhatikan raut wajah suamiku menunjukkan rasa kurang suka dengan keputusanku. Tapi masa bodoh! Aku mengambil keputusan ini karena aku peduli dengan masa depan putriku. Aku ingin Gendis hidup normal seperti anak kecil lainnya.
"Bismillah, semoga ini keputusan yang terbaik untuk putriku." Doaku dalam hati
***
Malam harinya aku dan mas mengobrol tentang saran dari ayah Dwi. Awalnya mas menolak berkunjung ke Pak haji karena bagi mas tidak ada yang salah dengan putrinya. Dan suamiku tetap kekeuh dengan pendiriannya kalau Gendis tidaklah indigo.
Akhirnya terjadilah perdebatan di antara kami.
"Anak kita itu berbeda mas! Harus berapa kali aku ngomong? Dari lahir, Gendis sudah berbeda!"
"Itukan menurut kamu? Kalau menurut aku, Gendis tampak seperti anak kecil lainnya. Anak kita normal. Gendis itu tidak bisa melihat jin atau mahluk halus!"
"Loh, kamu tau dari mana?? Kamu saja jarang di sisinya!! Bagaimana bisa tiba-tiba kamu memberi penilaian seperti itu kepada anakmu sendiri? Aku yang selalu disampingnya! Aku.... Ibunya yang paling memahami anakku sendiri!" Sindirku dengan wajah masam.
"Indigo, mahluk halus..!! Semua itu hanya ada di pikiranmu saja! Imajinasimu terlalu berlebihan tentang Gendis!"
"Ribet ah ngomong sama kamu! Aku tetap setuju sama keputusan ayah Dwi untuk membawa Gendis ke Pak Haji! Aku ingin mendengar pendapat beliau tentang putriku!"
"Terserah kamu!! Atau begini saja. Aku akan mengikuti keinginanmu TAPI... seandainya besok Pak Haji bilang kalau Gendis tidak indigo, saya minta kamu jangan pernah membahas lagi tentang mahluk halus dan jangan pernah lagi terucap dari mulutmu kalau putri kita indigo!!!"
"Oke" sahutku tak kalah sengit.
"Tapi......!!!" Mataku menyalak garang menatap raut wajah pria yang sedang berhadapan denganku.
"Kalau Pak Haji bilang putri kita bisa melihat mahluk halus, saya minta kamu untuk mempercayai semua ucapanku dan ucapan Gendis! Jangan pernah denial lagi tentang Gendis!!" Sungutku menahan amarah.
"Fine....!!" Jawab mas dengan yakin.
Malam ini kulalui dengan perang dingin bersama suamiku. Dalam sanubariku mulai diliputi rasa cemas dan takut dengan hasil penglihatan Pak Haji tentang Gendis. Jika putriku bukanlah indigo dan ini semua hanyalah kebetulan semata, maka aku harus mengubur dalam-dalam semua peristiwa yang pernah aku dan putriku lalui.
Jantungku berdegub lebih cepat dari biasanya. Rasanya tak sabar menunggu pagi menjelang lebih cepat. Namun malam ini waktu terasa berjalan begitu lambat.
***
Keesokan paginya, sekitar pukul sepuluh pagi. Kami sekeluarga berangkat ke rumah Pak Haji yang terletak di Cikarang. Cukup lama perjalanan yang kami tempuh. Melewati jalanan yang kecil dan sepi. Dengan hamparan pematang sawah memanjakan penglihatan kami.
"Jauh juga ya om tempatnya" suamiku memulai obrolan dengan ayah Dwi yang sedang fokus menyetir.
"Memang jauh mas. Tapi jangan salah, pasien yang antri banyak banget. Apalagi kalau hari Minggu! Banyak yang datang dari subuh hanya untuk mengambil nomer antrian."
"Serius om? Berarti banyak orang yang cocok berobat ke Pak haji? Om kenal Pak haji dimana?" Aku mulai penasaran awal mula om bisa mengenal Pak haji.
"Ngapain om bercanda! Kalau cocok atau tidaknya, om tidak bisa menjawab. Yang om tau, pasien beliau banyak sekali. Ada juga pasien yang datang jauh-jauh dari luar kota hanya untuk berobat dengan Pak haji. Om bisa kenal Pak haji gara-gara sering diminta tolong sama Pak Didi untuk menemaninya berobat. Tenang saja, Pak haji itu orangnya ramah. Cuma ya itu, kita harus sabar menunggu."
"Berarti nanti kita juga antri ya om?" Jujur aku paling malas kalau mengantri saat membawa Gendis. Putriku ini sifatnya bosanan. Aku takut kalau Gendis merasa tidak nyaman dan menjadi rewel.
"Nggak, kita tidak antri. Kan om sudah langsung bikin janji sama Pak hajinya. Nah, sebentar lagi kita sampai."
Om tampak mengarahkan kendaraannya belok ke arah kanan dan masuk ke gang kecil yang hanya muat dilalui satu mobil. Mataku melihat ada plang besar di pinggir jalan bertuliskan "Kampung xxx. Pengobatan Alternatif Pak Haji."
"Itu tempat praktek Pak Haji" Tunjuk om ke rumah di ujung sebelah kiri jalan.
Tampaklah rumah bercat putih yang bagiku tidak terlalu besar. Namun begitu banyak orang yang memenuhi teras dan halaman rumahnya. Mungkin mereka semua adalah pasien yang sedang menunggu antrian.
"Om Itu semua orang yang mau berobat ke Pak haji?" Aku terkejut melihat kerumunan orang yang begitu banyak.
"Iya, mereka itu semua pasiennya Pak haji." Balas om sambil membelokkan kendaraan ke sebelah kiri tempat praktek.
Aku berdecak kagum melihat pasien yang bagiku luar biasa banyaknya, rela berpanas-panasan duduk di pelataran luar rumah. Kalau dilihat dari jumlah banyaknya pasien yang datang berarti pengobatan Pak haji termasuk terkenal.
"Kita parkir dimana om?" Tanya suamiku.
"Kita parkir di samping rumah Pak Haji saja. Rumahnya berada tepat di belakang tempat prakteknya."
Kendaraan kami mulai memasuki kebun rambutan yang cukup luas dengan sebuah rumah yang terlihat mewah dan megah berada di sudut kanannya.
Bola mata Gendis mulai berkeliling. Matanya tampak mengamati ke salah satu pohon rambutan yang terlihat paling rindang. Tampaknya ada sesuatu di sana yang menarik perhatiannya
Aku mengela nafas. Baru saja tiba sepertinya sudah ada yang menyambut kedatangan putriku.
"Ma.. ma.. itu apa?" Tanya putriku dengan suara cadelnya seraya menunjuk ke pucuk pohon rambutan.
Aku berpikir sejenak "Hmm.. itu jin, mahluk ciptaan Allah" jawabku sekenanya dengan suara berbisik.
Karena sejujurnya aku juga memang tidak tau apa yang tengah dilihat oleh mata ke tiga putriku. Aku bingung harus menjawab pertanyaannya.
"Ima ngapain kamu bengong? Ayo turun! Gendis mau digendong sama kekek atau ayah?" Tanya ayah Dwi ke cucu kesayangannya.
"Eh.. I-iya om." Aku segera mengalihkan pandanganku dari pohon yang Gendis tunjuk.
"Mama.. Dis.. Mama" ucap putriku sambil melingkarkan tangannya di leherku.
"Jadi Gendis tidak mau digendong sama kekek? Ya sudah kalau Gendis maunya digendong sama mama." Wajah om menunjukkan raut wajah kecewa.
"Pak..! Ibu dan Dwi menunggu di mobil saja ya! Lagian cuma Gendis doang kan yang berobat?" Tanya tante ke suaminya.
Om hanya menganggukkan kepalanya dan menyerahkan kunci mobil ke tanteku.
"Bismillah ya Ndis. Mama cuma bisa mendoakan yang terbaik untuk Gendis."
Siang itu cuaca di Cikarang sangat terik. Aku dan mas mengekor di belakang om berjalan menuju tempat praktek Pak Haji.
Baru saja tiba di halaman teras tempat praktek, putriku mulai merasa tidak nyaman. Dirinya berontak minta turun dan tidak mau diajak masuk ke dalam ruangan yang terlihat penuh sesak pasien yang berobat.
Tempat praktek Pak haji terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan pertama untuk urut yang ditangani oleh staff beliau yang jumlahnya enam orang. Dan ruangan kedua merupakan tempat Pak haji mengobati pasiennya secara langsung.
"Assalamu'alaikum Pak Haji" salam om saat memasuki pintu praktek.
Pak Haji yang saat itu tengah menangani pasien segera menjawab salam dari om. Tapi beliau tetap fokus mngobati pasiennya.
Tampak beberapa anak buah Pak Haji langsung menegur ayah Dwi. Tampaknya mereka sudah mengenal baik om.
Om dan suamiku langsung duduk mendekat ke Pak Haji, sedangkan aku dan Gendis hanya berdiri di depan pintu ruangan kedua. Aroma minyak urut dan berbagai macam rempah menyeruak indra penciumanku. Gendis mulai gelisah. Dia memalingkan wajahnya dan menyembunyikan wajahnya di curuk leherku.
Debaran jantungku mulai berdetak cepat. Perasaanku mulai diliputi rasa was-was. Aku takut dengan hasil terawangan Pak haji tentang anakku satu-satunya.
"Pak Haji itu cucu saya yang pernah saya ceritakan" tunjuk om ke arahku dan Gendis yang masih berdiri di depan pintu.
Pak Haji melirik sekilas ke arah tempatku berdiri.
Kami beradu pandang. Aku tersenyum ke arah beliau.
"Ooh itu anak yang pernah Bapak ceritakan?" Tanya Pak haji ke om.
"Iya betul. Itu cucu saya yang saya bilang suka berbicara sama pohon."
"Anaknya bukan indigo!" Ucap Pak Haji sambil terus mengobati pasiennya. Wajahnya terlihat acuh tak acuh.
"Deeeggg....!!!!" Jantungku terasa berhenti berdetak saat mendengar kalimat yang terucap dari mulut Pak haji.
Darahku terkesiap. Dengkulku terasa lemas.
"Kalau Gendis bukanlah indigo, jadi selama ini apa yang sebenarnya menimpa putriku?" Racau batinku berusaha meminta penjelasan.
Mas memandang ke arahku Ia tersenyum dan menatap penuh kemenangan.
Mungkin dalam hatinya saat ini sedang bersorak gembira dan menghujatku. Karena ternyata pemikiranku selama ini salah!
"Aaahh....!! Bagaimana mungkin penilaianku tentang putriku bisa salah?? Aku Ibunya!! Aku yang paling paham dan mengetahui semua keanehan yang ada pada diri putriku!!" Batinku berontak tidak menerima ucapan Pak haji.
"Yang benar Pak? Berarti benar kalau anak saya tidak bisa melihat mahluk halus?" Suamiku mulai membuka mulutnya dan bertanya ke Pak haji yang wajahnya terlihat tidak antusias menanggapi pertanyaan suamiku.
Pak haji menatap ke arah suamiku.
"Anakmu memang bukan indigo tapi ibunya yang indigo!!!"
"Istri saya indigo pak?" Mata mas terlihat menyipit menandakan tidak mempercayai pendengarannya.
"Iya..!! Yang indigo itu istri bapak!! Bukan anaknya!! Kemampuan istri bapak itu bisa melihat masa depan!"
"Ta-tapi..... Kata istri saya, dia sudah tidak bisa meramal lagi Pak!"
"Itu kan menurut istri bapak! Bukan apa yang saya lihat! Istri bapak itu bisa mengetahui apa yang akan terjadi dangan orang-orang terdekatnya. Bukan begitu Bu?" Raut wajah Pak haji berubah ramah kepadaku.
Aku hanya tersenyum tipis. Rasanya bagiku tidak perlu menjawab pertanyaan beliau. Karena saat ini aku ingin fokus mengobati putriku.
"Ma memang kamu masih bisa meramal?" Tanya suamiku berusaha memastikan ucapan Pak Haji.
Aku hanya menunggingkan senyum kecil.
"Tuh Pak.. istri saya tidak bilang apa-apa. Berarti istri saya memang sudah tidak bisa meramal!!"
Pak haji terdiam dan melanjutkan pekerjaannya membikin ramuan untuk pasien. Tampaknya Pak haji malas berdebat dengan suamiku yang keras kepala!
"Pak haji berarti benar kalau cucu saya tidak indigo? Tapi kenapa cucu saya suka berbicara sama pohon?" Wajah om terlihat bingung dengan situasi yang terjadi.
"Siapa nama cucunya Pak?"
"Gendis... Pak haji." Jawab om.
"Nama lengkapnya?"
"Gendis *** *******" sahut suamiku.
Pak haji mengucapkan nama putriku.
"Nama yang unik, seunik dengan kisah hidupnya nanti."
Beliau terdiam sejenak, seperti sedang menerawang. Sejurus kemudian Pak haji memanggut-manggutkan kepalanya.
"Siapa yang memberi nama Gendis?"
"Istri saya Pak!" Sahut suamiku cepat.
Pak haji menghela nafas dan menatap mataku lekat-lekat. Seolah-olah ada hal aneh yang sedang dilihat didiriku.
"Pantesan...! Ya saya tidak kaget kalau Ibunya yang memberi nama Gendis. Ibunya sudah tau kalau anaknya akan berbeda!!" Pak haji tersenyum kecil.
"Beda gimana Pak?" Suamiku mulai keheranan dengan ucapan Pak Haji.
"Anak Bapak bukan indigo tapi karomah." (Wallahu'alam. Aku pribadi tidak mempercayainya. Karena bagiku karomah itu hanya dimiliki oleh para Wali Allah).
Suamiku menggeser duduknya lebih mendekat ke arah Pak Haji.
"Maksudnya karomah apa Pak?"
"Kalau indigo itu seiring berjalannya waktu kemampuannya bisa menghilang atau berkurang. Namun kalau karomah tidak akan bisa menghilang. Justru semakin bertambah usianya maka akan bertambah juga kemampuannya! Semua kemampuan yang Gendis dapatkan sudah atas ijin kuasa Allah!" Jawab Pak haji sambil tersenyum penuh misteri.
Bersambung
Comments (0)