Aku kembali ke kursiku di depan bersama Nadine, ia menyambutku dengan senyumannya yang khas. Bibir yang tersenyum itu sudah pernah kucium, itu yang kupikirkan saat aku melihat senyumannya. Ah, mengapa pikiranku menjadi tidak beres semenjak mimpi semalam bersama Cauthelia? Mengapa pikiranku selalu tidak pernah jernih setelah peristiwa kemarin bersama Cauthelia.
Tama, sadarlah Tama, tes kembali Dynamic Brake-nya, lihat apakah ada masalah dengan Traction Motornya? Periksa air brake-nya apakah masih normal? Ada apa dengan diriku? Tidak mungkin, ini tidak mungkin, pikiranku berkecamuk. Kututup wajahku dengan kedua tanganku sambil menghela napas panjang, saat itu Nadine hanya memperhatikanku.
Jam pelajaran pun dimulai, aku berusaha kembali berkonsentrasi. Dimana salahku, dimana salahku sehingga pikiranku menjadi kacau begini. Bahkan aku tidak dapat berkonsentrasi atas beberapa mata pelajaran yang diajarkan hari ini. Seketika aku dapat melupakan pikiranku yang sedikit kotor, selanjutnya pikiranku adalah Cauthelia akan pergi meninggalkanku. Jangan sekarang, kumohon, aku tidak harus memikirkan ini kan?
Jam istirahat akhirnya tiba, setidaknya aku bisa melepaskan lelah setelah dua ulangan harian yang datang tiba-tiba dikala pikiranku sedang tidak beres. Seperti biasa, aku hanya menunggu di kelas hingga kelas menjadi sepi, Nadine keluar terlebih dahulu karena ada Rapat OSIS, sementara Aerish bersama Nitta, sahabatnya di kelas XII IPA 2 juga sudah menuju ke kantin sejak tadi.
Apa yang kutunggu di kelas? Cauthelia, jawabku pasti. Setelah kelas benar-benar sepi, aku mengambil ponselku, dan berniat menghubungi Cauthelia. Belum sempat aku menghubungi gadis itu, ia sudah berada di depan kelasku dan melambaikan tangannya kepadaku. Aku tersenyum dan mengisyaratkannya untuk masuk ke kelasku saja.
Ia duduk di sebelahku, dan ia masih menggunakan kacamatanya, sadar aku bisa bereaksi apabila melihatnya mengenakan kacamata tersebut. Ia tersenyum sambil membawa kotak makan yang memang kutahu ia membawanya sejak tadi pagi. Penasaran, akhirnya kubuka sendiri kotak makan tersebut. Luar biasa, ia memasak black pepper beef dengan lengkap dengan salad. Gadis ini membuatku benar-benar berpikir dua kali untuk kutinggalkan.
“Dede masak ini jam berapa emang?” tanyaku penasaran.
“Dari jam empat pagi Kak,” ujarnya dan tersenyum.
Aku lalu memakannya bersama gadis itu, sungguh luar biasa rasa masakan buatannya. Aku benar-benar bingung apa yang harus kulakukan saat ini hatiku terbagi menjadi 3, dan aku harus memilih salah satu. Apakah aku akan setia kepada Cauthelia yang akan pergi meninggalkanku sebentar lagi, ataukah bersama Aerish yang sudah kunanti selama setahun belakangan ini, ataukah memilih Nadine yang sudah mencintaiku dengan tulus sejak dahulu?
Pikiran tersebut terus berkecamuk seiring dengan semakin manisnya sikap Cauthelia kepadaku saat ini. Sempurna, ya gadis ini sempurna, cerdas, cantik, pandai memasak, hanya saja memang agak gemuk, tapi justru itu yang membuatku sangat tertarik kepada gadis ini. Ia juga sangat perhatian kepadaku, entah dengan alasan apa yang aku belum mengerti, hingga akhirnya ia merapikan makan siang kami barusan.
“Makasih yah Dek,” ujarku dan mengusap kepala gadis itu.
Ia tersenyum, “Dede yakin kalaupun nanti Dede harus pergi dari Kakak, kalau kita jodoh, pasti kita akan dipertemukan lagi,” ujarnya dengan senyumannya yang sangat khas.
“Bener sayang,” ujarku, dan aku sengaja memanggilnya sayang, dan sepertinya kuputuskan untuk setia kepada gadis ini.
“Terus selama Dede pergi Kakak mau setia atau gimana?” tanya gadis itu.
“Eh maksud Dede?” tanyaku benar-benar tidak mengerti dengan pertanyaan gadis ini.
“Dede gak tau apa yang akan terjadi ke depan, bisa ato gak kita ketemu lagi, tapi Dede akan coba untuk setia sama Kakak,” ujarnya dengan wajah yang sangat sedih.
“Sejauh itukah?” tanyaku pelan, ia mengangguk, “ke Dublin?” tanyaku, “ato ke Paris?” tanyaku lagi dengan emosi yang tak tertahankan, air mataku menetes pelan saat itu, ia hanya diam tidak menjawab apapun.
Aku terdiam, ia pun terdiam, kuseka sendiri air mataku yang tidak banyak terurai. Ia memandangku dengan wajah yang amat sangat sedih, berusaha tersenyum. Kesedihannya kali ini tidak bisa ditutupi, sehingga kulihat air matanya juga mulai menggenang. Tinggal beberapa hari lagi, mungkin tiga atau empat, batinku berkata.
Suasana kelas mulai ramai, satu persatu siswa di kelasku mulai masuk ke dalam kelas. Termasuk Aerish dan Nadine yang saat itu juga memergokiku tengah berduaan dengan Cauthelia di kelas. Ia pun pamit kepadaku, dengan mencium tanganku, sontak seisi kelas melihat kejadian itu dengan berbagai reaksi. Ia lalu pergi dari kelas dengan membawa kotak makannya.
Masih ada sepuluh menit lagi sebelum jam pelajaran berikutnya. Kuraih ponselku juga headphones yang selalu kubawa. Kupasang jack 3.5 mm ke dalam ponselku dan aku mulai mencari beberapa lagu. Kulihat ada beberapa lagu yang mungkin bisa membuatku tenang dalam waktu 10 menit ke depan.
Lagu yang cukup bisa menenangkan walau hanya sesaat, ya Dahlia dari X Japan. Aku tidak membicarakan lagu ini secara lirik, karena aku tidak paham dengan bahasanya, tetapi yang lebih aku tekankan adalah tentang musik Progressive Rock yang diusung oleh grup ini, begitu fresh, memang tidak semantap Dream Theater dalam mengolah nada, tetapi setidaknya bisa membuat adrenalinku sedikit terpacu dan melupakan beberapa masalah yang ada.
“Tam,” panggil Nadine yang saat itu ada di sebelahku, suaranya samar karena memang aku belum melepas headphones yang kugunakan saat itu.
“Iya Nad, kenapa?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
“Lia mau pergi ya?” tanya Nadine dengan nada serius.
“Kamu tahu?” tanyaku balik.
“Dia udah bikin surat kepindahan sekolah, katanya mulai Kamis dia udah gak sekolah di sini,” ujar Nadine, deg jantungku benar-benar langsung berdetak dengan sangat keras, sembilan hari sejak hari Selasa memang seharusnya adalah Kamis.
“Kamu tahu dia pindah kemana?” tanyaku dengan nada yang serius.
“Nadine gak tahu Tam,” ujarnya pelan, “Nadine cuma dapet informasi dari Kepala sekolah begitu,” ujar Nadine tertunduk pelan.
Lengkap sudah misteri ini, ia datang darimana, bagaimana aku bertemu dirinya pertama kali, lalu kemana ia pindah, semuanya adalah misteri yang sampai saat ini aku belum mendapatkan jawabannya. Elya, aku yakin ini hanya sementara, ujarku dalam hati. Dan aku pun mengikuti pelajaran hari ini dengan banyak pertanyaan terngiang di kepalaku.
Comments (0)