Global Notification

Mau Menulis Karya Mu Disini Sendiri? Klik Disini

- Chapter 21 (Sembilan Hari Terindah)

Lihat semua chapter di

Baca cerita Kembalilah Chapter 21 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita Kembalilah bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.

SEMBILAN HARI TERINDAH (BAGIAN 3)


      Wajahnya langsung berubah memerah, ia tersenyum kepadaku dengan sejuta makna yang indah. Tidak butuh waktu lama, ia pun duduk di belakangku, lalu kami bertolak menuju ke sekolah. Sepanjang perjalanan ia memelukku dengan sangat erat, seakan-akan ia tidak ingin lagi pergi dariku.

      Perasaan ini begitu dalam, entah apa yang bisa kukatakan lagi, setiap detik yang aku lalui bersamanya kini adalah suatu kebahagiaan untukku, dan ini akan berakhir tidak lama lagi. Aku tidak menyiakan waktu bersama Cauthelia, karena aku tahu ia pun merasakan hal yang sama denganku. Rasa takut ini, rasa ingin memiliki ini, rasa ingin selalu bersama ini, semuanya bercampur jadi satu, dan aku menyadari bahwa setiap waktu yang kulalui menambah rasa cintaku kepada gadis ini.

      Kami tiba di sekolah pada pukul 0615 dimana pagi ini mega tidak lagi menumpahkan muatannya ke bumi. Kuantarkan gadis ini hingga tiba di kelasnya, saat tiba di depan kelasnya, kami hanya berpandangan satu sama lain dalam heningnya pagi yang menambah rasa ingin memiliki satu sama lain.

      Ini adalah saat terakhirku bersamanya, pikirku di dalam hati saat kusadari bahwa saat-saat indah ini mungkin saja akan sirna. Kugenggam tangannya lembut saat itu, tanpa ada deklarasi, tanpa ada pernyataan, perasaan kami saling menyatu. Kurasakan desiran cinta yang lembut saat ruas tangan kami berpagutan satu sama lainnya.

      “Kak, makasih yah buat ciuman kemarin,” ujarnya memecah keheningan dengan wajah yang sangat merah saat memandangku.

      “Sama-sama Dek,” ujarku dan tersenyum kepada gadis itu, seketika aku mengingat bahwa Nadine lah yang kucium pertama kali, bukan gadis itu.

      “Itu ciuman pertama Dede Kak,” ujarnya dengan wajah yang sangat merah, tunggu dulu, ia begitu hebat menciumku semalam, dan ia mengakui itu ciuman pertamanya, aku terdiam cukup lama, “Kak?” tanyanya sambil melihat ke wajahku.

      “Iya sayang, maaf Kakak ngelamun,” ujarku yang saat itu tengah memikirkan antara ciuman semalam, dan aku sedikit merasa bersalah atas keputusanku untuk memberikannya kepada Nadine.

      “Dede bukan yang pertama yah Kak?” tanyanya, deg jantungku berdetak sangat cepat.

      Aku bingung harus berkata apa, aku memandangnya tanpa kata-kata, dan menggeleng pelan, “Nadine Dek,” ujarku pelan.

      Gadis itu menghela napas pendek, wajahnya sedikit berubah menjadi sedih, sungguh aku tidak tahan melihat wajahnya seperti itu, rasa bersalah makin menjadi di dalam hatiku. Sejurus kemudian, ia tertunduk dan air mata mengalir perlahan di pipinya. Ia benar-benar menangis, sesekali ia terisak karena tangisnya.

      “Dek,” panggilku pelan sambil kuseka air matanya dengan lembut, ia lalu menggenggam hangat tanganku yang berada di pipinya saat itu.

      “Meskipun Dede tau, Dede bukan yang pertama, tapi Dede pengen jadi yang terakhir buat Kakak,” ujarnya lalu tersenyum, ia menggapai pipiku dengan tangannya yang satu lagi, “Dede selalu sayang sama Kakak,” ujarnya lalu mengusapkan ibu jarinya ke bibir bawahku dengan lembut.

      “Kakak juga selalu sayang sama Dede,” ujarku dengan pelan kepada gadis itu.

      “Kakak gak tau, perasaan apa ini, tapi Kakak takut ga bisa ketemu sama Dede lagi,” ujarku pelan.

      “Sama Kak, entah perasaan apa,” ujarnya dengan wajah yang amat sangat sedih.

      “Is brea liom tu,” ujarku mencoba mengulangi apa yang pernah ia katakan kepadaku, “is brea liom tu ro,” ujarnya dan tersenyum kepadaku.

      Rasa ini benar-benar sangat dalam, entah berapa kali hati ini memuji betapa indahnya rasa ini. Sejenak aku bisa melupakan Aerish dan Nadine, dan gadis ini benar-benar menyita semua energiku setiap saat aku mengingatnya. Ia melepaskan genggaman tangannya kepadaku, masih dengan wajah yang sangat sedih, ia mengeluarkan kacamata yang ia gunakan kemarin lalu menggunakannya.

      Seketika aku mengingat wajahnya kemarin, wajahnya yang begitu binal dan menampakkan betapa dalamnya hasrat yang ia miliki. Ini masih pagi, hal tersebut membuatku bereaksi sangat hebat, ia melihatku saat itu dan ia tersenyum penuh makna. Sudahlah Elya, kau tidak akan dapat apa yang kau inginkan, ucapku dalam hati.

      Kami bercerita banyak hal pagi itu, tentang formula one yang baru berakhir 22 Oktober lalu. Ia juga bercerita banyak tentang ketertarikannya terhadap dunia engineering, hal tersebut jelas saja membuatku semakin tertarik kepada Cauthelia. Setelah mengobrol sekian lama, teman-teman Cauthelia semakin banyak yang berdatangan. Sadar dengan keberadaanku membuat banyak siswa kelas tersebut melihatku satu persatu.

      “Lia, ini cowok loe suruh pulang apa ke kelasnya,” ujar salah seorang gadis, ia sepertinya pemilik kursi yang aku duduki.

      “Oh sorry,” ujarku lalu memandang gadis itu sekilas, aku lalu beranjak dari kursi tersebut dan mempersilakan gadis itu untuk duduk.

      “Kak, ini Kiara Natasha, dia biasa dipanggil Ara,” ujar Cauthelia memperkenalkan gadis itu.

      “Oh, gue Faristama Aldrich,” ujarku tanpa menjabat tangannya.

      “Semua orang di sekolah juga tau Kak,” ujarnya lalu tertawa kecil, “yang gue heran loe itu gak ganteng amat, tapi kenapa fans loe banyak ya?” tanyanya dengan pertanyaan aneh yang menurutku tidak ada jawabannya.

      “Fans?” tanyaku sambil memandang Kiara dan Cauthelia bergantian.

      “Kakak itu fans-nya banyak tau,” ujar Cauthelia dengan senyuman khasnya, dan sialnya reaksi ini hingga saat ini belum mereda kepada gadis itu.

      “Ada-ada aja sih Dek,” ujarku sambil mengusap lembut kepala gadis itu.

      Akhirnya aku pun memutuskan untuk kembali ke kelas, tidak lupa gadis itu mengantarkanku hingga ke depan kelas. Wajahnya masih menampakkan kesedihan yang cukup dalam. Terlebih ditambah rasa bersalahku atas ciuman pertamaku kepada Nadine, padahal bisa saja aku tidak mengatakan hal itu kepadanya. Sudahlah tidak perlu dipikirkan lagi, ujarku di dalam hati, aku berusaha untuk tidak juga larut dalam kesedihanku.

      Sejurus kemudian, Nadine tiba-tiba ada di antara kami, ia tersenyum kepada kami berdua. Deg, detak jantungku berdetak sangat cepat, aku bahkan tidak kuasa memandang wajah kedua gadis itu. Keduanya sama-sama menggunakan kacamata full frame yang membuat wajah mereka terlihat semakin cantik, tidak mungkin, aku tidak boleh terjebak dalam situasi ini, ujarku dalam hati.

      “Hai Kak Nadine,” ujar Cauthelia menyapa Nadine dengan senyumannya.

      “Lia, aku boleh pinjem Kak Tama kan?” tanyanya sambil memandang ke arahku, Cauthelia mengangguk setuju.

      “Boleh kok Kak Nadine, lagian ngapain juga minjem sama aku?” tanya gadis itu sambil tertawa kecil.

      “Kamu bener juga Lia,” ujar Nadine lalu memandangku, “Tama bisa ikut Nadine sebentar enggak ke ruang OSIS?” tanya gadis itu, aku memandang ke Cauthelia dan Nadine, saat itu aku melihat Cauthelia tersenyum agak terpaksa.

      “Okay, tapi jangan lama-lama yah, sebentar lagi masuk,” ujarku, “Dek, Kakak pergi sebentar yah,” ujarku dan menggenggam ringan tangan Cauthelia, ia lalu mendekatiku.

      “Jangan ngapa-ngapain yah sama Kak Nadine, itu di turunin dulu,” bisiknya lalu tertawa kecil.

      Sudah kuduga, gadis itu mengetahui bahwa reaksiku atas penampilannya pagi ini dan ingatanku tentangnya semalam belum usai, sehingga ia sampai membisikkan kata-kata yang membuatku cukup malu. Sedikit menghela napas, aku lalu berjalan menuju ruang OSIS bersama Nadine.

      Aku masuk ke dalam ruang OSIS, disana masih sepi, lalu tidak lama kemudian hujan kembali turun pagi ini. Kami berdua berada di ruang OSIS karena komputer dalam ruang OSIS bermasalah, sementara banyak sekali data kegiatan OSIS yang ada di sana belum sempat di backup.

      PC ini cukup modern, Intel® Pentium® 4 520 Prescott 2.80 GHz Hyper Threading Technology dengan 256 MiB RAM dan juga HDD 40 GB sudah sangat mumpuni untuk melakukan banyak task. Saat kulakukan boot up, memang PC mengalami masalah karena terus menerus loop boot, akhirnya kuputuskan untuk melakukan recovery Windows XP yang kami gunakan.

      “Tam,” panggil Nadine singkat, “kenapa Nad?” tanyaku sambil memandang wajahnya.

      “Makasih yah buat semalem,” ujar Nadine lalu ia menggenggam tanganku, “Nadine seneng banget,” ujarnya kepadaku, wajahnya sangat merah, aku hanya bisa terdiam.

      “Sama-sama Nad, justru aku yang makasih soalnya kamu merelain ciuman pertama kamu buat aku,” ujarku pelan, dan rasa bersalah itu mulai muncul lagi di dalam hatiku.

      “Karena Tama cinta pertama Nadine, terus Nadine mau Tama juga jadi yang pertama buat Nadine,” ujarnya pelan, “mungkin Nadine gak sepinter Lia dengan bahasa Irlandianya, ato Nadine juga gak sepinter Lia dengan pengetahuan engineeringnya, tapi Nadine kenal Tama,” ujarnya dan menggenggam tanganku lebih erat, “Nadine sayang Tama,” ujarnya lalu secepat kilat bibirnya menyambar bibirku sekali lagi.

      Dan terjadilah, aku menciumnya dengan hangat di dalam ruangan OSIS sambil menunggu CD Recovery melakukan tugasnya. Wajah gadis itu memerah saat aku sudah menyelesaikannya. Nadine, mengapa kau begitu lemah saat ini, kemana dirimu yang tegas? Kemana dirimu yang begitu kuat? Aku bertanya-tanya selalu di dalam hatiku.

      “Nad,” panggilku pelan, ia lalu memandangku dengan wajah yang sangat merah, “aku juga sayang sama Nadine,” ujarku dengan detak jantung yang sangat cepat, “aku sayang sama Nadine sejak kamu care sama aku,” ujarku lagi, ia lalu tersenyum.

      “Berarti kelas X ya?” tanyanya.

      Aku mengangguk pelan, “tapi aku gak tahu kenapa aku malah jatuh cinta sama Aerish,” ujarku sedikit menyesal.

      “Loh kenapa gitu Tam?” gadis itu keheranan.

      “Seandainya aku tahu perasaan kamu dari dulu, gak akan begini Nad,” ujarku penuh penyelasan, “aku gak harus jatuh cinta sama Aerish, nungguin dan ngarep selama setahun, terus sekarang ada Elya yang dateng tiba-tiba,” ujarku pelan.

      “Lia ga dateng tiba-tiba Tam, dia dateng udah lama, cuma Tama gak pernah sadar,” ujarnya sambil menunduk, Tama bahkan kenal Lia pas dia masih SMP,” ujarnya yang membuatku kaget, bagaimana mungkin, ucapku dalam hati.

      “Gak mungkin Nad, pertama yang aku inget, aku kenal Elya ya pas MOS waktu itu,” ujarku dan berusaha mengingat semua peristiwaku tentang Cauthelia.

      “Tama tanya sendiri yah sama Lia,” ujarnya dan tersenyum.

      Setelah selesai recovery, kami pun memutuskan untuk kembali ke kelas, cuaca masih hujan pagi ini, sehingga dinginnya kembali menusuk tubuh. Dengan santai, Nadine mendekap tanganku, dan itu disaksikan oleh banyak siswa seantero sekolah. Jangan sampai hal ini sampai ke telinga guru sehingga aku ditegur nantinya, ujarku dalam hati.

      Setibanya di kelas, ternyata kondisi kelas sudah ramai, hampir semua teman-temanku sudah datang. Sepertinya Kegiatan Belajar Mengajar hari ini akan berlangsung normal, setelah dua hari kemarin terganggu karena banyak banjir menggenang dimana-mana. Dan jam 0655 hanya tinggal 14 orang siswa di kelasku yang belum datang, bisa dipastikan kalau mereka tinggal di tempat rawan banjir, maka hari ini mereka tidak akan datang.

      Aerish ada di kursinya, ia memandang ke arahku dengan sedikit sedih, ada apa dengannya? Tanyaku dalam hati. Hello Tama, sudah cukup dengan Nadine dan Cauthelia, kau sudah mencium bibir kedua gadis itu, jangan kau dekati Aerish lagi, pikiranku berkecamuk cukup hebat, tetapi perasaanku benar-benar masih belum hilang kepada gadis itu, sejurus kemudian, aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

      “Hai Tama,” sapanya terlebih dahulu.

      “Pagi Aerish,” sapaku dengan sedikit terbata.

      “Kamu abis darimana sama Nadine?” tanya gadis itu keheranan.

      “Aku barusan dari ruang OSIS,” ujarku ringan.

      “Berdua aja?” tanyanya singkat dengan penuh tanda tanya, “ngapain emangnya?” tanyanya lagi.

      “Tadi aku abis recovery Windows XP punya sekre OSIS yang error, sekarang sih udah bener,” ujarku ringan.

      “Enak yah bisa berduaan sama Tama,” ujarnya sambil mengerucutkan bibirnya.

      “Heh, Aerish,” ujarku mencoba menggenggam tangannya, “itu kan masalah kerjaan, lagian kan aku udah terkenal jadi tukang benerin komputer dari jaman dulu,” ujarku mencoba menenangkan gadis ini.

      “Aku juga pengen dong berduaan sama Tama, bisa gak?” tanya gadis itu dengan wajah sedikit memerah.

      “Malem ini kah?”

      “Kenapa gak besok aja?” tanya Aerish dengan penuh harap.

      “Besok malem Minggu yah, boleh. Rumah kamu masih belom pindah kan?” tanyaku kepada gadis itu.

      “Jam tujuh malem aku tunggu di rumah yah Tam,” ujarnya dengan penuh harap, aku mengangguk setuju, dan seperti biasa aku menjabat tangannya sebagai tanda aku setuju.

      “Makasih yah Rish,” ujarku dan tersenyum kepadanya.

Tags: baca cerita Kembalilah Chapter 21 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah Chapter 21 (Sembilan Hari Terindah) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 21 (Sembilan Hari Terindah) online, Chapter 21 (Sembilan Hari Terindah) baru ceritaku, Kembalilah Chapter 21 (Sembilan Hari Terindah) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling

Cerita Lainnya Yang Mungkin Anda Suka

Comments (0)

Sorted by