Part. 21
Kolam Renang Guling Bag. 2
Kolam Renang Guling Bag. 2
"M-mba.. mereka ada banyak! Mereka sekarang berkumpul di taman." Racaunya dengan suara lirih menahan rasa takut.
"Siapa yang lagi ngumpul Wi?" Aku benar-benar pusing melihat mulut Dwi yang terus meracau tidak jelas.
Di satu sisi putriku tampaknya tidak terganggu dengan kehadiran mereka, raut wajah Gendis tampak bahagia. Anakku selalu tersenyum seperti sedang menyapa teman lamanya. Sedangkan sepupuku malah tampak ketakutan setengah mati! Apa iya pocong bisa menunjukkan eksitensinya di pagi hari? Karena yang ku tau, mahluk astral sejenis pocong hanya muncul saat malam hari tiba.
Belum habis rasa heranku, Dwi mulai bergumam.
"M-mba... i-i-tu.. pocongnya!!" Tunjuk Dwi ke arah taman.
"Mana??" Tanyaku sambil melihat ke arah yang Dwi tunjuk.
"AAAAAH...!!!" Teriaknya sambil mengintip dari bola matanya yang bulat.
"Wi..!! Wi..!! Sadar!! Kita tuh lagi di kolam renang!! Jangan teriak-teriak begitu!"
"E-emangnya mba nggak liat ya?" Tanyanya dengan bibir bergetar dan memucat.
"Lihat apa lagi Wi?"
"Banyak banget bayangan putih di taman. Mereka sedang menatap kemari. Wajah mereka hitam semuanya! Seram banget mba. Aku takut!! Aku mau pulang!!!" Jeritnya histeris.
"Wi tolong tenang dulu! Jangan histeris begitu!!"
"Ta-tapi aku takut mba, aku takut banget..!!"
"Iya mba tau kamu takut tapi tolong kontrol diri kamu! Malu dilihat sama orang! Nanti mereka pikir kamu gila lagi karena dari tadi menjerit-jerit terus."
"AKU NGGA PEDULI SAMA MEREKA!!" Sahutnya dengan nada tinggi.
"WI..!! Tolong atur dulu nafasmu biar nggak ketakutan seperti ini. Percaya deh, mereka tidak bisa nyakitin kita. Kita lagi di tempat terbuka dan banyak orang yang akan menolong ."
"Nolong gimana mba?? Mereka aja nggak melihat apa yang aku dan Gendis lihat!" Sahutnya dengan sewot.
"Ma-ma, guying ebang.. wuuiihh" ucap putriku sambil bertepuk tangan seraya matanya menatap ke atas kepalanya.
Sepertinya guling yang sedang putriku lihat sedang melakukan akrobatik di udara.
"Mba, mba.. cepetan deh kita pergi dari sini. Sebelum yang Gendis lihat malah nyamperin kita!"
Hatiku bertanya-tanya. Tampaknya mahluk astral di tempat ini sedang menunjukkan eksitensinya pada putriku dan Dwi. Tapi kenapa harus Dwi? Bukannya aku?
"Mba udahan aja yuk renangnya, aku takut!!" Wajah Dwi yang putih semakin terlihat pucat pasi. Sepupuku sepertinya sedang tidak bercanda, dia benar-benar tengah diteror oleh rasa takut!
"Tapi kenapa Gendis tidak takut ya Wi! Wujud pocongkan seram banget!"
"Anakmu itu kan aneh mba!!"
Aku melirik sinis ke arah Dwi yang masih membenamkan wajahnya di bahuku. Aku tidak suka kalau putriku dibilang aneh!!
"Tolong dijaga ucapanmu!" Bentakku gusar.
"Nggak tau mba! Mungkin saja di mata anakmu, pocong itu lucu seperti bentuk gulingnya!! Makanya Gendis tidak takut!! Kan setiap hari dia selalu tidur sama gulingnya!!"
"Mba.. ayo udahan renangnya. Aku mau pulang" pintanya tanpa merasa bersalah karena sudah membuatku tersinggung.
Aku terdiam. Aku masih kesal dengan ucapan Dwi.
"Ma, guying egi..egi..! Bye..!" Ucap Gendis sambil melambaikan tangan ke arah taman.
"Gulingnya sudah pergi ya nak? Mereka pergi kemana?"
Gendis terdiam. Sepertinya dia belum paham akan pertanyaanku.
"Wi, sudah aman. Gendis bilang gulingnya sudah pergi. Ayo buka mata kamu" pintaku sambil membelai bahunya.
"Gendis bohong nggak mba?"
"Mana mba tau? Kan mba nggak bisa melihat mereka?"
Dengan takut-takut, perlahan Dwi mulai membuka ke dua matanya. Dia mengintip ke arah taman.
"Alhamdulillah, mereka sudah nggak ada mba."
"Tolong lepaskan dulu pelukanmu, Mba nggak bisa jalan kalau kamu ngelendotin tangan mba. Berat tau!"
Dengan terpaksa, Dwi melepaskan tangannya dari tubuhku. Dia menggenggam erat tanganku.
Dengan bergegas kami segera naik ke atas kolam. Badan Dwi terlihat gemetar. Entah karena terlalu lama berenang atau karena ketakutan.
Dengan cepat kami menuju gazebo untuk megambil perlengkapan kami dan segera menuju kamar mandi untuk membilas tubuh yang bau air kaporit.
Ruang bilas tampak sunyi, hanya ada kami bertiga.
"Mba, bilasnya bareng ya. Aku nggak mau sendirian" pinta Dwi manja.
"Ya sudah, buruan mumpung sepi."
Baru saja aku menyalakan swoher, terdengar shower di kamar bilas sebelah kanan juga berbunyi.
"Serrrr...Serrrr"
"Mba itu siapa di kamar mandi sebelah?" Tanya Dwi setengah berbisik.
"Ya pengunjung yang habis berenanglah. Memangnya siapa lagi?"
"Mba nggak merasa aneh? Kita dari tadi cuma bertiga! Dan tidak kedengeran sama sekali suara orang masuk di ruang sebelah."
"Mama..mama..!! Ka-kak.. Ka-kak..!!" Putriku berulang-ulang menyebut nama kakak.
"Kakak siapa Ndis?" Tanyaku sambil menatap matanya yang polos.
"Ka-kak..ka-kak!!" Tangan putriku mulai menggedor-gedor ke pintu pvc yang menjadi pembatas kamar bilas.
"Ndiiiiss!! Bisa diem nggak??" Dwi melotot ke arah putriku. Tampaknya dia takut dengan kelakuan Gendis yang menyebut nama kakak.
Lampu bohlam kamar mandi tiba-tiba meredup dan kedap kedip.
Suasana tampak mencekam.
Dwi langsung memelukku, tubuhnya bergetar.
"Mbaaaa... kenapa lagi ini!!"
"Heey!! Istighfar Wi! Jangan negative thinking dulu. Bisa saja lampunya mau putus!" Terangku berusaha menenangkan sepupuku yang gampang panik.
"Cipak..cipak" suara cipak air terdengar seperti orang yang sedang melangkahkan kakinya di telingaku. Seperti seseorang yang sedang bersenang-senang di bawah rintik air hujan.
Pikiranku berkutat dengan suara cipakan air yang semakin jelas terdengar. Mungkin hanya air shower yang mengucur terlalu deras, hiburku dalam hati.
"Mmm..mm" Suara senandung dari bilik sebelah membangunkan bulu tengkkukku.
"M-mba.. dia sekarang lagi bernyanyi" rengek Dwi dengan wajah memelas.
"Suaranya kok terdengar seram ya mba?"
Aku mengedipkan mata tanda menyetujui ucapan Dwi.
Suara shower berhenti. Diiringi cipakan kaki melangkah menjauh.
"Ka-kak.. Bye..! Bye..!!" Pekik Gendis kegirangan sambil tangannya melambai ke arah pintu kamar bilas.
"Mba dengarkan suaranya sudah menghilang? Tapi tidak kedengaran suara orang sedang membuka pintu?"
Aku mengintip lewat celah yang berada di bawah kamar bilas. Lantainya terlihat kering!! Tidak ada genangan air yang membasahi lantainya sama sekali! Kamar bilas di sebelahku tampak belum disentuh oleh pengunjung.
Mataku menyipit memikirkan kejadian ini.
Mengapa kami tadi mendengar suara kucuran air yang dinyalakan? Serta suara kecipak kaki sedang bermain air?
Logikaku mencoba menjawab semua pertanyaan yang muncul di pikiranku. Namun hasilnya nihil.
Lampu kamar mandi kembali terang.
"Mba, cepetan yuk bilasnya! Perasaanku nggak enak nih!" Dengan tergesa-gesa, Dwi segera mengganti baju salin.
Aku yang masih keheranan segera cepat-cepat membilas anakku dan diriku. Bodo amat kalau tidak bersih yang penting badan kami tidak bau kaporit.
Aku membuka pintu kamar mandi.
"Kriiiett" terdengar derit kecang dari engsel pintu yang kering.
Mataku melihat ke arah ruang bilas disebelahku yang pintunya tampak terbuka lebar.
"Hiiii" aku bergidik ngeri.
"Mba..! Ayo cepat ! Ngapain malah ngeliatin tu kamar mandi?" Dengus Dwi kesal.
"Mba penasaran saja Wi, siapa yang barusan dari kamar bas sebelah."
"Udaaahh jangan penasaran! Pasti itu teman-temannya Gendis! Merekakan jahil banget! Tadi mba dengar sendirikan kalau Gendis memanggil nama kakak?" Dwi menarik tanganku dengan kasar.
Baru saja kami hendak melangkah keluar kamar mandi. Penerangan dalam kamar mandi kembali kedap kedip disertai semerbak aroma wangi melati memenuhi indra penciuman kami.
Wajah Dwi tampak pias, pupil matanya membesar.
Segera kutarik tangan Dwi untuk segera keluar dari ruang pembilasan. Tampaknya mahluk astral di kolam renang masih ingin bermain-main dengan putriku dan Dwi.
"BRRAAKK..!!"
Tiba-tiba pintu masuk kamar mandi terbanting keras. Aku dan Dwi tersentak, begitupun putriku yang langsung mendekap erat tubuhku.
Wajah kami tampak tegang, menunggu apa yang akan menghantui kami lagi.
Tampak bayangan memasuki ruangan, dua orang remaja putri tampak tertawa-tawa melintas di hadapan kami yang masih terpaku.
"Wooii!! Kalau buka pintu jangan kencang-kencang! Adik gw kaget nih!!" Dwi membentak ke dua remaja tersebut.
"Eh, ma-maaf mba. Tapi tadi kami buka pintunya pelan kok tapi tiba-tiba seperti kebanting sendiri" wajah mereka menunjukkan perasaan bersalah yang tulus.
"Alasan!!" Dengus Dwi sambil memandang sinis ke arah mereka.
"Sudah Wi, sudah. Merekakan sudah minta maaf. Lagian mereka juga tidak sengaja" Sahutku sambil tersenyum ke arah mereka dan mengamit lengan Dwi untuk segera meninggalkan kamar mandi.
"Gila, aku kira tadi yang banting pintunya setan, gak taunya..." mulai terlihat senyum mengembang dari bibir sepupuku.
Akupun mentertawakan kebodohan dan ketakutan yang tadi sempat menguasai diriku.
"Sama Wi tadi mba juga panik banget. Eh, kamu mau makan atau minum dulu nggak?"
"Nggak!! Terima kasih!! Gendis sudah mengacaukan suasana hatiku! Kemarin di Villa sekarang di kolam renang. Besok-besok dimana lagi??" Ketusnya sambil jalan tergesa-gesa menuju ke arah parkiran.
Aku mengekor Dwi dari belakang. Aku maklum kalau dia marah kepada Gendis. Karena kemanapun putriku pergi, mahluk astral selalu menunjukkan wujudnya. Entah mereka sekedar menyapa atau ingin mengganggu putriku.
Ketika melewati taman, mata Gendis berpendar menatap ke seluruh penjuru. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya "Bye..!!" Ujarnya sambil cekikikan.
"GENDISSSSS..!!" Teriak Dwi sambil berlari meninggalkan aku dan Gendis.
Sesampainya di parkiran, kulihat kendaraan ayah Dwi sudah terparkir di sana.
"Wi..! Itu mobil Bapak!" Tunjukku ke arah mobil yang sedang berteduh di bawah pohon ceri yang sangat rimbun.
Dwi langsung mengetuk kaca mobil "Pak..! Bu..! Bukain pintunya..!!" Serunya dengan kesal.
Sepertinya orangtua Dwi ketiduran di dalam mobil hingga tidak mendengar suara ketukan di jendela.
Dengan wajah masam, Dwi langsung mengambil ponsel dari dalam tasnya dan menelpon ayahnya.
"Pak cepat bukain pintu mobil!!" Nada suaranya terdengar gusar.
Tanpa menunggu lama, ayah Dwi langsung membuka pintu mobil dan Dwii langsung menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke kursi tengah.
"Tumben kenapa renangnya cepat banget?" Tanya om dengan mimik wajah heran.
"ITU LOH KELAKUAN CUCUNYA SELALU SAJA BIKIN EMOSI!!" Suara Dwi Cumiik kencang tanda dirinya tengah dilanda emosi.
"Dwi!! Kalau bicara yang sopan!" Bentak Ibunya yang sedari tadi asik memainkan ponselnya.
"Kenapa lagi sama adikmu?" Tanya ayah Dwi dengan sabar.
Dengan menggebu-gebu, Dwi langsung menceritakan semua kejadian di kolam renang.
Seperti biasa, orangtua Dwi menganggap peristiwa yang menimpa kami hanyalah sekedar halusinasi.
"Makanya jangan kebanyakan nonton film horor! Jadi pikiranmu terus dibayang-bayangi rasa takut!" Cemooh Ibunya ke Dwi.
"Halusinasi bagaimana? Sudah jelas cucunya juga lihat! Malas aku kalau ngomong sama bapak dan Ibu! Aku nggak pernah dipercaya!" Balas Dwi tak kalah singit.
"Sudah.. sudah" om berusaha menengahi perang mulut antara Ibu dan anaknya.
"Aku malas ah kalau pergi ajak Gendis! Paaak, aku takut sama Gendis!!" Teriaknya manja.
"Jangan bicara gitu kamu! Jangan sampai Mba Ima tersinggung sama ucapan kamu!" Nasehat ayahnya masih dengan inotasi sabar.
Dwi melirik ke arahku "Halah, sama Mba Ima mah cuek saja! Dia mana punya hati!! Bener nggak Mba?"
Aku menghela nafas dan memaksakan untuk tersenyum.
"Mba Dwi tolong maafin Gendis ya. Gendis belum paham dengan yang dia lihat" sambil kupeluk erat tubuh putriku yang terasa dingin terkena ac mobil.
"Au ah!! Pokonya mulai sekarang aku nggak mau ajak Gendis jalan-jalan lagi! Aku kapok!!"
"Sudah-sudah! Jangan nyalahin Gendis, dia itu belum paham apa-apa!" Bela om sambil terus mengendarai kendaraannya.
"Parah! Bapak malah belain cucunya! Bukan belain anaknya!" Gerutu Dwi tidak mau ngalah.
Aku menatap mata putriku "Ndis apa rasanya menjadi kamu yang indra ke tiganya selalu aktif hingga selalu beinteraksi dengan mereka dan membuat takut orang-orang di sekitarmu?"
"Ma-ma..mama" ucapnya sambil terus mencium pipiku. Putriku tampaknya memahami apa yang ada dalam benakku.
Memasuki kompleks perumahan, aku melihat mobil sedan silver yang biasa dikendarai oleh Pak Ali.
"Om bukannya itu mobil Eyang?" Tanyaku sambil menunjuk ke arah depan.
"Iya benar itu mobil Eyang. Apa keluarga Eyang sudah pulang ya?" Tanya om pada dirinya sendiri.
"Tapi istri Eyang belum memberi kabar ke Ibu kapan pulang" sahut tante sambil mengamati sedan yang melaju pelan.
Om mulai mengikuti sedan silver yang tampaknya searah dengan tujuan kami.
Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Eyang. Dan turunlah sosok tinggi putih dari mobil tersebut.
"Pak Ali" gumamku lirih.
Om segera memarkirkan kendaraan di halaman rumahnya. Kami semua bergegas turun dan menghampiri Pak Ali yang sedang menatap ke arah kami. Kecuali Dwi! Sepupuku langsung memasuki halaman rumah dengan wajah bersungut-sungut.
"Assalamu'alaikum Pak Rusman" sapa Pak Ali ramah.
"Wa'alaikumsalam Pak Ali" om mengulurkan tangannya menjabat tangan Pak Ali
"Habis dari mana ini?" Tanya Pak Ali sambil tersenyum dan mengamati putriku.
"Ini habis nganterin cucu berenang di kolam renang Tirta" sahut tanteku.
Pak Ali menatap mata putriku dalam-dalam.
"Tadi di kolam renang, cantik melihat apa?"
Aku terkejut mendengar ucapan Pak Ali.
"Loh kok Pak Ali tau?' Balasku dengan raut wajah keheranan.
Lagi-lagi Pak Ali hanya tersenyum.
"Alhamdulillah pocongnya nggak nyamperin si cantik. Biasanya sikap mereka itu agresif dan jahil!" Tutur Pak Ali sambil mencium tangan putriku.
Om dan tante menatap keheranan ke arah Pak Ali.
"Jadi benar yang Dwi bilang kalau di kolam renang dia melihat pocong?" Tanya om dengan raut wajah tidak percaya.
Pak Ali hanya menganggukkan kepalanya.
"Si cantik ini kan seperti magnet bagi mereka. Jadi ya jangan kaget, kemanapun cantik pergi pasti akan ada selalu hal ganjil yang mengikuti."
"Kemampuan Gendis bisa dihilangin tidak Pak?" Tanya om dengan mimik serius.
"Hanya waktu yang bisa menjawabnya Pak. Karena kemampuan Gendiskan sudah bawaan dari lahir. Baiklah Pak, saya permisi dulu, ada beberapa surat yang harus saya urus" tutur kata Pak Ali begitu halus.
"Oh iya Pak Ali, silahkan."
***
"Tiiing" nada pesan masuk ke ponselku.
Kulihat nomer yang sangat ku hafal di luar kepala tertera di layarnya. Nomer suamiku yang sudah lama kuhapus dari daftar kontak.
Aku menghela nafas dan menatap kosong layar ponsel.
"Wi, ayahnya Gendis kirim pesan tuh. Tolong kamu saja yang baca dan balas."
Dwi yang lagi rebahan di sampingku hanya cemberut.
"Ngapain harus aku? Itukan suami mba bukan aku!" Jawabnya ketus.
"Mba malas ah, nggak penting juga bagi mba."
"Ya sudah! Kalau nggak penting ya nggak usah dibaca. Langsung hapus saja! Simplekan?" Jawabnya dengan lugas.
Sepupuku ini selain manja, karakternya juga tidak mau repot.
"Huumm" gumamku pelan.
"A-yah.. Ayah.. Dis" putriku tiba-tiba langsung mengambil ponsel di sampingku.
Gendis langsung menempelkan ponsel ke kupingnya dan berbicara "Alo.. Ayah, Ayah Dis!"
Ndis, haruskah keangkuhan mama membuatmu jauh dari ayahmu sendiri? Hatiku mengiba saat melihat putriku seperti sedang berbicara dengan ayahnya.
"Gendis.. sini deh" kuraih tubuhnya dan segera kupangku putriku.
"Ma.. Ayah.. Ayah..!" Ucapnya berulang-ulang.
"Gendis kangen ayah ya?" Bisikku di kuping putriku.
Putriku membalikkan badannya. Dia menatap mataku dalam-dalam dan mulai meletakkan ke dua tangannya di pipiku.
"Apa yang sedang kamu lakukan Ndis?" Aku terpaku melihat perlakuan Gendis kepada diriku.
"Mama, ayah, mama.. ayah" ucapnya seraya memeluk diriku.
Ndis... apa kamu bisa merasakan apa yang sedang mama rasakan?
Bola mataku berputar ke sudut kiri atas. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memutuskan untuk mengabaikan pesan dari Mas. Aku masih sakit hati dengan kelakuannya. Aku harus segera memperjelas hubungan rumah tanggaku dengan suamiku.
"Wi, mba titip Gendis sebentar ya. Mba mau bicara sama Ibu."
Dwi mengancungkan jempolnya.
Aku melangkah keluar kamar dan mencari tanteku yang ternyata sedang asik menonton tv.
"Ma, Ima besok mau ke Pengadilan Agama."
Tanteku menatap dengan kening mengerut.
"Mau ngapain kamu kesana?"
"Ima mau gugat mas!" Jawabku tegas.
"Kamu sudah yakin sama keputusanmu?"
"Iya, Ima yakin ma. Mudah-mudahan ini keputusan yang terbaik."
Raut wajah tanteku berubah menjadi tidak bersahabat.
"Ma, besok Ima titip Gendis dulu ya. Ima takut Gendis tidak nyaman kalau dibawa ke PA."
Tanteku memicingkan matanya.
"Mama nggak bisa!! Mama sibuk!! Lagian kamu tau sendirikan kelakuan Gendis kaya gimana? Anakmu itu nggak bisa diem dan selalu rewel kalau dipegang orang lain?" Jawabnya ketus.
"Terus gimana dong ma? Besokkan Dwi sekolah?"
"Itu bukan urusan mama!!" Sahutnya sambil meninggalkan aku sendirian di ruang tv.
Aku menghela nafas dengan tatapan kosong. Aku terkejut melihat reaksi tanteku.
Sepertinya dia keberatan kalau aku memutuskan untuk berpisah dengan suamiku. Kepalaku tiba-tiba terasa berat.
***
Semakin hari aku semakin tekanan batin. Sikap tante perlahan-lahan berubah menjadi ketus kepada Gendis. Tanteku sering membandingkan tumbuh kembang Gendis dengan anak sebayanya. Terkadang aku hanya tersenyum pahit saat mendengarnya mencela putriku yang belum terlalu lancar berbicara serta sifat Gendis yang rewel dan tidak bisa diam.
Walaupun aku menumpang di rumahnya, setiap bulan aku selalu memberi uang bulanan ke tanteku. Karena suamiku masih bertanggung jawab mengirimkan uang bulanan yang nominalnya cukup besar untuk kebutuhan aku dan Gendis.
Aku jadi merenungkan semua ucapan dan pesan Eyang kepadaku. Haruskah aku memaafkan suamiku dan memulai semuanya dari awal lagi?
"Ya Allah.. serumit inikah hidupku?"
"Ma-ma.." Gendis menarik tanganku. Putriku mengajak aku keluar rumah.
"Mau kemana nak? Di luar angin kencang dan banyak debu" sambil aku gandeng tangannya menuju ke teras.
"Kan-i-kan.." tatapan matanya memohon.
"Oooh.. Gendis mau lihat ikan di kolam depan?"
Dengan bergandengan tangan, aku dan putriku segera menuju ke kolam ikan yang letaknya di taman dekat garasi.
"Deeeeggg" jantungku hampir terasa tidak berdetak lagi.
Tepat di depan pagar rumah terlihat sesosok pria yang sangat kukenal dari postur tubuh dan aroma parfum yang ia gunakan.
Suamiku! Ya..! Suamiku saat ini sedang berdiri di pagar sambil tersenyum datar melihat ke arahku dan putrinya.
Dengan ragu, suamiku membuka pagar besi dan mulai melangkah masuk.
Ia tersenyum dan menegur Gendis.
Mataku terasa nanar. Jantungku bergemuruh kencang. Semuanya terasa begitu kikuk.
"Kamu sehat Ma?" Tanyanya lembut.
"Heeh" anggukku pelan sambil memalingkan wajah menatap ke arah kolam ikan.
"Gendis.. sini nak, ayah kangen" Mas langsung memeluk erat dan menciumi pipi putriku.
"Yah, a-yah.. Dis" tutur putriku sambil menatap ke ayahnya.
"Tolong maafin ayah ya Ndis! Ayah kangen banget sama Gendis!" Ucap mas sambil menghujani ciuman bertubi-tubi ke wajah putriku.
Mas menggendong Gendis dan menatap mataku. Kami beradu pandang. Getaran di dadaku terasa bergemuruh.
Rasa ini..
"Eehh.. . Mas Dedi! Ayo silahkan masuk Mas! Ngapain hanya berdiri di garasi?" Sapa tante yang muncul di ambang pintu ruang tamu.
"Iya ma" sahut mas sambil menggendong Gendis dan melangkah masuk ke ruang tamu.
"Jadikan menginap disini?" Tanya tante ramah.
Kulihat ke dua sudut bibir mas menarik ke atas.
Otakku langsung berpikir cepat. Aah.. tanteku! Pasti beliau biang keladinya yang telah mengundang suamiku untuk datang berkunjung dan menginap disini! Tanteku pasti lagi memikirkan bagaimana caranya agar kami bisa rujuk!
Bersambung
Comments (0)