Part. 20
Kolam Renang Guling Bag. 1
Kolam Renang Guling Bag. 1
"Selamat jalan Eyang, semoga Allah menerima semua amal ibadahmu" ucapku sambil terisak menahan rasa perih di hati.
Iring-iringan mobil pengantar jenazah dan raungan mobil Ambulance perlahan menjauh dan menghilang dari pandangan. Suasana berganti senyap, menyisakan duka yang mendalam.
"Eyang maafin Ima karena tidak bisa memenuhi permintaan terakhirmu" bisikku sambil memejamkan mata.
Aku mempunyai alasan tersendiri mengapa tidak mengijinkan Eyang untuk melihat Gendis di saat-saat sisa terakhir hidupnya. Aku takut!
Gendis yang sepertinya paham akan segera berpisah dengan Eyangnya sangat rewel, tangisan serta amukannya benar-benar sulit untuk kuhentikan.
Apa yang akan terjadi jika putriku melihat Eyangnya dalam kondisi sakratul maut? Aku tidak ingin anakku semakin bertambah sedih, hatiku tidak tega!
Ada satu lagi yang sangat kutakutkan. Gendis merupakan cucu kesayangan Eyang dan aku tidak ingin kalau Eyang menurunkan ilmunya ke putriku!
Semenjak Eyang sakit, aku perhatikan beberapa kali Eyang terlihat berusaha mengusap punggung Gendis sambil mulutnya merapalkan sesuatu. Dan itu membuat Gendis merasa tidak nyaman. Putriku langsung memberontak, ia marah dan menolak dipegang oleh Eyang.
Mungkin terdengarnya egois tapi aku harus melindungi putriku dari berbagai macam kemungkinan. Kasihan anakku yang sedari lahir selalu diteror setiap daat oleh mahluk astral. Aku tidak ingin beban hidupnya semakin bertambah jika Eyang mewariskan seluruh ilmunya ke Gendis.
Mendung hitam berarak di langit yang luas, samar-samar kulihat bayangan Eyang tersenyum ke arahku dan Gendis. Beliau seperti mengucapkan salam perpisahan. Akupun membalas senyumannya disertai buliran air mata yang semakin deras membasahi pipi. Semakin lama bayangan Eyang menghilang bagaikan asap yang tertiup angin kencang.
***
Malam itu aku sedang asik membaca KASKUS di kamar dan Dwi seperti biasa tampak asik dengan ponselnya.
"Ma-ma..Ma-ma.." terdengar kata meluncur deras dari bibir Gendis yang sedang asik bermain di pojokkan kamar.
Serentak aku dan Dwi mengalihkan pandangan dari ponsel yang kami genggam. Kami terdiam dan saling berpandangan. Mataku berbinar dan bibirku tersenyum bahagia saat mendengar kata yang terucap dari bibirnya!
Dwi tampak terperangah mendengar ucapan Gendis.
"Waaah, Gendis ngomongnya sudah lancar!!" Pekiknya dengan wajah sumringah.
"Alhamdulillah, anak mama sudah bisa bilang mama" seruku sambil menciumi pipinya yang bulat.
"Ndis, coba bilang U-Wi! U-Wi!!" Dwi mulai mengajari Gendis berbicara.
Namun putriku malah membuang muka dan mulai mencium pipiku sambil terus memanggil namaku "Ma-ma..! Ma-ma..!!" Celotehnya sambil tersenyum manis
Dwi langsung cemberut karena merasa dicuekkin oleh adiknya. Aku hanya tertawa lucu menyaksikan kelakuan dua orang yang sangat aku sayangi.
"Bapak..!! Ibu..!! Cucunya sudah bisa ngomong nih!!" Pekik Dwi kegirangan sambil berlari menuju ke kamar orangtuanya.
Malam itu kami menghabiskan waktu bersenda gurau di ruang tamu. Keluargaku tampak antusias dengan Gendis yang mulai lancar berbicara. Mereka terlihat sibuk mengajari Gendis berbagai macam kosa kata. Malam itu Gendisku benar-benar menjadi pusat perhatian!
***
Pagi yang cerah, angin membelai rambut indah putriku. Aku berdiri tertegun menatap ke arah rumah Eyang yang halaman rumahnya tampak dipenuhi sampah dedaunan yang berguguran di tanah.
Setiap hari, aku dan tante selalu bergantian menyapu dedaunan di pekarangan rumah yang sekarang tampak tidak ada satupun aktifitas di dalamnya. Aku selalu ingin rumah Eyang terlihat bersih dan rapi.
Kuamati teras yang berdebu. Bayangan wajah, suara dan tawa Eyang melintas cepat di pikiranku.
"Eyang,.. Ima dan Gendis kangen Eyang!"
Aah.. Putriku!! Bagaimana aku bisa dengan mudahnya melupakan perkataan mereka! Aku baru teringat ucapan mahluk astral yang pernah memasuki tubuh Mba Risma. Bukankah ia berjanji tidak akan mengganggu putriku selama Eyang masih hidup. Namun bagaimana setelah Eyang tiada? Apa yang akan menimpa putriku?
Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Aku takut jika sepeninggal Eyang, mereka akan kembali meneror putriku lagi. Aku takut jika terjadi sesuatu pada anakku satu-satunya.
Diriku mulai diliputi rasa cemas dan gelisah. Aku menarik nafas dalam-dalam agar tubuhku lebih tenang. Aku tidak boleh panik! Aku tidak boleh membiarkan ketakutan menguasai pikiranku!!
"Bismillah, lahaula walakuata illabillah" (Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah).
***
Semakin hari kuperhatikan indra mata ketiga Gendis semakin aktif. Putriku semakin sering tertawa dan berbicara sendiri di ruangan kosong. Seolah-olah banyak orang yang sedang mengajaknya berbicara.
Ketika balita lain dalam kegelapan akan menjerit ketakutan, lain halnya dengan Gendis. Dalam gelap, putriku malah asik bertepuk tangan dan tertawa kegirangan. Minim cahaya tidak mempengaruhi indra ketiganya. Akan tetapi malah membuat putriku semakin jelas melihat mereka!
Terkadang jika aku sedang mengajak putriku berjalan keliling kompleks di sore hari, Gendis tampak asik memandang ke arah langit luas. Retina coklat mudanya seperti mengamati aktifitas yang terjadi di angkasa, diiringi senyuman dan lambaian tangannya. Terkadang aku mengikuti arah pandangan Gendis tapi tidak ada satupun yang bisa aku lihat. Iris mataku hanya mampu melihat hamparan langit biru yang menghampar begitu luasnya, mataku tidak dapat menembus dimensi mereka.
"Mba..!!" Suara Dwi menyadarkan aku dari lamunanku tentang perilaku Gendis yang bagiku semakin hari terlihat semakin aneh.
"Apa..??" Sahutku dengan kesal karena Dwi sudah membuatku terkejut.
"Besok kita berenang yuk? Ndis kan belum pernah mba ajak renang." Celoteh Dwi sambil terus menatap ke arah ponselnya.
Benar juga kata Dwi, semenjak Gendis lahir, putriku belum pernah diajak berenang sama sekali.
"Oke deh..!! Emangnya mau berenang dimana?"
"Di daerah Bekasi saja yuk mba. Mumpung Bapak besok libur jadi kita bisa minta diantar sama Bapak" mata Dwi terlihat bersinar.
Sepupuku ini selain hobi ke mall, dia juga sangat menyukai olahraga renang.
"Ya sudah, besok mau berangkat jam berapa?"
"Pagi saja mba biar tidak terlalu panas! Iihh.. aku ngga sabar main air sama Gendis" ujar Dwi sambil memamerkan deretan giginya yang terlihat putih dan rapi.
***
Keesokan paginya setelah selesai mengisi perut kami dengan nasi goreng buatan Ibunya Dwi, kami bersiap-siap menuju kolam renang di daerah Bekasi.
Sepanjang perjalanan, Gendis asik mengoceh sendiri dan sesekali ia melambaikan tangan ke arah pepohonan atau bangunan yang kami lewati.
Dwi menoleh ke arahku "Anakmu beneran aneh mba! Ngapain coba dari tadi dia asik melambaikan tangan ke pohon sama bangunan tua? Emangnya dia Miss Universe apa?"
Kucubit pelan pipi Dwi "Jangan begitu!! Kita kan nggak tau apa yang sedang Gendis lihat? Di mata kita, pohon dan bangunan tua itu tampak kosong. Tapi di mata Gendis??" Aku balik bertanya ke Dwi yang masih terus mengamati kelakuan putriku.
Ternyata kolam renang yang Dwi maksud letaknya lumayan jauh dari rumah. Putriku mulai didera rasa bosan. Gendis mulai berontak dari pangkuanku. Ia minta turun. Putriku mulai merengek manja.
"Wi, kamu nemu ni kolam renang dimana sih? Kok jauh banget sih? Mba perhatikan dari tadi kita nggak sampai-sampai?" Tanyaku dengan kesal.
"Sabar mba!! Sebentar lagi juga sampai. Enak tau mba tempatnya, disana ada saung dan taman bermain untuk anak-anak. Aku yakin, Gendis pasti suka sama kolam renang pilihan aku!" Serunya penuh percaya diri.
Tak berapa lama kemudian kendaraan yang dikemudikan om memasuki halaman parkir kolam renang yang bagiku tidak terlalu luas.
Saat kulihat bangunan kolam renang yang catnya tampak usang, perasaanku mulai diliputi rasa cemas.
"Wi, kamu yakin kita akan berenang disini?" Tanyaku sambil terus mengamati bangunan yang berdiri tepat di hadapan mataku.
Pintu masuk ke kolam renang ditopang oleh dua pilar yang sangat kokoh dengan ukiran naga mengelilingi penyangganya. Aku bergidik ngeri melihatnya! Bagiku tempat ini cocoknya dipakai sebagai tempat uji nyali!
"Iya mba... ini kolam renang yang aku maksud! Gendis pasti suka karena banyak mainan di dalamnya. Suasananya juga adem" ujarnya sambil menurunkan perlengkapan renang.
"Kita pindah saja yuk, jangan berenang disini! Nggak apa-apa cari tempat yang lebih mahal, asalkan jangan disini!" Pintaku sambil terus mengamati bangunan kolam renang yang auranya membuatku merasa tidak nyaman.
"Aaah, mba penakut nih!! Kemarin pas di Villa , mba berani banget. Lah disini ko tiba-tiba malah jadi penakut?"
Aku tersenyum kecut.
"Nggak tau kenapa tapi mba merasakan tempat ini hawanya sangat berbeda! Lihat nih tengkuk mba saja dari tadi merinding terus!" Seruku sambil memegang tengkuk yang tiba-tiba diselimuti hawa dingin.
"Udah ah! Jangan suka ngomong macam-macam! Mba kan baru lihat luarnya doang belum masuk ke dalamnya. Aku sama teman-teman sekolahku sering kok berenang disini dan aman-aman aja tuh."
"Mba serius Dwi! Ni kolam renang kayanya spooky banget di mata mba!"
"Lihat Gendis deh mba! Dia aja nggak jerit-jerit. Aku perhatiin anak mba dari tadi anteng. Berarti tempat ini aman mba! Nggak kaya di Villa!"
"Ima, Dwi..! Bapak sama Ibu mau cuci mobil dulu. Kalau kalian sudah selesai berenang langsung telpon Bapak atau Ibu biar nanti segera Bapak jemput." Pesan ayah Dwi sambil menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah ke tangan putri tunggalnya.
Mata Dwi berkilat melihat jumlah nominal uang yang diberikan ayahnya untuk bekal dia jajan di kolam renang "Oke Pak! Nanti Dwi kabari kalau sudah selesai berenang!"
"Ayo mba, kita masuk. Mumpung belum terlalu ramai! Biar Gendis bisa cobain semua wahananya."
"Ta-tapi Wi..!!" Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Dwi langsung menarik tanganku. Dia ingin aku segera membelikan tiket masuk untuk kami bertiga.
Dengan tak bersemangat akhirnya kuturuti permintaan sepupuku yang sangat manja.
Setelah membayar dua tiket masuk yang harganya bagiku tergolong sangat murah, kami segera memasuki bangunan kolam renang.
Bulu tanganku meremang saat memasuki pintu masuk. Di lobi kolam renang terdapat beberapa macam patung singa dan naga. Yang menarik perhatianku, di sudut ruangan terdapat sebuah gamelan yang dihiasi rangkaian bunga melati dan kantil. Penerangan yang remang-remang semakin menambah kental aura mistis di sekitarnya.
"Mba itu tamannya!" Tunjuk Dwi ke arah dalam bangunan.
Taman yang tidak begitu luas. Dengan berbagai macam mainan anak tersedia di sana. Di
samping taman terdapat panggung yang luas beserta seperangkat alat musik tertata dengan rapi di dalamnya.
"Ternyata luas juga ya dalamnya, padahal dari luar terlihat kecil" mataku berkeliling memandang setiap sudut bangunan yang terletak di kolam renang.
"Nanti kalau aku ulang tahun yang ke tujuh belas, aku mau minta Bapak untuk menyewa tempat ini. Aku mau rayain ulang tahunku disini sama teman-temanku. Biar kita bisa party dan berenang sepuasnya" tuturnya sambil menaikkan ke dua alisnya.
"Yakin kamu mau ngerayain pesta disini?"
"Iyalah.. lihat saja, semuanya lengkap! Tempatnya juga strategis!"
"Emang tempat ini juga disewakan untuk acara ulang tahun?"
"Iya dong mba.. tempat ini bisa disewa untuk acara nikahan, ulang tahun, arisan.. pokoknya bebas deh! Apa nanti kalau mba menikah lagi juga mau nyewa disini?" Dengan jahil matanya mengerling ke arahku.
"Sembarangan kamu!! Kalau bicara itu yang benar! Ucapan itu sebagian dari doa!" Geramku sambil menoyor kepalanya yang mengenakan hijab abu-abu.
"Yaaa.. siapa tau mba ada rencana nikah lagikan? Soalnya statusmu aja nggak jelas mba!" Jawabnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Ngaco kamu!!" Ketusku kesal karena mendengar ucapannya yang asal ngomong tanpa berpikir panjang lagi.
"Mba, kita taruh dompet di loker saja. Kalau tas pakaian langsung kita bawa ke gazebo" Ajak Dwi sambil memberitahu arah loker yang letaknya tidak jauh dari kamar mandi.
Setelah berganti pakaian, kami berjalan ke arah gazebo yang sudah Dwi pesan.
"Pintar juga kamu memilih gazebonya! Nggak panas!" Pujiku pada sepupuku.
Hidung Dwi tampak kembang kempis mendengar pujianku. Dia menoel hidungnya sendiri "Siapa dulu dong.. Dwi gitu loh" ujarnya sambil tertawa cekikikan.
Mata Gendis mengamati area kolam renang. Wajahnya terlihat sangat antusias melihat perosotan dan air mancur yang menghias kolam renang anak.
"Mama..mama, i-tu..!!" Tunjuknya ke arah kolam renang yang tampak masih sepi. Hanya ada beberapa anak kecil sedang bermain air di dalamnya.
"Wi, mba nemenin Ndis berenang di kolam anak dulu ya."
"Oke mba..! Aku ke kolam dewasa! Bye Ndis nduttt..!!" Seru Dwi sambil mencium pipi putriku.
"Byurr..byuurr..!!" Suara anak kecil bermain cipratan air di kolam renang yang dangkal.
Gendis juga tampak bersemangat mengikuti teman-temannya bermain air. Senyumnya mengembang memamerkan lesung pipit di pipi kanannya.
"Ma-ma.. be-bek..!! Kwek.. kwekk!!" Serunya kegirangan ketika melihat seorang anak kecil memakai pelampung bergambar bebek.
"Iya itu pelampung gambar bebek. Gendis suka ya? Gendis mau pelampung seperti itu?"
Anakku tersenyum sambil mengerjapkan bulu matanya yang lentik.
"Nanti mama belikan ya Ndis" sahutku sambil terus menemaninya berjalan di dalam kolam.
"Ma.. i-ngin" tuturnya dengan bibir bergetar.
"Hatchiimm.. hatchhiimm..!!" Beberapa kali putriku bersin-bersin. Hidungnya memerah, dia tidak kuat dengan suhu air kolam yang dingin.
"Ndis minum teh manis hangat dulu yuk baru nanti berenang lagi" ujarku sambil merengkuh tubuhnya dari dalam air dan menuntunnya ke arah gazebo.
Aku segera memesan secangkir white coffee dan segelas teh manis hangat ke waitress yang terlihat mondar mandir menghampiri pengujung yang sedang santai di gazebonya masing-masing.
Aku melambaikan tanganku ke arah Dwi yang masih asik berenang. Dwi melihat ke arahku dan segera berenang menghampiriku.
"Ko renangnya udahan mba? Kan baru sebentar?"
"Adikmu tadi bersin-bersin. Mba takut alerginya kambuh. Makanya mba langsung pesan teh manis hangat untuk Gendis. Kamu mau pesan apa?" Tanyaku ke Dwi yang matanya sedang menatap ke arah serombongan anak muda yang baru memasuki area kolam renang.
"Nggak mba, aku pesannya nanti saja. Aku lanjut berenang lagi ya!" Dengan lincah, Dwi langsung loncat ke kolam renang dan memamerkan keahliannya berenang gaya kupu-kupu.
Aku menyesap kopi di hadapanku, terasa begitu nikmat di indera perasaku.
Gendis dengan lahap memakan biskuit yang kubawa. Sesekali kuelap remahan biskuit di mulutnya.
"Ma-ma, num!!" Tunjuknya ke secangkir gelas berisi teh manis hangat.
"Ooh, Ndis mau minum teh manis?" Senyumku sambil mendekatkan gelas teh ke bibir mungilnya.
"Enyaak ma, Dis uka!" Lidahnya tampak asik menjilati bibirnya yang terasa manis.
"Anak mama pintar! Suka minum teh manis hangat!"
"Ma, enang... enang!!" Tunjuknya ke arah kolam.
"Ndis mau berenang lagi? Yuk sayang." Dengan sigap aku menuntun Ndis menuju kolam renang anak.
Ndis terpekik kegirangan ketika aku mengajaknya menaiki perosotan. Tubuh kami meluncur cepat ke arah kolam.
"BYURRR..!" Terdengar suara ketika tubuhku meluncur bebas ke dalam air.
Gendis terpekik kegirangan!
"Agi, agi, ma.." teriaknya sambil tertawa girang.
Akhirnya kamipun meluncur sekali lagi. Setelah puas bermain di kolam anak, telunjuk Gendis mulai mengarah ke kolam dewasa.
Aku segera menggendong putriku ke kolam orang dewasa dengan kedalaman satu setengah meter. Dwi langsung menghampiriku dan menyipratkan air kolam renang ke wajahku dan Gendis.
Gendis semakin bersemangat, jiwanya tertantang melihat kelakuan Dwi. Jemarinya mulai menyipratkan air ke wajah Dwi diiringi gelak tawa dari mulutnya.
"Mba, kita berenang kesitu yuk!" Tunjuk Dwi ke sebrang kolam.
Akhirnya kami berenang menuju ke arah yang Dwi tunjuk.
"Guying.. guyiiingg..! Hoyee guyiing!!" Celoteh Gendis sambil salah satu jarinya menunjuk ke arah pohon rambutan.
Aku segera menghentikan renangku.
"Gendis tadi bilang apa?" Tanyaku dengan hati-hati.
"I-tu guying! Ayi guyiiiing!!" Celotehnya lagi sambil bertepuk kegirangan
"Bayi guling? Gendis lihat bayi guling dimana?" Tanyaku berusaha memastikan kebenaran pendengaranku.
"Tuh.. guying.. anyak guyingg!!" Serunya kegirangan sambil menunjuk ke arah pohon rambutan dan pohon di sebelahnya.
"Guyiiing..!! Ayi guyiinngg!!" Telunjuknya menunjuk ke arah pepohonan di bekalang gazebo.
Nggak beres nih pikirku! Tadi putriku hanya bilang satu guling, sekarang ada bayi guling! Perasaanku mulai diselimuti rasa cemas.
Dan tepat dugaanku. Gendis mulai tertawa kegirangan sambil menunjuk ke beberapa pohon sambil berteriak "Guying, guyiiing Dis..!!"
Wajah putriku tidak menyiratkan rasa takut. Ia malah tampak bahagia dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya.
"Hihihi, guying ucu ma! Dis cuka guying!"
"Wi..! Wiiiiii..!!" Teriakku panik.
Dwi segera berenang menghampiriku.
"Apaan sih mba! Santai aja napa sih mukanya! Jangan tegang gitu napa mba! Mukamu kaya orang lagi mikirin hutang saja!" Selorohnya mencoba mencairkan suasana.
"Sini deh mba bisikin" Aku menarik tangan Dwi untuk lebih mendekat ke arahku.
Aku segera menceritakan apa yang Gendis ucapkan dan memberikan kode lirikan mata ke arah pohon yang putriku maksud.
"Aaahh.. Gendis ada-ada aja nih!! Bikin takut aja sih!!" Bentak Dwi ke putriku.
Dengan ragu ujung mata Dwi mulai melihat ke arah yang kutunjuk.
"Astagfirullahaladzim..!!" Ucap Dwi dengan suara tercekat sambil memalingkan wajahnya dan menutup ke dua matanya.
"Wi, kamu kenapa?" Aku keheranan dengan perubahan sikapnya.
"I-itu apaan mba?"Tangannya menunjuk ke arah pohon rambutan yang letaknya lumayan jauh dari tempat kami berada.
"Itu apaan?? Kalau ngomong yang bener napa!" Emosiku mulai tersulut mendengar ucapan Dwi yang tidak jelas.
"I-itu disana!! Emangnya Mba nggak lihat?" Ujarnya sambil terus memejamkan matanya.
Aku menggeleng pelan tanda kebingungan.
"Coba mba perhatikan baik-baik ke arah pohon yang Gendis tunjuk!"
Sekali lagi aku menoleh ke arah pohon rambutan. Ku amati perlahan tapi tidak ada satupun yang terlihat janggal.
"Nggak ada apa-apa Wi. Emang kamu lihat apa sih?" Cecarku penasaran.
"Ada bayangan putih mba lagi duduk di pohon rambutan!! Bentuknya seperti permen sugus!!" Bisik Dwi di telingaku.
Aku mengerenyit heran. Apa itu guling yang dilihat putriku? Kenapa hanya Dwi dan Gendis yang bisa melihat guling? Sedangkan aku tidak melihat apa-apa?
"Wi, kamu salah lihat kali" coba deh perhatikan baik-baik. Mba nggak melihat apa-apa disana."
"Ogah!! Jelas-jelas aku lihat bentuk pocong di atas pohon!" Sungutnya tanpa membuka matanya sama sekali.
"Ma-ma.." tunjuk Gendis ke arah taman yang letaknya tidak jauh dari kolam renang dewasa.
"Apa sayang?" Aku menatap ke arah taman yang tampak suram. Sepi, tak ada satupun orang yang sedang bermain di sana.
"Guying, guyiing, guyiinng" ujarnya sambil menunjuk ke beberapa titik.
"Hoyeee.. guyiiinng!!" Jeritnya kegirangan.
"Ucu ma, ucu!!" Celotehnya sambil tersenyum ke arah taman.
Dwi mengintip perlahan dari balik bahuku, tampaknya ia juga penasaran dengan ucapan Gendis.
"MBAAAA..!!" Jeritnya tertahan sambil membenamkan kembali wajahnya di bahuku.
Jeritan Dwi mengundang beberapa mata pengunjung yang sedang asik berenang menatap sinis ke arah kami. Tampaknya mereka merasa terganggu dengan teriakan Dwi .
"Wi jangan menjerit! Malu dilihat sama pengunjung!" Hardikku berang.
Badan Dwi tampak bergetar diiringi isik tangis tertahan.
"M-mba.. mereka ada banyak! Mereka sekarang berkumpul di taman." Racaunya dengan suara lirih menahan rasa takut.
Bersambung
Comments (0)