Part. 18
Senandung Tengah Malam
Senandung Tengah Malam
Aku mulai merasakan bulu-bulu halus di sepanjang tanganku meremang seakan memberi peringatan. Bola mataku membeliak, tidak mempercayai pendengaranku saat ini.
Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita sedang melantunkan tembang parahyangan. Suaranya terdengar sangat merdu sekaligus menyentuh hati. Wanita itu begitu menjiwai liriknya yang sangat menyayat hati. Lirik-liriknya seperti mengisahkan seseorang yang sedang kecewa, merana karena ditinggal pergi oleh pujaaan hati untuk selamanya. Membuat merinding bulu kuduk siapapun yang mendengarnya.
Di tengah udara malam pegunungan yang terasa begitu dingin menusuk tulang, terlihat bulir-bulir peluh mulai berjatuhan dari pelipis sepupuku. Tampaknya teror dari mahluk astral yang tanpa henti benar-benar begitu menggoncang jiwanya!
"Dwi tolong lepaskan dulu cengkramanmu. Mba mau samperin suara itu!" Sambil ku tepis pelan tangan Dwi yang mencengkram erat lenganku.
"Sakit Dwi, sakitttt!! Tolong lepaskan cengkramanmu!" Pintaku memohon sambil terus meronta berusaha melepaskan diri dari cengkramannya yang semakin bertambah kencang.
Perlahan-lahan cengkramannya mengendur, meninggalkan memar merah di pergelangan tanganku. Aku meraba pergelangan tanganku yang masih terasa sakit. Untung kulitku tidak terluka terkena goresan kuku Dwi yang begitu panjang.
Kulihat tatapan mata Dwi terlihat kosong. Seperti tak punya gairah hidup, sorot matanya menakutkan.
Deg!!
Aku mulai khawatir, pasti ada yang tidak beres. Bulu kudukku tiba-tiba mulai merinding.
Aku semakin oanim, saat kusentuh pipinya terasa dingin. Sangat dingin bagai memegang es batu.
"Dwi!!!" Panggilku.
Tidak ada respon.
"Dwi..!! Dwi..!!!"
Kupukul pipinya.
"Grrggghhghh"
Aku tersentak kaget hingga hampir terjatuh. Dwi justru mengeluarkan suara menahan amarah. Tangannku mulai berkeringat, jantungku berdegub kencang dan darahku mengalir lebih cepat.
Tapi tak ada pilihan, aku harus menghentikannya dari kesurupan atau ia malah mengamuk dan melukai yang lain.
Bisa saja mereka memanfaatkan Dwi untuk mengganggu anakku.
Belum lagi orang tua Dwi yang tidak mungkin membantuku karena sepertinya mereka tidak mendengar apa yang sedang aku dengar. Mau tidak mau, aku harus bisa mengatasi situasi ini seorang diri.
Otakku berpikir cepat. Aku harus menyusun strategi untuk mengakhiri semua teror ini!
Kutepuk-tepuk perlahan ke dua pipi sepupuku yang terasa membeku "Dwi, istighfar Wi! Mba minta kamu harus berani! Ayo kuasai dirimu! Jangan menyerah oleh rasa takut! Tolong bantu Mba, jangan sampai mereka berhasil menguasai ragamu!" Sambil terus kupijat jemarinya yang semakin memucat dan tampak kaku.
"Ayo semangat Dwiii!! Mba mohon!! Mba butuh bantuanmu!!" Seruku sambil menahan tangis.
"Mbaaa" rintihnya lirih.
"Iya ini Mba! Mba ada disini! Mba tidak akan pernah meninggalkan kamu!! Tolong Lawan rasa takutmu!" Aku mengguncang-guncangkan tubuh Dwi agar tetap sadar.
Alhamdulillah, kulihat perlahan kesadaran Dwi mulai pulih. "Wi tolong baca terus surat Al-Fatehah dan ayat kursi. Minta sama Allah agar melindungi kita semua. Saat ini Mba benar-benar butuh bantuanmu! Jangan sampai kamu kosong! Mba nggak mau kamu kesurupan!" Aku terus memberikan semangat kepada sepupuku agar bisa melewati teror ini.
Perlahan Dwi mulai menguasai dirinya. Bibirnya yang memucat, perlahan bersemu merah. Aku tersenyum bahagia sambil memeluk tubuh sepupuku.
"Terima kasih Wi karena sudah berhasil melawan semua rasa takutmu!" Bisikku sambil membelai lembut rambutnya yang panjang.
"Mbaa, aku mau pulang. Aku nggak mau disini!! Tolong panggil Ibu dan Bapak!!" Rintihnya disela-sela rasa takut yang begitu mendera dirinya.
"Sabar ya Wi! Nanti Mba akan ke kamar orangtuamu dan meminta mereka untuk segera kemari. Untuk sementara, Mba titip Gendis sebentar. Mba mau melihat keadaan di luar kamar dan memanggil Ibu dan Bapak Dwi. Tapi janji, kamu jangan kemana-mana, tolong tetap di samping Gendis! Dan tolong dijaga pikiranmu agar jangan sampai kosong!!" Pintaku seraya menggenggam jemari sepupuku yang mulai terasa hangat.
Dwi menatap ke arahku dengan tatapan sayu.
"Jangan lama-lama Mba!" Pinta Dwi dengan wajah memelas.
Aku tersenyum tipis dan mengedipkan mataku tanda setuju.
Aku teringat pesan Pak Ustad, ketika kita sedang menghadapi gangguan dari mahluk astral, kita tidak boleh takut. Kita justru harus berani menghadapinya! Karena hal itu justru akan membuat mereka merasa takut terhadap kita. Dengan mengucapkan Basmallah dan mengumpulkan segenap keberanian, aku segera melangkah ke luar kamar.
Setibanya di ruang tamu, aroma minyak wangi misik menyeruak indera penciumanku. Wanginya begitu menyengat, membuatku mual menahan ingin muntah! Aromanya yang khas mengingatkan aku pada minyak wangi yang biasa dipakai Ibuku untuk membersihkan keris peninggalan almarhumah nenek yang di Bandung.
Hanya dibantu penerangan cahaya dari dalam kamar mandi, mataku menangkap sebuah objek di ruang makan. Kulihat siluet wanita yang sedang duduk membelakangiku. Sosoknya menghadap jendela dapur, ke arah dimana pohon beringin berada.
Terdengar lirih lantunan lagu dari bibirnya terus menyanyikan tembang sunda yang tidak begitu aku pahami artinya. Dengan perasaan kesal, aku berjalan menghampiri mahluk astral yang telah berani mengganggu waktu istirahatku.
Sepertinya mahluk itu mulai menyadari kehadiranku. Lantunannya berhenti dan ia tampak bergumam lirih.
Dalam jarak dua meter, wanita itu melirik sekilas ke arahku.
Aku terdiam mematung melihat matanya yang tajam, layaknya tatapan seorang pembunuh!
Matanya serasa menghipnotisku membuat kakiku begitu sulit untuk digerakkan!
Adrenalinku berpacu sangat cepat. Darahku berdesir saat melihat paras wajahnya yang ayu namun terlihat pucat pasi.
Mahluk itu menyunggingkan senyum ke arahku. Senyumannya terasa menghunus tepat ke jantungku!
"Hapunten abdi atos ngaganggu waktosna" suara yang terucap dari bibir wanita itu terdengar lembut sekaligus membikin bulu kudukku meremang.
Perlahan-lahan wanita itu berdiri, menampakkan tubuh sintalnya yang tinggi semampai. Wujud mahluk astral ini menyerupai seorang sinden yang sangat cantik. Ia mengenakan kebaya berwarna merah darah. Dengan aksesoris berwarna emas dan bunga tampak menghias rambutnya yang disanggul.
Sekali lagi ia menoleh dan tersenyum ke arahku, sebelum dirinya berjalan melayang menembus jendela.
"Alhamdulillah mahluk itu sudah pergi dari hadapanku" keringat dingin terlihat mengucur deras membasahi tubuhku. Dengkulku terasa begitu lemas, aku segera berpegangan pada dinding ruang tv.
Aku melihat ke arah kamar tante yang begitu gelap tanpa pelita. Dengan langkah gemetar, aku melangkah ke kamar mereka dan mengetuk pintu kamar dengan pelan.
"Tok, tok, tok! Ma..! Om..!!" Teriakku berusaha membangunkan mereka, namun usahaku tampaknya sia-sia. Tidak ada satupun jawaban yang kudengar.
Sunyi senyap!!
Begitu terlelapkah mereka sehingga tidak mendengar dan menyadari nyanyian dari sinden yang tadi duduk tidak jauh dari kamar mereka? Aku yang masih terpaku di depan pintu kamar tante, tiba-tiba dikejutkan suara anak ayam dari arah pohon beringin.
"Ciaap..ciaap" suara anak ayam terdengar silih berganti. Mereka seperti tersesat dan sedang mencari induknya.
Mataku nanar berkeliling menatap ke sekitar ruangan. Rasa takut mulai menyergapku! Perlahan aku mundur teratur dan segera berlari ke arah kamar. Keberanianku seketika pupus!!
Ada suara anak ayam di hotel?? Bodoh sekali kalau sampai ada yang mempercayai itu suara anak ayam beneran! Suara anak ayam di tengah malam selalu identik dengan kehadiran kuntilanak!!! Aku pernah beberapa kali melihat mereka dan itu membuatku trauma!! Aku paling malas kalau harus bertemu dengan mahluk yang identik dengan suara tawanya yang begitu khas. Lebih baik aku menghindar daripada harus berurusan dengan mereka!
Aku tak habis pikir kenapa terornya masih terus berlanjut? Aku keheranan dengan peristiwa yang sedang menimpa kami. Apa aku dan Dwi sudah melakukan kesalahan sehingga mengusik ketenangan mereka? Atau ini hanya sebatas perkenalan dan uji coba dari penghuni astral di Villa 206 untuk aku dan Dwi? Rasa panik dan ketakutan yang berada dalam diri berkecamuk menjadi satu.
Waktu terus bergulir, malam pun semakin larut.
Di dalam kamar, kulihat Dwi sedang duduk di atas ranjang tempat tidur. Kepalanya terlihat menunduk dalam-dalam sambil menangis terisak.
"Wi.. kamu tidak apa-apa?" Kuguncang bahunya perlahan. Aku takut kalau saat itu dia lagi kesurupan.
Dwi mengangkat wajahnya. Matanya terlihat sembab.
"Mba tadi aku dengar suara anak ayam di dekat jendela kamar" isaknya sambil menunjuk ke arah jendela kamar.
"Mba, kalau ada suara anak ayam tengah malam tandanya ada..."
Aku menaruh telunjuk dibibirku, meminta Dwi untuk tidak melanjutkan kalimatnya.
Bukannya tadi suara anak ayam terdengar dari arah pohon beringin? Kenapa Dwi juga mendengarnya dari arah balik jendela kamar? Aku mengernyit bingung.
"Ciaapp...ciiaap" suara itu terdengar lagi tepat di samping jendela kamar. Persis seperti yang Dwi ceritakan!!
Dwi menarik ujung bajuku.
"Mbaa.. mba juga dengarkan?" Tatapnya dengan air mata menggenang di pelupuk mata.
"Iya, Mba juga dengar!" Sudut mataku berkerut. Apa ini hanya ilusi yang tak nyata?? Namun rasanya begitu nyata!!
"Hiiiiiiikkk...hiiikkk" suara anak ayam berganti menjadi tangisan lirih. Membuat tergugah hati siapapun yang mendengarnya. Suara tangisannya terdengar menyayat hati, seperti tangisan seorang perempuan yang sedang di dera kesedihan mendalam. Sakit..!! Iya itu suara tangisan wanita yang sedang sakit hati!!
Dwi menutup telinganya dengan kedua tangannya yang terlihat gemeteran.
Segera kupeluk tubuhnya berusaha menenangkan sepupuku.
"Baca Al-Fatehah terus Wi! Kita jangan sampai kosong!" Nasehatku pada Dwi karena sepupuku tampaknya mulai putus asa dengan semua peristiwa yang beruntun menimpa kami.
Suara tangisannya perlahan-lahan terdengar menjauh dan kemudian menghilang.
Hening, bahkan di luar sanapun angin rasanya begitu enggan untuk bersuara .
"Petanda buruk" gumamku sambil mengawasi ke arah jendela kamar. Dan sesuai dugaanku, teror ini masih terus berlanjut!
"Kriiieett..." suara derit dari lemari jati di dalam kamar yang terbuka pelan.
Jantungku berdetak tidak karuan!!
"Ya Allah, tolong aku!! Jangan biarkan mahluk yang paling kubenci muncul di hadapanku!!" Doaku sambil terus membaca surat Al-Baqarah.
Pandanganku fokus ke arah lemari, aku terus mengamati sesuatu yang tengah mengintai kami dari dalam sana.
"Krriieeeet" suara pintu lemari kembali tertutup. Sepertinya mahluk penghuni lemari sedang berbelas kasih. Tampaknya mereka tidak tega jika harus menunjukkan wujudnya kepada kami yang sedang ketakutan setengah mati.
Aku dan Dwi bernafas lega. Alhamdulillah semoga itu merupakan teror terakhir yang menimpa kami!
Baru saja aku bisa tersenyum penuh kemenangan, tiba-tiba...
Di tengah kesunyian malam, mulai terdengar lagi suara perempuan yang paling aku benci!!
Miss K mulai menunjukkan eksitensinya!
"Hihihihihi...hihihihihi" suara tawa cekikikan dari arah luar begitu jelas terdengar.
"Dasar mahluk labil!!!" Umpatku dalam hati. Sebentar menangis, lalu tertawa kegirangan! Benar-benak mahluk yang sifatnya sangat sulit untuk dipahami!
Rasa takut, kesal dan marah menjadi satu! Kalau tidak ingat ada Gendis dan Dwi yang harus kulindungi, mungkin aku sudah membuka jendela kamar n mencaci mahluk itu! Sifatnya yang jahil membuatku muak!!
Suara tawa mahluk menyebalkan itu perlahan terdengar menjauh dan berganti dengan suara pria yang berdeham kencang.
Suasana berubah terasa lengang.
"Krrikk..krrik..kriikk" suara jangkrik yang sempat menghilang mulai terdengar lagi.
Lambat laun suasana mulai tampak normal. Aura di kamar kembali seperti sedia kala. Tak kurasakan lagi hawa mistis dan teror di dalam ruangan yang sedang kutempati.
Aku menarik tangan Dwi yang masih menutup rapat indera pendengarannya "Wi..Wi, alhamdulillah mereka sudah pergi!" Pekikku kegirangan.
Dwi menatapku dengan tatapan memelas "Apa Mba yakin kalau mereka tidak akan balik lagi?"
"Insya Allah, Mba yakin. Sudah jangan takut lagi ya. Kita sudah aman!" Aku memeluk erat tubuh Dwi yang masih tampak kebingungan.
"Mba, aku ngantuk" tuturnya dengan kelopak mata terkulai lemas.
"Sama, Mba juga ngantuk banget" sambil kulihat jam di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul tiga lewat sepuluh.
Masih ada kesempatan untuk melepas lelah.
Aku merebahkan ragaku di atas ranjang. Perlahan mataku dan Dwi terpejam. Jiwa kami segera menyusul Gendis ke alam mimpi.
***
"Ima! Bangun! Ayo bangun!" Tubuhku bergoyang seperti terkena gempa bumi.
Perlahan kubuka mataku. Terasa berat! Aku mengerjapkan mataku beberapa kali.
"Ayo cepat bangun! Sudah Subuh!" Suara cerewet tante begitu terdengar jelas di telingaku.
"Sebentar ma! Kepala Ima masih berat banget!" Sahutku dengan mata tertutup.
"Sudah jangan banyak alasan! Kamu dan Dwi tidur sudah kaya mayat! Susah banget bangunin kalian!" Cerocosnya panjang lebar.
Rasanya ingin kututup telingaku dengan bantal biar tidak mendengar omelannya.
"Iya, Ima bangun!" Dengan susah payah, aku berusaha membuka mataku yang begitu sulit terbuka.
Plafon putih. Itu yang terlihat pertama kali begitu mataku terbuka. Aku melihat ke samping, Dwi masih tertidur nyenyak.
Kulihat jam menunjukkan pukul lima. Berarti aku hanya tidur selama dua jam? Pantesan kepalaku terasa berat dan pusing.
Gendis!!!
Kenapa aku tidak melihat putriku di atas tempat tidur?? Kemana perginya anakku?? Pikiranku mulai berkecamuk!
Terdengar suara tawa putriku dari arah ruang tamu. Dengan memaksakan diri, aku segera menuju ke arah suara tawa putriku.
Aku tersenyum dan bernafas lega, ternyata putriku sedang bercanda dengan kekeknya di ruang tv.
"Ndis!! Mama kira kamu hilang!!" Ujarku dengan suara parau karena baru bangun tidur.
Seperti biasa, tanteku akan segera menyahuti ucapanku "Payah Ibumu Ndis! Anaknya sudah bangun daritadi tapi mamanya malah tidak sadar! Gimana kalau ada yang menculik kamu, pasti mamamu tidak tau! Ibumu itu kalau tidur seperti orang meninggal!" Ketus tante dengan wajah sinis.
Mulutku tidak sabar ingin segera menceritakan kejadian mistis semalam yang menimpa aku dan Dwi, namun kuurungkan niatku. Aku harus bergegas shalat subuh!!
Selesai mandi dan shalat, aku segera merebahkan diri di ruang tamu. Mataku masih ingin terpejam. Tubuhku meronta-ronta meminta istirahat!
Baru saja aku memejamkan mataku. Suara cerewet tante terdengar lagi!
"Ima!! Ngapain kamu tidur lagi? Cepat bangunin Dwi! Emangnya kalian nggak mau sarapan?"
Sepertinya saat ini kalau boleh memilih, aku lebih memilih mendengarkan lantunan suara sinden daripada suara tanteku yang begitu menyakitkan pendengaranku!!
Dengan malas-malasan aku segera kembali ke kamar. Kulihat Dwi masih tertidur pulas. Perlahan aku mulai menggoncang-goncangkan tubuh Dwi.
"Wi!! Bangun Wi!!"
Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara dengkuran.
"Wiiii!! Ayo bangun!! Jangan sampai Ibu ngamuk sama kita!!" Bisikku di telinganya.
Sebenarnya aku tidak tega harus membangunkan sepupuku. Aku tau pasti dia teramat lelah dan mengantuk. Tapi daripada mendengar suara amukan tanteku, lebih baik aku segera membangunkan Dwi!! Sebelum terjadi Perang Dunia Ketiga di dalam Villa.
Setelah bersusah payah, akhirnya Dwi terbangun. Dengan terhuyung-huyung, aku menuntun tubuhnya ke arah ruang tamu.
Dwi langsung meringkuk di atas sofa yang nyaman. Kuperhatikan bibir tanteku mulai terbuka, petanda sebentar lagi akan ada omelan yang keluar dari mulutnya yang kejam!
"Saru, dua.. tiga!" Hitungku dalam hati.
"DWI!! BANGUN!! Jangan malas kamu!!" Bentak tanteku yang membuat Gendis ketakutan dan langsung memeluk kakeknya.
Tepat seperti dugaanku! Aku jadi tersenyum sendiri karena prediksiku tidak meleset!
Kutendang kaki Dwi pelan, dengan maksud membangunkan sepupu tersayangku.
"Wi, bangun!! Jangan sampai Ibu ngamuk!!" Bisikku pelan sambil terus menendang telapak kakinya.
"Bu, aku masih ngantuk!" Rengek Dwi mencoba membujuk Ibunya yang terlihat marah.
"NGANTUK!! Memangnya kamu semalam tidur jam berapa??" Mata tanteku mendelik mendengar jawaban putri satu-satunya.
"Jam tiga lebih Bu!" Jawab Dwi masih dengan mata terpejam.
"Ngapain saja kamu melek sampai jam tiga subuh?" Cecar ayah Dwi yang tampak penasaran dengan kelakuan putrinya.
"Coba Bapak tanya Mba Ima! Aku ngantuk!!" Sahut Dwi tak bersemangat.
Om menatapku. Tatapan matanya menunggu penjelasan yang keluar dari mulutku.
Dengan perasaan campur aduk, kuceritakan tentang teror yang semalam telah menghantui aku dan Dwi.
Tante dan om terdiam mendengarkan ceritaku. Wajah mereka menyiratkan keraguan. Sepertinya mereka tidak mempercayai ceritaku.
"Apa kamu yakin dengan yang kamu alami? Mungkin itu hanya imajinasi kalian! Soalnya om dan tante semalam tidak mendengar suara apa-apa sama sekali?" Lirik om melihat ke arah istrinya tanda meminta persetujuan.
"Bapak kalau tidak percaya sama cerita Mba Ima dan Dwi, coba sekarang Bapak cek ponsel Bapak dan Ibu! Semalaman, Dwi mencoba menghubungi ponsel kalian tapi tidak diangkat!" Dwi menimpali pembicaraaan kami. Dia berusaha membelaku!
"Sudah, sudah tidak usah dibahas lagi! Tadi pagi Ibu lihat memang ada riwayat panggillan telepon dari Dwi. Tapi itu bukan berarti kalian sudah mendapat teror! Bisa jadi itu ketakutan yang dibuat-buat oleh kalian sendiri!" Tanteku kekeuh dengan pendiriannya bahwa kejadian semalam hanya khayalan dan karangan kami semata.
Aku menghela nafas berat. Percuma bercerita sama mereka kalau tidak dipercaya. Aku melirik Dwi yang mulai berjalan ke arah kamar mandi. Tampaknya dia begitu kesal mendengar ucapan orang tuanya.
***
Selesai sarapan di restoran hotel, kami segera berkemas dan bersiap pulang ke rumah.
Kulihat om sudah memarkirkan kendaraannya di depan Villa. Tante mulai memasukkan barang bawaan kami ke dalam bagasi mobil. Sedangkan Dwi menggendong putriku melihat kuda yang lalu lalang di depan Villa.
Aku berjalan ke arah dapur, ingin mengambil dot susu Gendis yang bekas dipakai tadi pagi. Alisku bertaut ketika melewati meja makan.
Pupil mataku mengecil melihat sesuatu tergeletak di atas kursi meja makan.
"Apa itu?"
Perlahan kuamati benda tersebut. Aku bisa merasakan aliran darahku berdesir dengan cepat.
"Bunga? Ada bunga kantil di atas kursi semalam yang diduduki mahluk astral berwujud sinden.
"Imaaa, ayo cepat! Ngapain sih lama banget!" Teriakan tante mengagetkan diriku yang masih terpaku menatap bunga di hadapanku.
Dengan ragu kuambil bunga tersebut dan kugenggam dalam tangan.
"Iya ma, sebentar!!" Balasku sambil berlari ke luar Villa.
"Ma, om tolong tunggu sebentar ya" pintaku sambil berlari menuju ke arah pohon beringin.
"Bismillah, ini kukembalikan bungamu yang semalam ketinggalan di kursi makan" ucapku sambil melempar bunga kantil ke arah pohon beringin.
Angin yang tadinya bertiup pelan berubah menjadi kencang dan menggoyangkan dahan beringin yang rimbun. Sepertinya mahluk astral itu memberi tanda sebagai ucapan rasa terima kasih!
"Terima kasih atas sambutannya semalam dan sudah tidak membuat putriku menangis!" Haturku sambil tersenyum dan berjalan menjauh dari pohon beringin yang terasa begitu kental aura mistisnya.
"Ngapain kamu ke pohon beringin?" Selidik tanteku.
"Nggak apa-apa ma" balasku sambil tersenyum tipis.
Om mulai menyalakan kendaraannya. Perlahan mobil mulai bergerak meninggalkan Villa.
Saat melewati pohon beringin, Gendis menunjuk ke arah pohon dan tersenyum. Putriku melambaikan tangannya. Aku menoleh ke arah pohon dan samar-samar terlihat sosok sinden tengah duduk diantara ranting beringin yang kokoh. Ia tersenyum ke arahku dan anakku. Dari balik kaca, akupun membalas senyumannya.
Samar-samar terdengar lembut lantunan tembang sunda melepas kepergian kami.
Bersambung
Comments (0)