“Makasih yah Tam,” ujarnya setelah melepas ciuman tersebut perlahan, “biarlah ini menjadi rahasia kita,” ujarnya dengan wajah yang sangat merah.
“Nad,” panggilku dengan bibir yang masih kelu, “makasih juga buat ciuman pertamaku,” ujarku.
Gadis itu tersenyum kepadaku, “syukurlah aku jadi yang pertama,” ujarnya dengan senyuman khasnya, “aku pikir ciuman pertama Tama buat Lia,” ujarnya dengan senyum.
“Itu punya kamu Nad,” ujarku dengan pipi yang terasa sangat panas.
“Nadine sayang Tama, apapun boleh Tama lakukan, asal Nadine masih ada di hati Tama,” ujarnya dengan lirih, dan membuatku makin merasa bersalah kepada gadis ini.
“Makasih Nad, tapi aku belum bisa bales perasaan kamu,” ujarku pelan.
Ia menggeleng “gak perlu, mencintai Tama udah cukup buat Nadine,” ujarnya lalu tertunduk.
Rasa ini, tidak mungkin, apakah aku juga mencintai Nadine, ataukah hanya perasaan sesaat setelah ia menciumku barusan? Aku makin tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Ya, seperti filosofiku, hidup itu layaknya mengendarai lokomotif. Mengapa harus lokomotif, dan apa hubungannya dengan hidup?
Lokomotif hanya memiliki opsi reverser maju dan mundur, masinis tidak dapat membelokkan boogie-nya sesuka hati. Siapa yang mengatur kapan lokomotif harus berhenti, belok, dan jalan, dialah petugas pengatur wesel. Sebagai contoh, KA2 Argo Bromo Anggrek rute GMR – SBI, sudah jelas bahwa kereta akan menuju ke SBI atau Surabaya Pasar Turi, dan sudah jelas juga kita akan melewati beberapa stasiun besar seperti JNG atau Jatinegara, CN atau Cirebon, sampai SMT atau Semarang Tawang. Lalu dimana filosofinya?
Sebagai masinis, apakah ia bisa menentukan di wesel nomor berapa kereta akan dibelokkan? Tidak bisa. Apakah masinis tahu kapan ia harus kena Semboyan 7? Tidak tahu. Dan apakah masinis juga tahu kapan keretanya diberikan Semboyan 40 di stasiun keberangkatan? Tidak tahu.
Sama seperti hidup kita, kita bisa berdoa dan menentukan kemana kita akan melangkah, tetapi takdir tetap ditentukan oleh Illahi. Akankah kita sampai di tujuan dengan selamat atau akan mengalami PLH atau Peristiwa Luar Biasa Hebat di tengah jalan, kita tidak tahu, yang kita harus ikuti adalah kemana Illahi menuntun kita.
Kita dituntun untuk mengikuti rambu dan semboyan dalam hidup supaya selamat sampai di tujuan, kita harus mengikuti anjuran Illahi agar selamat dari PLH. Begitupun hidup, kita harus ikuti pedoman hidup kita agar selamat sampai di tujuan, dan biarlah Tadkir yang menentukan akan lewat mana jalan hidup kita sampai ke akhirnya.
Sudah cukup dengan filosofi lokomotif milikku, aku akhirnya menghabiskan 3 jam di rumah Nadine hingga jam menunjukkan pukul 2200 malam. Kami hanya bercanda, tertawa, dan kami tetap menyimpan ciuman pertama tadi hanya untuk kita berdua. Meskipun setelah itu kami mengulanginya hingga 4 kali.
Saatnya ke rumah Elya, ujarku saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 2208, aku pun pamitan kepada Nadine, ya gadis yang baru kusadari bahwa aku juga mencintainya. Dengan kecupan hangat ke keningnya, aku pamit untuk pergi ke rumah Cauthelia. Wajahnya jelas menampakkan kecemburuan, tetapi aku sudah janji kepada Cauthelia untuk menemaninya malam ini, sehingga aku harus bertolak ke sana.
Malam ini gerimis masih saja mengguyur bumi, tidak butuh waktu yang lama untukku menuju ke tempat Cauthelia sebenarnya dari sana. Tetapi aku malah mengendarai mobil tersebut dengan perlahan. Masih terbayang rasanya ciumanku dengan Nadine beberapa saat yang lalu, dan hal tersebut membuatku tersenyum sendiri.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di depan rumah gadis itu, dan seakan merasa ini adalah rumahku, aku memasukkan BMW E38 ini ke garasi miliknya. Aku berjalan menuju ke pintu depannya, dan sesaat kemudian kuketuk pintu rumahnya, tidak butuh waktu lama pintu tersebut dibuka oleh Cauthelia.
Gadis itu membuka pintu dengan rambutnya yang agak acak-acakan karena habis bangun tidur, matanya agak sayu saat itu. Tidak butuh waktu lama, ia menarikku untuk segera masuk ke dalam rumahnya, gadis ini benar-benar memiliki aura yang berbeda dari Nadine, genggaman tangannya terasa lebih hangat dan juga lebih terasa ke jantungku. Entah apa namanya, tetapi seperti ada keterikatan antara aku dan dia.
Ia mengajakku menuju ke kamarnya, tidak Elya, jangan kau lakukan ini lagi, aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa saat itu. Ia duduk di samping ranjangnya sementara aku masih berdiri di dekat pintu kamarnya. Seketika ia menggeliat dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. Disana jelas sekali bahwa Cauthelia tidak menggunakan bra, tidak Elya, tidak jangan lagi, ujarku dalam hati.
Ia tersenyum menggoda kepadaku, aku tahu ini mungkin akan terjadi PLH apabila tidak segera merespon Semboyan 7 yang sudah nampak dari kejauhan. Kupersiapkan segalanya di otakku untuk menghentikan Cauthelia yang menurutku sudah tidak bisa ditoleransi.
“Kak,” panggilnya pelan, “makasih yah udah mau dateng ke sini,” ujarnya dan tersenyum.
“Sama-sama Dek, Kakak mau tepatin janji Kakak,” ujarku sekenanya, jantungku sudah berdetak sangat kencang saat itu.
“Maafin Dede yah ka,” ujarnya pelan ia sedikit tertunduk, “eh, kenapa Dek?” tanyaku lalu mendekat ke arahnya.
“Dede udah berlebihan nguji Kakak, padahal ya Dede tahu kalo Kakak orangnya lurus,” ujarnya pelan, “mungkin kalau dipaksa baru Kakak mau yah,” ujarnya lalu tertawa kecil.
“Dede nih, ada-ada aja, Kakak gak perlu lah dipaksa,” ujarku, lalu duduk di sebelahnya saat ini, “Dede gak risih ada Kakak di sini?” tanyaku sambil memandang ke arah dadanya, ia menggeleng.
“Karena Dede yakin Kakak gak akan aneh-aneh, makanya Dede percaya,” ujarnya dengan intonasi yang kembali menggelitik telingaku.
Ia lalu menggenggam tanganku, ekspresinya berbeda sepertinya ia sangat sedih sesekali ia memandangku. Ia lalu mengambil remote CD Player di ranjangnya, sembari mengarahkan remote tersebut ke CD player, sesekali ia menggenggam tanganku lebih erat.
Lagu brit pop itu begitu jernih terdengar di ruangan kamar Cauthelia yang terbilang cukup besar. Ia memandangku dengan wajah yang sangat sedih, gadis ini begitu berbeda, bukanlah Cauthelia yang ceria dan periang, ia terlihat sedih dan murung saat ini. Ada apa dengan Elya, ucapku di dalam hati.
“Dede kenapa?” tanyaku, dengan serta merta gadis itu mendekap lengan kiriku di dadanya, Elya sudahlah, jangan kau buat ini semakin berat, ujarku dalam hati lagi.
“This is the last time Kak,” ujarnya pelan.
“Maksud Dede?” tanyaku sedikit terkejut, ia menggeleng pelan.
“Is brea liom tu,” ujarnya sambil melihatku dengan wajah yang sangat merah, “Dede cinta sama Kakak,” ujarnya dalam bahasa indonesia.
Deg, jantungku berdetak sangat keras saat itu, aku tidak menyangka kata-kata dalam bahasa Irlandia itu ternya pernyataan cinta, bahkan ia sudah mengatakan itu sejak kemarin pagi kepadaku. Tidak mungkin dua gadis sudah menyatakan cintanya kepadaku, tetapi apa yang kulakukan, aku hanya diam dan tidak dapat memberikan keputusan untuk mereka.
Nadine Helvelina, aku mengenalnya sejak SMP kelas VIII, sudah berapa tahun ia menyembunyikan perasaannya kepadaku, entahlah, hanya saja apa yang ia lakukan tadi benar-benar mengejutkanku, ciuman pertamaku dengan seorang gadis yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Cauthelia Nandya, gadis idola di sekolah, aku baru mengenalnya beberapa hari, tetapi serasa aku sudah mengenalnya bertahun-tahun. Setiap pandangan dan kontak fisik yang kulakukan bersamanya membawa perasaanku semakin dalam kepada gadis ini, dan rasa ini semakin dalam setiap kali aku bertemu dengannya.
“Kenapa Dede bilang cinta sama Kakak?” tanyaku heran, “padahal Dede baru kenal Kakak?” tanyaku lagi.
“Pertanyaan yang sama ke Kakak, kenapa Kakak gendong Dede pas Dede pingsan waktu itu?” tanyanya balik, ia makin membenamkan lenganku di dadanya, “padahal Kakak gak kenal Dede,” ujarnya lalu menatapku dengan wajah yang merah.
“Karena Kakak mau berbuat baik sama orang lain,” ujarku serius.
Ia menggeleng pelan, “bukan karena hal itu Kak,” ujarnya dan tersenyum, “Kakak gendong Dede karena Kakak sayang sama Dede, tapi Kakak gak pernah sadar kalau Kakak sayang sama Dede,” ujarnya lagi.
“Mana bisa Kakak sayang tapi Kakak gak sadar?” tanyaku tidak percaya, “jawabannya ada di diary Dede, Kakak baru boleh buka enam hari lagi,” ujarnya dengan wajah yang sangat sedih.
Tanpa banyak kata ia mendekapku sangat erat saat itu. Apa yang menyebabkan cintanya sangat dalam kepadaku, aku masih belum mengerti hingga saat ini. Dan mengapa harus enam hari lagi? Ada apa sebenarnya dengan Cauthelia, aku mulai berpikir yang buruk tentang gadis ini.
Dan terjadi lagi, itu sangat cepat, bibirnya mendarat di bibirku, tidak mungkin, ucapku dalam hati. Ia masih mendekaku saat melakukan hal itu, bahkan ia mendorongku hingga aku tertidur di ranjangnya. Jangan Elya, sadarlah Elya, ujarku dalam hati. Posisi ini sangat rawan baginya, aku sudah mempersiapkan langkah apabila ia mulai kelewatan batas. Jujur bagiku ini saja sudah kelewat batas, aku tida mau seperti ini, Elya hentikan.
Seakan tidak mau berhenti, ia melumat bibirku dengan sangat ganas, kuakui Cauthelia jauh lebih lihai dibandingkan Nadine. Tetapi bukan itu intinya, cinta mereka yang berbeda, entah mengapa aku merasakan betapa dalamnya cinta Cauthelia kepadaku. Ia mendekapku dan mengunci posisiku, awalnya aku agak risih, tetapi akhirnya aku menikmatinya.
Cukup lama, akhirnya ia menyudahinya, ia memandangku dengan wajah yang sangat merah, ia lalu mengatakan Is brea Liom tu lagi, dan ia mengulangi ciuman tersebut lagi. Lebih ganas dari sebelumnya, dan inilah Elya, sisi lain dari gadis ini sudah terlihat sejak aku bermain ke rumahnya kemarin.
“Kak,” panggilnya dengan napas yang menderu, ia menggiring tanganku ke dadanya, hentikan kegilaan ini Elya, ucapku dalam hati.
“Dede, udah sayang, udah,” ujarku tanpa sengaja memanggilnya sayang, aku sedikit terkejut dan ia pun memandangku dengan wajah tidak percaya.
“Tapi Kak, Dede akan pergi Kak, Dede akan tinggalin Kakak, Dede akan pergi,” ujarnya dan menangis, ia lalu menciumku sekali lagi.
Sudah kuduga, ada yang disembunyikan oleh gadis ini, ada kesedihan di matanya, dan ternyata pikiranku benar, pikiranku juga tepat tentang diary yang ia berikan kepadaku kemarin. Entah cinta, entah takut kehilangan, entah nafsu, semuanya dicurahkan Cauthelia kepadaku, tangisannya masih belum berhenti.
“Dede mau pergi kemana?” tanyaku yang tiba-tiba merasa sedih, aku pun hampir menangis saat itu.
“Papa pindah dinas, enam hari lagi, mendadak banget Kak,” ujarnya masih menangis.
“Dede, bangun dulu yah sebentar,” ujarku yang saat itu sudah ditindih olehnya, ia tidak mengindahkan kata-kata dariku malah menciumku sekali lagi dengan cukup lama, Elya, hentikan Elya, sadarlah kau bukanlah Istriku.
“Sayang, disimpen aja yah buat nanti,” ujarku pelan saat ia sudah menggiring tanganku ke dadanya, “tapi Dede yakin kita gak akan ketemu lagi Kak,” ujarnya dan menangis tersedu, ia mendekapku dalam posisi seperti ini.
Aku benar-benar merasakan kesedihan gadis itu mengalir di setiap detak jantungnya, tiap aliran darahnya bermakna kegundahan hatinya saat ini. Aku sudah melangkah sejauh ini dengan gadis yang baru kukenal empat hari ini, seakan ia adalah milikku seutuhnya.
Maafkan aku Nadine, aku tidak mengerti mengapa disaat cinta datang ke hidupku semuanya menjadi rumit. Cauthelia juga tetap memaksa aku untuk mengikuti keinginannya. Ini adalah titik balik, dan aku harus bertindak, ingat aku adalah masinis, dan ia adalah lokomotif, aku harus bisa menghentikannya, harus. Kudekap ia lebih erat dan aku berusaha untuk mengecup keningnya.
“Kak,” ujarnya lalu terdiam.
“Kalau Dede percaya, Kakak adalah takdir Dede, gak perlu begini kan?” tanyaku dengan tersenyum, ia lalu menghela napas panjang.
“Kakak akan penuhi apapun keinginan Dede, tapi nanti kalau Kakak jadi suami Dede,” ujarku sambil mengusap kepalanya dengan lembut.
“Dede percaya Kakak adalah takdir Dede, tapi Dede gak bisa pergi dua tahun Kak,” ujarnya dengan wajah yang sangat sedih.
“Cuma dua tahun kan?” ujarku menenangkannya, “lagian kan kita masih bisa teleponan Dek,” ujarku dan tersenyum.
“Sekali ajah yah Kak, untuk memastikan Dede gak akan ingkari Kakak,” ujarnya dan menggenggam tanganku lagi untuk digiring ke tempat yang ia inginkan.
Comments (0)