Part. 17
Villa 206
Villa 206
Bola mata Gendis berkeliling menyapu ruangan. Tubuhnya membeku seperti patung. Iris matanya melotot. Ia mulai melolong, menjerit ketakutan!
"Ima! Cepat bawa Gendis keluar!!!" Terdengar teriakan om dari dalam Villa.
Aku yang panik dengan tergopoh-gopoh segera membawa tubuh putriku keluar menjauh dari Villa 206.
Perlahan jeritan Gendis mulai terhenti berganti menjadi isak tangis yang sangat menyayat hati. Badannya bergetar ketakutan dengan wajah yang ia benamkan di ceruk leherku. Putriku tidak berani menatap ke arah Villa, tampaknya ia begitu trauma dengan penyambutan yang luar biasa dari mahluk astral penghuni Villa 206.
Aku menatap lekat ke arah pohon beringin yang berjarak lima meter dari tempatku berdiri. Bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya, menyerupai sosok hitam tinggi besar bertaring tajam. Sekelebat kulihat sosok mata tengah mengintai diantara rimbunnya dedaunan.
"Sreeek" pohon beringin bergoyang seirama dengan arus angin yang meniup tak terlalu kencang. Beberapa helai daunnya jatuh berguguran di atas tanah yang berhiaskan rumput gajah.
"Ah, mungkin yang tadi kulihat hanyalah halusinasiku saja" gumamku membesarkan hati.
"Sebentar! Apa itu??" Kupincingkan ekor mataku untuk lebih memperjelas penglihatanku. Kulihat salah satu akar gantung pohon beringin yang menjutai panjang sedang bergerak-gerak sendiri. Seolah-olah sedang ada sesuatu yang tengah bergelayut pelan diantara akarnya yang panjang.
"Kenapa hanya salah satu akarnya saja yang tampak bergoyang? Sedangkan akar lainnya terdiam?" Telisikku sambil terus mengamati ke arah pohon beringin yang semakin lama auranya membuat perasaanku tidak nyaman.
Segera kualihkan pandanganku menatap ke arah lobi hotel. Jantungku berdegub kencang, hatiku mulai diliputi perasaan takut!
Tidak lama kemudian pintu Villa 206 terbuka dan terlihatlah keluargaku yang berjalan menghampiriku.
"Ima, untuk sementara kita ajak Gendis ke mesjid yang dekat gerbang pintu masuk hotel. Kita shalat ashar sekalian beristirahat disana" ajak om sambil mengulurkan tangannya ingin menggendong Gendis.
"Kasihan cucu kakek, baru masuk ke dalam Villa sudah menjerit ketakutan. Wajah mereka seram ya?" Tanya om sambil mengusap lembut tangannya ke pipi Gendis.
Gendis merebahkan kepalanya di bahu omku, sepertinya ia berusaha mencari tempat berlindung dan rasa aman. Kami berlima segera berjalan ke arah mesjid yang letaknya tidak begitu jauh dari Villa yang kami tempati.
Dwi berjalan merapat ke arahku "Mba tadi anakmu kenapa? Dia lihat apaan di Villa sampai ketakutan begitu?" Bisiknya sambil menggengam tanganku dengan jemarinya yang terlihat putih pucat.
"Mba nggak tau apa yang dilihat sama Gendis. Mbakan normal, tidak indigo seperti adikmu!" Sahutku sambil menggidikkan bahu.
"Mba, aku takut kalau nanti malam anakmu menjerit-jerit ketakutan. Baru masuk ke Villa saja sudah histeris, gimana nanti malam? Aku takut Mba! Salah Bapak nih ngapain ajak cucunya jalan-jalan kemari!" Gerutu Dwi dengan wajah terlihat kesal.
Aku mengangguk pelan. Sejujurnya memang itu kekhawatiranku saat ini. Firasatku mengatakan sesuatu tengah menunggu dan mengintai putriku saat menjelang malam tiba. Aku menghembuskan nafas berat berusaha menghilangkan rasa cemas dan takut berlebih.
"Anakmu serem Mba! Perasaan dulu setiap kita travelling, tidak pernah menemui kejadian aneh. Tapi sekarang? Dimana ada Gendis, pasti selalu ada kejadian mistis!"
"Huss! Jangan bilang begitu! Kasihan Gendis! Percaya sama Mba kalau adikmu juga tidak ingin terlahir seperti ini. Mana ada sih manusia yang mau hidupnya selalu dalam bayang-bayang ketakutan? Setiap saat harus menjerit histeris karena diteror oleh mahluk astral?" Paparku sambil menggenggam erat jemari Dwi.
"Berdoa saja semoga nanti malam tidak ada kejadian aneh yang menimpa kita" desisku pelan walau hati kecilku berkata lain.
Tak terasa langkah kaki kami sudah memasuki halaman mesjid. Di samping kanan mesjid terlihat taman bunga yang sangat indah. Kupu-kupu yang berwana-warni tampak mengepakkan sayapnya beterbangan diantara kelopak bunga. Di halaman mesjid juga terdapat ayunan besi dan jungkat jungkit sebagai fasilitas hiburan untuk anak-anak yang sedang menunggu orangtuanya beribadah. Kolam ikan yang sangat luas dengan pancuran di tengahnya tampak menghias di halaman sebelah kiri mesjid.
Aku berdecak kagum mengamati interior bangunan mesjid yang begitu mewah. Batu marmer tampak menghias lantai, dinding, kolom, kubah hingga kaligrafi pada bangunan mesjid. Hawa dingin lantai marmer terasa menyejukkan begitu aku melangkahkan kakiku ke dalam mesjid.
Om menyerahkan Gendis ke dalam gendongan tante. Kulihat pintu masuk untuk pria berada di sebelah kiri mesjid. Sehingga om harus berjalan memutar.
"Ima jangan melamun! Ayo cepat bergantian shalat asharnya" suara tante terdengar setengah berbisik.
Selesai shalat, aku meminta tolong Dwi untuk membelikan aqua botol ke warung yang letaknya di sebrang mesjid. Dwi tampak keheranan mendengar permintaanku.
"Aqua? Untuk apaan Mba?" Tanyanya dengan mimik wajah penasaran.
"Sudah tolong kamu belikan dulu, nanti Mba jelasin." Seraya kuserahkan selembar uang berwarna biru.
Dwi bergegas keluar mesjid, tak lama kemudian ia datang membawakan pesananku. Dia duduk terdiam di sampingku, tampaknya ia begitu ingin tau apa yang akan aku lakukan dengan air tersebut.
Segera kubuka tutup botol aqua dan mulai membacakan ayat-ayat ruqyah dasar. Aku merendahkan diri dan bermunajad memohon pertolongan serta perlindungan dari Allah untuk keluargaku.
Selesai melakukan ruqyah mandiri, sudut mataku melihat putriku yang sedang belajar berjalan sambil berpegangan pada dinding mesjid. Sesekali ia tampak terdiam dan menempelkan bibirnya ke tembok mesjid sambil tertawa kegirangan. Bibirku menyunggingkan secercah senyuman melihat kelakuan Gendis. Mungkin anakku senang dengan sensasi dingin yang dirasakan oleh bibir mungilnya saat menyentuh dinding mesjid yang terbuat dari marmer.
"Ma, Ima boleh minta kunci Villa?" Pintaku ke tante yang sedang mengawasi putriku.
"Untuk apa?" Keningnya terlihat mengerenyit.
"Ima mau meruqyah ruangan di Villa. Siapa tau bisa membantu dan bikin Gendis tidak ketakutan lagi."
Tanteku memutar ke dua bola matanya. Nampaknya ia tengah berpikir dengan tindakan yang akan aku lakukan. Setelah terdiam agak lama, akhirnya beliau mengambil kunci dari dalam tasnya dan menyerahkan padaku.
"Ini kuncinya! Dwi tolong kamu temani Mba Ima ke Villa. Biar Gendis menunggu di mesjid dulu sama mama dan om."
Dwi melotot ke arah tanteku. Wajahnya tampak bersungut-sungut saat mendengar ucapan Ibunya.
"Ayo Wi!" Ajakku sambil beranjak meninggalkan mesjid sambil memegang botol aqua di tangan kananku.
Dengan setengah hati, kulihat Dwi mulai berjalan menyusulku.
Sepanjang perjalanan ke Villa, Dwi menggenggam jemariku dengan erat.
"Mba, aku takut! Ngapain sih Ibu pakai nyuruh aku untuk nemanin Mba?"
"Bismillah! Kalau kamu takut, kamu tunggu di luar saja. Biar Mba yang masuk sendirian. Mba berani kok." Tuturku berusaha menenangkan dirinya.
Saat melewati pohon beringin yang berada di samping Villa, bulu kudukku meremang.
"Kehadiran kami disini tidak berniat mengganggu kalian sama sekali! Kami hanya ingin menumpang bermalam, jadi kumohon agar kalian tidak menganggu kami!" Ucapku dalam hati sambil menatap tajam ke arah pohon beringin.
Tak terasa langkah kami terhenti di depan pintu masuk Villa 206.
"Bismilllah" aku mulai menyisipkan dan memutar kunci pintu.
Genggaman tangan Dwi semakin erat mencengkram jemariku. Wajahnya yang putih terlihat pias.
"Kriiieet" pintu Villa terbuka.
"Assalamu'alaikum" suaraku lantang biar mereka paham kalau aku tidak takut dengan sambutan yang sudah mereka lakukan untuk anakku tercinta.
"Dwi tolong lepaskan tanganmu sebentar. Gimana Mba mau mulai meruqyah kalau kamu megangin tangan Mba terus!"
Dengan terpaksa kulihat Dwi mulai melepaskan genggamannya. Dan sekarang ia memegang ujung baju yang sedang kupakai.
"Wi, tolong kamu tunggu Mba di ruang tv dulu ya."
"I-iya! Tapi Mba jangan lama-lama ya?" Pintanya dengan wajah memelas.
Aku tersenyum tipis sambil mengganggukkan kepala tanda setuju.
Iris mataku mengamati ruangan di Villa yang ternyata sangat luas. Di dalamnya terdapat ruang tamu, ruang tv, ruang makan, .dapur, kamar mandi dan dua kamar tidur.
Kulihat tasku dan perlengkapan Gendis diletakkan di kamar utama yang letaknya dekat pintu ruang tamu. Mataku berkeliling menatap ruangan yang akan menjadi tempatku melepaskan lelah. Terdapat lemari jati yang cukup besar untuk menaruh perlengkapan kami. Ranjang ukuran King terlihat sangat nyaman dengan lukisan hewan yang menghias di atas tempat tidur bagian kepalanya.
Tanpa berpikir panjang segera kuturunkan lukisan yang tergantung di atas tempat tidur, dan kuletakkan di sudut ruangan dengan posisi terbalik. Tanganku terlihat kotor terkena debu yang menempel pada lukisan.
Aku bergegas menuju ke dapur untuk segera mencuci tanganku yang kotor. Mataku menatap ke arah pohon beringin yang terlihat sangat jelas dari arah jendela dapur. Segera kututup tirai jendela dan menyalakan kran wastafel untuk membasuh tanganku.
Tubuhku bergidik merasakan ada hembusan angin dingin yang membelai lembut tengkukku. Padahal saat itu semua pintu dan jendela dalam keadaan tertutup. Jadi mustahil jika ada angin kencang yang bisa menembus masuk ke dalam ruangan.
Aku mengamati area dapur dan mengintip ke celah jendela, memandang ke arah pohon beringin yang berdiri dengan angkuhnya.
"Awas jangan jahil!" Tuturku sambil memegang tengkuk yang meremang.
"Tokek..tokek" suara tokek terdengar bersahut-sahutan di dalam Villa.
Aku celingukan ke segala arah mencari darimana suara tokek berasal, namun hasilnya nihil!
"Ah, mungkin mereka bersembunyi di atas plafon!" Mataku berpendar menatap ke arah plafon berwarna putih.
'BRAAAK!!" Terdengar suara pintu dibanting dengan keras diiringi jeritan dari arah ruang tamu.
"MBAAAA!!" Teriakan Dwi menggema di seluruh ruangan.
Dengan tergesa-gesa, aku segera berlari ke arah ruang tamu. Kulihat tubuh Dwi tengah meringkuk di atas sofa. Wajahnya ia benamkan dalam bantal berwarna merah tua. Tubuhnya menggigil ketakutan!
"Ada apa Dwi? Kenapa kamu berteriak?" Tanyaku pelan sambil menyentuh bahunya.
"Takut Mba! Aku takut!" Sahutnya diiringi isak tangis.
"Hey, kamu takut kenapa? Ayo lihat ke Mba!" Aku mulai bingung dengan perubahan sikap Dwi.
"I-Itu Mba!" Tangannya menunjuk ke arah kamar mandi yang posisinya berhadapan dengan ruang tamu.
Aku melihat ke arah kamar mandi yang pintunya tampak tertutup rapat.
"Kenapa sama kamar mandi?" Dahiku mengerut keheranan.
"Tadi pas Mba lagi di dapur, aku lihat pintu kamar mandi tertutup sendiri. Seperti ada yang membanting pintunya!" Pekiknya histeris sambil terus menutup wajahnya dengan bantal sofa.
"Dwi tolong lihat Mba dulu! Kamu jangan ketakutan seperti itu. Mereka malah merasa senang!" Bujukku pelan berusaha menenangkan Dwi.
"Ayo Mba, kita balik ke mesjid saja. Aku mau minta pindah hotel sama Bapak! Aku nggak mau menginap disini! Aku takut.. takut banget!!" Suara isak tangisnya semakin bertambah kencang.
"Tunggu sebentar. Mba mau meruqyah Villa ini sekarang. Kamu disini dulu ya?" Sambil kubelai lembut kepalanya yang memakai hijab berwarna abu-abu.
"Jangan lama-lama Mba!" Rintihnya dengan bibir bergetar.
Sambil mengucapkan Basmallah, segera kubuka tutup botol aqua. Aku mulai melantunkan surat Al-Baqarah dan memerciki air ruqyah ke seluruh penjuru ruangan. Setelah selesai, aku segera menghampiri Dwi yang bibirnya terlihat memucat.
"Sudah selesai, hayuk kita ke mesjid lagi" ajakku sambil memegang tangannya yang terasa begitu dingin.
Dengan wajah sembab dan ketakutan, Dwi berjalan di sebelahku sambil terus menutup wajahnya dengan ke dua telapak tangannya.
Sepanjang perjalanan menuju mesjid, Dwi terus menangis, wajahnya masih terlihat shocked dengan hal gaib yang baru saja terjadi di depan matanya.
"Dwi, kamu kenapa menangis?" Tanya om ketika melihat wajah putri kesayangannya berlinang air mata.
"Bapak.." tangisan Dwi pecah sambil berhambur ke pelukan ayahnya.
"Pak, ayo kita pindah hotel saja! Kita cari hotel yang lain! Dwi takut nginap disini!" Ujarnya sambil terus menangis.
Om keheranan melihat tingkah laku putrinya. Bibirnya memberikan isyarat meminta penjelasan kepadaku. Akhirnya akupun menceritakan peristiwa yang baru saja kami alami.
"Sudah tidak usah takut! Ada Bapak dsini! Mari kita kembali ke Villa" ajak om sambil menggandeng lengan putri kesayangannya.
Alhamdulillah saat memasuki Villa, putriku tidak menjerit histeris seperti saat pertama kali ia datang. Walau terlihat jelas binar keraguan di sorot matanya yang tajam.
Saat itu semuanya berjalan normal, tidak ada satupun gangguan yang kami alami. Hingga di saat malam menampakkan wujudnya.
***
Aku, Dwi dan Gendis tidur di kamar utama yang letaknya berdekatan dengan ruang ramu. Sedangkan tante dan om menempati kamar yang dekat dapur.
Jam menunjukkan pukul dua puluh tiga lewat lima belas menit. Kulihat Dwi dan Gendis mulai terlelap dalam mimpi, mungkin mereka terlampau letih setelah menempuh perjalanan jauh.
Aku mencoba memejamkan mata sebisaku, namun terasa sulit. Perasaanku mulai tidak enak ditambah hawa ruangan yang mulai terasa berbeda.
Terdengar suara pegangan pintu diputar dan pintu terbuka. Tak lama kemudian terdengar suara kran air dinyalakan.
"Ehemm!" Suara orang berdehem dari dalam kamar mandi. Mungkin om atau tanteku memberi tanda jika sedang berada di kamar mandi, pikirku saat itu.
Hampir setengah jam waktu berlalu.
Kenapa tidak terdengar aktifitas suara orang di kamar mandi? Sedangkan masih terdengar jelas gemericik air? Aku mulai takut kalau sesuatu telah menimpa om atau tanteku. Aku khawatir kalau mereka terjatuh atau pingsan di kamar mandi, itu bisa berakibat fatal! Dengan bergegas, aku segera berjalan ke luar kamar.
Kubuka pintu perlahan karena takut membangunkan Dwi dan putriku yang sedang terlelap. Dengan berjingkat, pelan-pelan aku berjalan ke luar kamar.
"Cteek!!" Saklar lampu dekat pintu masuk kamar segera kunyalakan, seketika ruang tamu menjadi terang benderang.
Mataku berpendar menatap seluruh ruangan.
Tak nampak satu orangpun disana!
Aku melihat ke arah kamar mandi yang tampak gelap gulita.
Segera kunyalakan saklar lampu dekat pintu kamar mandi, kemudian aku memutar knop pintu dan mendorongnya.
"Kriieett" suara derit pintu berbunyi.
"Sepi!!" Tak ada siapapun di dalam!! Krran air juga dalam keadaan mati!"
Sudut mataku berkerut "Jadi suara apa tadi yang kudengar? Bukannya ada suara orang di kamar mandi?" Aku terpaku kebingungan.
"Apa iya, saking lelahnya aku berhalusinasi? Tidak! Tidak mungkin aku sedang menghayal! Jelas-jelas aku mendengar suara orang dan kran air dinyalakan!"
Setelah kupastikan jika tidak ada satu orangpun di sana, aku segera kembali ke kamarku.
Aku duduk di pinggir ranjang, mataku berkeliling menatap ruangan. Aku merasa sedang ada yang mengintai, aku memasang insting waspada!
"Tidak akan kubiarkan siapapun mengganggu anakku!" Gumamku pelan sambil memandangi wajah cantik putriku yang tertidur pulas.
Rasa kantuk mulai menyerangku "Hoam" aku menutup mulutku yang menguap.
Aku merebahkan badan di samping putriku yang sedang terlelap. Aku menghela nafas pendek dan mulai memejamkan mata.
"Sreek.. sreeek" samar-samar terdengar suara orang sedang menyapu halaman.
Perlahan aku membuka indera penglihatanku dan menajamkan pendengaranku. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, menunjukkan pukul satu lewat empat puluh lima menit.
"Siapa yang sedang menyapu di halaman tengah malam begini? Apa petugas kebersihan hotel? Tidak mungkin! Mustahil tengah malam begini mereka sudah mulai bersih-bersih!"
Ditengah rasa kantuk yang melanda, aku berusaha untuk tetap berpikir jernih.
"Sreek.. sreek" terdengar lagi suara orang menyapu kali ini diiringi suara orang bersiul.
Rasa penasaran mulai menyergap diriku. Dengan mengendap aku beranjak dari tempat tidur. Seperti maling, aku mengintip keluar melalui jendela kamar.
"Sepi!!" Indera mataku hanya menangkap temaram lampu taman yang bersinar redup.
Kututup kembali gorden kamar. Aku duduk di kursi meja rias yang terdapat di samping tempat tidur.
"Kreeet.. kreeet" terdengar suara meja yang sedang di dorong kesana kemari.
"Tuk..tuk..tuk" terdengar suara orang sedang mengetuk dinding kamar. Lama-lama suara ketukan berubah menjadi suara cakaran. Aku mengatupkan rahang karena tidak kuat mendengar suaranya yang membuat pendengaranku terasa ngilu.
"Mbaaa!!" Suara Dwi membuyarkan konsentrasiku yang tengah fokus mendengarkan suara misterius dari arah dinding kamar.
"Apa?" Tanyaku sambil menaikkan alis mata.
"Itu suara apa? Kenapa dari tadi aku mendengar suara-suara aneh?" Terlihat garis muncul di antara alisnya yang tebal.
"Ssttt.. jangan berisik," ku tempelkan jari telunjuk di bibir memberi tanda agar Dwi mengecilkan volume suaranya.
Dwi membeliakkan matanya yang bulat ke arahku. Sepertinya dia tidak suka dengan sikapku yang memintanya untuk tetap tenang. Perlahan Dwi turun dari ranjang dan menghampiriku. Ia bersimpuh di lantai sambil kedua tangannya memegang kakiku.
Suara garukan dan gemerisik mulai terdengar di plafon kamar disertai suara kran air yang dibuka.
"Mbaa...!!" Pekik Dwi pelan sambil menggoncangkan kakiku yang ia cengkram begitu kuat.
"Jangan berisik Dw!i! Nanti Gendis terbangun!" Geramku menahan marah.
Aku lebih takut mendengar teriakan dan jeritan Gendis yang begitu Cumiakkan telinga, dibandingkan harus berhadapan dengan mereka!
"Mba, tolong panggil Bapak suruh kemari! Aku takut Mba!" Ujarnya dengan wajah memelas.
"Udah nggak usah takut, paling itu hanya suara orang lagi iseng di Villa sebelah" sahutku berusaha menenangkan Dwi yang tampak panik.
Bola matanya membesar "Villa yang mana Mba?" Suara Dwi terdengar gusar.
"Villa sebelah" tunjukku ke arah tembok kamar.
"Jangan bercanda Mba! Nggak lucu! Villa kita ini tidak ada tetangganya! Lagi pula samping Villa kita cuma taman dan pagar!"
"Astagfirullah, kenapa Mba bisa lupa!!"
"Semenjak Gendis lahir, Mba jadi pikun!" Mulut Dwi mengerucut tanda ia mulai kesal.
"Maafin Mba ya, Mba lupa" bujukku pada sepupuku yang tengah merajuk.
Dwi segera mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja rias. Ia mulai menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat tegang! Dia mencoba menelpon sekali lagi, tapi sepertinya orang yang dia tuju tidak mengangkat teleponnya.
"Kamu sedang menghubungi siapa Dwi?" Tanyaku penasaran.
"Aku menelpon Bapak dan Ibu tapi kenapa mereka tidak mengangkat telponnya ya Mba?" Wajahnya polosnya terlihat kebingungan.
"Mungkin ponsel mereka di silent, makanya tidak mendengar telepon dari kamu" sahutku membesarkan hatinya.
"Nggak mungkin Mba! Aku tau banget kalau ponsel mereka tidak pernah di silent!"
"Tokkeek.. tokkeekk" suara tokek terdengar membelah keheningan malam.
Dengan tubuh bergetar, Dwi beringsut memeluk tubuhku erat.
"Mbaaa... sekarang apa lagi? Kenapa ada suara tokek?" Matanya mulai berembun menahan butiran kristal bening yang siap terjatuh kapanpun.
Ku usap lembut pergelangan tangannya yang melingkar di leherku "Dwi, kamu meluk Mba jangan terlalu kencang. Mba jadi tidak bisa bernafas!" Perlahan kulepaskan pelukannya.
"Kalau kamu takut, sana kembali tidur. Biar Mba yang berjaga!"
"Mba, coba dengar itu suara apa lagi?" Keringat dingin mulai membasuhi keningnya.
Sambil menghela nafas pelan, kupertajam indra pendengaranku.
"Suara apa itu?"
Aku mulai merasakan bulu-bulu halus di sepanjang tanganku meremang seakan memberi peringatan. Bola mataku membeliak, tidak mempercayai pendengaranku saat ini.
Bersambung
Comments (0)