Baca cerita
Kembalilah
CHapter 17 (Bimbang Diantara Dia) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita
Kembalilah
bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.
Aku melepaskan dekapanku dari gadis itu untuk mencegah hal yang tidak kuinginkan, ku belai lembut rambutnya yang halus dan wangi itu. Napasnya yang semula menderu, kini mulai mereda, ia mencoba tersenyum kepadaku dengan wajahnya yang sangat merah. Aku tersenyum kepadanya, dan aku semakin yakin bahwa apa yang kurasakan adalah perasaan mencintai gadis ini, semoga saja aku tidak salah.
Hujan sudah berangsur mereda, untuk berjaga-jaga aku pun berpamitan kepada Cauthelia, aku sudah berjanji kepada Nadine untuk datang malam ini. Aku pun pergi dengan lambaian tangan dan senyum manis dari gadis itu. Biarlah tubuhku sedikit basah yang penting aku tetap menjaga kehormatan gadis itu, aku hanya tidak mau terjadi hal yang tidak-tidak kepada kami.
Tidak butuh waktu lama, aku tiba di rumah dengan keadaan tubuh basah kuyup. Tidak apa tubuhku basah yang terpenting aku selamat, dan aku bisa menyelamatkan kehormatan Cauthelia, aku tidak mau sama dengan mereka yang ada di luar sana. Lupakan masalah itu, secepat mungkin aku menuju ke kamar mandi untuk mandi sore dan bersiap untuk menuju ke rumah Nadine.
Waktu berjalan cukup cepat, akhirnya waktu menunjukkan pukul 1830, di luar masih hujan deras, tetapi aku sudah berjanji kepada Nadine, sejurus kemudian aku memutuskan untuk meminjam mobil Ayah. Setelah kubuka pintu garasi, aku mengeluarkan BMW E38 milik Ayah, dan setelah kututup pintu garasi aku bertolak ke rumah Nadine.
Jarak rumahku ke rumah Nadine sekitar 6 Km, searah ke rumah Cauthelia namun lebih jauh. Tidak butuh waktu yang lama untuk tiba di rumahnya, hanya saja jalanan di sana cukup sempit sehingga agak sulit mengendarai mobil ini di sana. Beruntung rumah Nadine ada di ujung jalan, sehingga tidak mengganggu orang lain saat aku memarkirkan mobilku.
Sejurus kemudian, aku tiba rumah Nadine, hujan masih turun dengan derasnya. Aku menelepon Nadine untuk memberitahukan bahwa aku sudah tiba di rumahnya. Ia sempat kebingungan, lalu saat kukatakan bahwa aku berada di dalam mobil ia sedikit terkejut. Sesaat kemudian, aku diajak masuk ke dalam rumahnya, untuk yang kesekiankalinya.
“Tama kamu punya mobil?” tanyanya dengan penuh keheranan.
Aku menggeleng pasti, “itu punya Ayah, bukan punya aku,” ujarku lalu tersenyum.
“Bener juga sih, kamu gak salah,” ujarnya lalu tertawa kecil.
Nadine, gadis itu sangat cantik malam ini, baru kali ini aku melihat Nadine tidak mengenakan pakaian sekolah. Setelan yang mirip dengan Cauthelia. Tank top tosca dengan hot pants hitam, tunggu sebentar tidak bisakah mereka mengganti pakaiannya dengan model yang lain? Haruskah mereka berpenampilan menggoda seperti itu? Sudahlah, akhirnya kata-kata itu muncul kembali di kepalaku.
“Kenapa Tama ngeliatin Nadine segitunya?” tanyanya dengan penuh keheranan.
“Gak apa-apa Nad, kamu pake baju yang modelnya sama persis kayak Elya,” ujarku lalu menghela napas, ia lalu memandangku dengan sedikit heran.
“Pasti bagusan badannya Lia lah Tam, secara Tama tau kan punyanya Lia gede,” ujarnya lalu menghela napas.
“Sama aja Nad, bukan masalah bagus ato gak, tapi lebih kepada ideologi,” ujarku sambil menatap wajah gadis tersebut.
“Eh, maksud Tama gimana itu?” tanyanya penasaran.
“Jadi gini Nad,” ujarku lalu mendekatkan diriku kepadanya, “seorang laki-laki sejati pasti bakalan lindungin perempuannya daripada manfaatin apa yang dia punya,” ujarku dengan pelan, seketika wajah gadis itu memerah.
“Tam, yuk Nadine tadi kan janji mau kasih Tama sesuatu,” ujarnya pelan lalu menarik tanganku.
Aku diajaknya menuju ke ruang makan di rumahnya, dan voila dia sudah memasakkan pasta untukku. Luar biasa gadis ini, aku bahkan tidak mengetahui bahwa ia juga bisa memasak. Wajah gadis ini memerah saat aku duduk di sebelahnya, dan kami hanya berdua di rumahnya saat ini.
Hujan masih saja turun dengan deras di luar, dan aku mulai memakan masakan Nadine, dan rasanya benar-benar luar biasa. Bisa dikatakan selevel dengan rasa nikmatnya masakan Cauthelia yang ia berikan beberapa waktu terakhir. Gadis ini juga sempurna, itu ucapku di dalam hati saat ini, segalanya juga ia miliki, cantik, baik, tegas, tubuhnya pun indah, tidak seperti bentuk jam pasir, tetapi lebih kepada bentuk buah pir.
“Nad, asli masakan kamu enak banget,” ujarku memujinya, ia tersenyum dengan wajah yang memerah saat ini.
“Makasih banget yah Tam,” ujarnya dan tersenyum, “Nadine seneng Tama suka sama masakan Nadine,” ujarnya lalu menggenggam tanganku dengan hangat.
“Aku yang makasih sama Nadine udah mau repot-repot masak buat aku,” ujarku dengan pelan.
“Tam, Nadine tahu mungkin ini gak sesuai sama yang aslinya,” ujar Nadine lalu mengeluarkan sebuah kotak dari kursi di sebelahnya, ia lalu memberikannya kepadaku.
“Apaan ini Nad?” tanyaku penasaran, ia lalu membuka kotak itu.
Sebuah miniatur drum set lengkap dengan 3 tom, 2 floor, 1 snare, 2 bass drum, 1 hat, 2 splash, 2 crash, 1 ride dan 1 chinese, tidak lupa 2 set octoban juga ada di sana. Ini adalah konfigurasi Mike Portnoy pada album Falling into Infinity, sungguh gadis ini membuatku sedikit terharu, aku bahkan tidak pernah tahu bahwa ia sengaja membuat miniatur rumit dan sedetail ini untukku. Sejurus aku memandangnya, aku tersenyum antara bahagia dan terharu.
“Nad, makasih banget yah,” ujarku lalu meletakkan kotak tersebut di atas meja makan.
Sesaat kemudian aku menggenggam kedua tangannya, “aku tahu pasti susah kan buat bikin itu?” tanyaku, ia mengangguk pelan.
“Butuh waktu hampir setahun Tam,” ujarnya pelan, ia tersenyum.
“Loh kenapa Nadine sampe segitunya bikinin buat aku?” tanyaku dengan sangat penasaran, ia terdiam cukup lama kemudian tertunduk, “Nad, kamu gak kenapa-napa kan?” tanyaku sedikit cemas, dan ia hanya menggeleng pelan.
“Karena rasa itu Tam, karena rasa itu Nadine bisa buat ini,” ujarnya lalu menatapku dengan wajah yang sangat merah, “kata orang cinta pertama itu akan melekat seumur hidup, dan itu yang Nadine rasain saat ini,” ujarnya dan berusaha tersenyum.
Deg, jantungku kini berdetak sangat cepat, apa benar kata teman-temanku tentang Nadine, apakah memang aku yang tidak peka akan semua tanda yang telah diberikan olehnya selama ini? Pikiranku mulai berkecamuk, pandanganku pun mulai kabur, aku tidak dapat berkata apa-apa lagi saat ini.
Seluruh badanku terasa kaku, selama ini Nadine selalu ada di sebelahku sejak kelas X, dan saat semua orang melakukan reshuffle tempat duduk, hanya kami yang tak pernah berpisah. Dan aku baru mengetahui hal itu dari mulut mungilnya hari ini, malam ini di bawah guyuran hujan di saat makan malam di rumahnya. Nadine Helvelina, gadis yang pertama kali kutemui di warung dekat SMP-ku dahulu.
“Nad, maafin aku ya,” ujarku seakan merasa bersalah atas semua yang sudah terjadi.
“Minta maaf buat apaan emangnya Tam?” tanya gadis itu.
“Karena aku gak peka, karena aku bodoh,” ujarku sangat menyesal, dan sudah terlambat mengetahui ini semua, gadis itu lalu menggenggam tanganku.
“Tama gak bodoh, tapi emang Tama cuek, justru itu yang Nadine suka pertama kali sama Tama,” ujarnya dan berusaha mengenang sesuatu, kulihat dari matanya.
“Maafin aku ya Nad,” ujarku yang merasa sangat bersalah kepadanya.
Tanpa banyak kata, Nadine mendekapku dengan sangat hangat, Nadine sadarlah, aku bukanlah siapa-siapa untukmu, ujarku dalam hati. Tetapi detak jantungku tidak dapat berbohong, presensi gadis ini sudah cukup kuat berada di dalam hatiku. Dalam dekapannya, kudengar ia berbisik, “Nadine sayang Tama,” berulang-ulang, dan itu membuatku merasa semakin bersalah dengan gadis ini. Aku benar-benar tidak peka dengan kejadian di sekitarku, sehingga sudah ada lagi gadis terluka karena sikapku.
Suasana malam itu benar-benar syahdu, di bawah guyuran hujan dan juga dinginnya malam itu, Nadine mengucapkan kalimat penyerahan diri itu berulang-ulang. Aku semakin larut ke dalam perasaan cintanya kepadaku, tanpa sadar pipinya sudah menempel di pipiku, apa yang harus kuperbuat, ujarku dalam hati.
Pendekatan Nadine sangat berbeda dengan Cauthelia, jelas sekali Nadine tidak memiliki hasrat menggebu yang terpendam seperti halnya Cauthelia, sehingga perasaan yang aku rasakan saat itu adalah hangat dan nyaman. Memang aku sudah masuk ke dalam zona yang cukup riskan, tetapi aku rasa tetap aman bila bersama Nadine, deru napasnya tidak secepat Cauthelia memang.
Tanpa kuduga, dengan cepat ia mendaratkan bibirnya di bibirku, aku sangat terkejut, bahkan aku tidak bisa berpikir jernih saat ini. Ia melumat bagian atas bibirku dengan lembut, tidak mungkin, ini adalah ciuman pertamaku dengan seorang gadis, dan itu untuk Nadine, gadis yang selama ini ada di sebelahku. Ia melakukan itu dengan penuh hasrat, entah apakah semua gadis seperti itu, tetapi ritmenya tetap lambat.
Dinginnya malam di sana, membuat kami betah berpelukan lama-lama, kami saling tenggelam di perasaan ini. Sungguh aku tidak dapat menyangka keadaan akan berbalik secepat ini. Aku tidak mencium Cauthelia, tetapi aku malah mencium Nadine, sungguh aku tidak dapat berpikir lagi saat ini, hentikan, hentikan, hentikan, teriakku di dalam hati.
Comments (0)