Baca cerita
Kembalilah
Chapter 16 (Bimbang Diantara Dia) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita
Kembalilah
bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.
“Tam,” panggil Nadine dan membuyarkan seluruh lamunanku saat itu.
“Iya Nad, maaf aku malah ngelamun,” ujarku sekenanya saat mengetahui aku sedang melamun.
“Mikirin Lia yah?” tanyanya dengan nada sedikit lesu.
Aku lalu terdiam agak lama, “iya Nad, entah kenapa aku malah mikirin dia tadi,” ujarku dengan berusaha tersenyum.
“Tama mungkin udah gak bisa jauh dari Lia,” ujarnya lesu, “tapi nanti malem tetep jadi ke rumah Nadine kan?” tanya gadis itu, aku mengangguk pasti.
Setelah itu, ia menghabiskan sarapannya, dan sejurus kemudian, hujan semakin lebat turun dari langit. Aku menikmati saat-saat ini, saat dimana aku bisa bertemu teman-temanku, tetapi tidak melakukan Kegiatan Belajar Mengajar. Aku juga menikmati saat-saat aku bisa bertemu dengan gadis yang saat ini kupikirkan setiap saat, Cauthelia, Aerish, Nadine. Tidak, tidak, hanya Cauthelia dan Aerish, tidak dengan Nadine.
Kami lalu kembali ke kelas dalam cuaca yang dingin dan juga gelap itu, tentu saja dengan Nadine yang tetap mendekap mesra tanganku. Nadine, mau dibawa kemana wibawamu sebagai ketua OSIS yang tegas? Tanyaku dalam hati. Tetapi seperti yang aku katakan barusan, cinta itu absolut, ia tidak pernah salah.
Di kelas, sudah menunggu Aerish, dimana ia tersenyum kepadaku saat aku memasuki pintu kelas. Aku pun tersenyum ke arahnya, sesaat setelah Nadine melepas dekapannya, aku menuju ke arah Aerish yang saat itu duduk sendiri di belakang kursiku. Aku memberanikan diri untuk duduk di sampingnya, sudah sekian lama sejak kelas X, baru kali ini aku merasa ada di dekatnya lagi.
“Rish, maaf ya aku malah pake sweater dari Elya,” ujarku dan tersenyum.
“loh ini dari Lia?” tanyanya setengah tidak percaya.
Aku pun mengangguk pelan, “dia kasih ini tadi pagi pas aku jemput dia,” ujarku kepada Aerish, ya aku menyadari bahwa perasaanku kepada Aerish belum hilang, meskipun mungkin tidak sebanyak dahulu, tetapi perasaan hangat yang sama masih aku rasakan hingga hari ini.
“Kamu udah jatuh hati sama cewek itu ya?” tanya Aerish dengan nada yang lesu, aku terdiam mendengar pertanyaan Aerish saat itu.
Aku berusaha tersenyum dan menatapnya, “dan perasaan itu muncul begitu aja Rish,” ujarku pelan.
“Gak mungkin Tam, pasti kamu udah suka sama dia sejak dulu,” ujarnya sambil memandangku dengan tatapan bete.
“Aku gak pernah bener-bener kenal siapa Elya,” ujarku lalu terdiam, “pertama kali aku kenal Elya itu pas dia jalan kaki ujan-ujanan di depan rumah aku,” ujarku lalu memandang wajahnya yang sedikit bete.
“Terus kenapa ini kamu pake dasi dari Lia juga?” tanyanya dengan sedikit bete.
“Soalnya dia yang masangin tadi pagi, terus kayak yang aku bilang, aku ada rasa sama Elya,” ujarku dan tersenyum.
Aerish memandangku dengan wajah penuh kesedihan, entah apa yang ia pikirkan kepadaku, tetapi hal tersebut tidak mengubah pandanganku tentang sebuah peristiwa yang dahulu pernah terjadi. Ya, itu sangat menyakiti hatiku, tetapi dengan keyakinan yang aku miliki, aku masih tetap mencintainya walaupun aku tahu, mungkin ia tidak pernah mencintaiku.
Sudahlah, ucapku di dalam hati, aku pun masih belum mengerti apakah saat ini ia mencintaiku atau tidak. Yang aku tahu adalah, kini Aerish sudah berada di dekatku, dia kembali disaat Elya sudah memasuki hatiku. Mungkin sudah takdir yang dipersiapkan untukku, sehingga saat ini aku harus diliputi rasa kebimbangan yang amat sangat.
Jam istirahat tiba, aku masih duduk di kelas bersama Nadine yang juga masih di sampingku. Hari ini guru mata pelajaran Biologi dapat hadir untuk memberikan materi pelajaran, sehingga sebelum istirahat kami sempat belajar terlebih dahulu. Tidak lama kemudian, ada seorang gadis dengan sweater coklat melambaikan tangan ke arahku sambil membawa kotak makanan, ya dia Elya, pikirku dalam hati.
Tanpa berkata apapun kepada gadis yang duduk di sebelahku, Nadine, aku langsung berjalan pergi menuju ke pintu kelasku untuk menghampiri gadis yang saat ini benar-benar berada di dalam pikiranku. Tidak lupa aku menggunakan sweater yang ia berikan tadi pagi, ia lalu menyambutku dengan senyuman.
“Kakak,” sapa gadis itu dengan sangat manja.
“Iya Dek, bawa apaan tuh?” tanyaku sambil menunjuk kotak makan yang ada di tangan kanannya.
“Ini ada sesuatu buat Kakak, dicoba yah, mungkin enggak enak Kak,” ujarnya lalu membuka kotak makan tersebut.
Voila, 4 buah cupcakes cokelat ada di dalam kotak makan tersebut. Ini bukanlah makan siang yang berat, tetapi aku sangat salut dengan gadis ini. Kuperhatikan dengan seksama tekstur cupcakes tersebut, cukup baik dengan whipped cream berwarna merah muda serta garnish strawberry dan kiwi di atasnya. Ia benar-benar melakukan semuanya dengan total, ya sangat total untuk gadis seusianya.
Kami lalu duduk di kursi panjang yang terletak di depan kelasku, ia duduk di sampingku lalu ia mengambilkan satu buah cupcakes untukku. Tanpa kuduga, ia menyuapkan kue itu kepadaku, benar-benar membuatku terkejut sekaligus senang. Seorang gadis idola di sekolah benar-benar berada di sampingku saat ini.
“Dek, Kakak boleh ngomong satu hal gak?” tanyaku sambil menatapnya, ia lalu memandangku dan tersenyum.
“Mau ngomong apaan emangnya Kak?” tanyanya.
“Kuenya Dede enak banget, ini pas banget komposisinya,” ujarku seakan-akan aku adalah professional chef.
“Beneran Kak?” tanyanya dengan wajah yang berseri.
Aku menangguk pasti, “asli enak banget, cupcakes paling enak yang pernah Kakak makan,” ujarku sambil mengelus rambutnya.
Ia lalu menyuapiku cupcakes itu lagi hingga habis, luar biasa gadis ini, benar-benar istri idaman, sampai sejauh ini aku masih belum menemukan dimana kurangnya gadis ini, dan kalaupun itu ada, aku pasti bisa menerimanya dengan baik. Tunggu, aku? Rupanya perasaan ini semakin dalam kepadanya, dan semakin hari semakin dalam.
Kami menghabiskan waktu istirahat berdua di depan kelasku, dan lagi-lagi suara sumbang terdengar saat aku berada di sebelah Cauthelia. Dari yang mengejek bahwa aku menggunakan pelet, sampai dicap pengkhianat karena tadi pagi aku bergandengan tangan dengan Nadine, sementara siang ini aku berada bersama Cauthelia. Setelah jam istirahat selesai, aku pun masuk ke dalam kelas sejurus seperti ia kembali ke kelasnya.
Setelah beberapa jam yang membosankan, akhirnya jam pulang sekolah tiba, aku masih duduk di kursiku dengan Nadine yang tengah memandangku dengan wajah yang memerah. Aku tersenyum kepadanya sembari menggunakan sweater milik Cauthelia, lalu aku pun bersiap untuk pulang.
“Jam berapa nanti Nad?” tanyaku kepada gadis itu.
“Kalau bisa jangan terlalu malam ya Tam, jam tujuh malem bisa?” tanyanya kepadaku, aku mengangguk setuju.
“Kalo begitu sampe ketemu di rumah kamu yah,” ujarku dan pergi dari kelas sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Aku bergegas menuju ke kelas Cauthelia sebelum hujan benar-benar turun lagi, karena kondisi di luar sangatlah mendung saat ini. Sesampainya di kelas gadis itu, ternyata ia sudah menunggu di depan pintu, ia tersenyum menyambutku. Tanpa banyak kata, aku menarik lembut tangannya untuk segera bergegas pulang karena cuaca sudah sangat tidak mendukung.
Kupacu sepeda motor milik Ayahku ini dengan kecepatan di atas rata-rata, hingga Cauthelia memelukku sangat erat. Tetapi memang mega sudah tidak kuat membendung muatannya, dan akhirnya tercurahlah semua airnya ke bumi. Karena ini sudah memasuki jalan raya menuju rumah Cauthelia, aku tidak memutar balik menuju ke rumahku melainkan tetap melanjutkan perjalanan hingga tiba di rumahnya.
Tubuh kami berdua basah kuyup, setelah tiba di rumahnya kami berdua malah tertawa kegirangan selayaknya anak kecil yang basah kuyup karena diperbolehkan bermain hujan oleh orang tuanya. Aku tidak berniat masuk ke dalam rumahnya dalam keadaan basah kuyup seperti ini, bisa merepotkan gadis itu nantinya, sehingga aku memutuskan untuk tetap berdiri di depan.
Tetapi, gadis ini punya pikiran lain, ia menarikku ke dalam dan memintaku menunggunya mengambilkan handuk kering untukku. Dan aku menunggunya di sana, tidak lama kemudian ia muncul dengan membawakan handuk kering kepadaku. Sejurus kemudian aku mengeringkan tubuhku dan aku duduk di sofa seperti biasa.
Dan lagi, tiga puluh menit penantianku di sana, akhirnya pintu kamar gadis itu terbuka. Perasaanku sedikit tidak enak mengenai hal ini, dalam bayanganku pasti ia akan menggunakan lagi pakaian seperti yang ia gunakan kemarin. Jantungku berdetak kencang bukan karena berharap ia menggunakan pakaian seperti kemarin, jantungku berdetak kencang karena aku takut ada ujian lagi yang ia lakukan.
Aku tertunduk agak lama, dan sejurus kemudian ia sudah berada di depanku, ah sudahlah, gadis ini memang tidak bisa membuatku tenang. Aku memandangnya lalu tersenyum, kemudian aku menghela napas panjang. Ia mengenakan daster yang cukup ketat yang bagian bawahnya hanya menutupi setengah pahanya. Aku kembali menghela napas panjang saat gadis itu duduk di duduk bersimpuh sebelahku dan itu membuat bagian pahanya lebih tersingkap.
Apa yang harus kuperbuat lagi, gadis ini sudah sangat mengujiku, aku hanya bisa tersenyum saat gadis itu memandangku dengan heran. Mungkin ekspresiku aneh saat melihatnya menggunakan pakaian seperti itu, yang pasti lekukan jam pasirnya terbentuk jelas saat ia berhenti sesaat di depanku tadi.
“Dek, Dede itu total banget sih godain kakaknya,” ujarku dengan wajah yang panas.
“Dede seneng ngeliat muka Kakak kalo merah begitu, lucu,” ujarnya lalu tertawa kecil, aku lalu ikut tertawa kecil mendengar kata-kata itu.
“Satu hal, Kakak tahu ini begitu cepet, cuma Dede itu bener-bener udah total ada di hati Kakak,” ujarku mengaku, entahlah bagaimana ekspresiku saat itu, tetapi aku benar-benar mengakui itu dari dalam hatiku.
“Satu hal yang Dede pelajari dari Mama, kalau mau minta sesuatu, jadilah total, Dede bukan cari pacar, tapi Dede cari Suami Kak, semoga Kakak ngerti maksud Dede,” ujarnya dengan wajah yang paling merah yang pernah kulihat dari kulitnya Cauthelia yang seputih kapas.
Ia tersenyum kepadaku, sementara jantungku langsung berdetak sangat cepat bagaikan Mike Portnoy sedang memainkan Intro This Dying Soul. Apa yang ia katakan? Sadarkah apa yang ia katakan? Pertanyaan itu terus terngiang di dalam pikiranku. Tanpa banyak kata, kuraih tubuhnya dan kudekap ia dengan sangat erat, entah perasaan apa ini, perasaan yang sangat aneh, aku mungkin mencintainya tetapi aku takut kehilangannya.
“Kakak, kenapa?” tanyanya dengan intonasi yang cukup menggelitik, Elya, Elya, Elya, kau sedang ada di dekapanku, tolong jangan membuat suara-suara aneh, ucapku dalam hati.
“Dede,” ujarku belum selesai mengatakan kata-kataku.
“Mungkin kalo Kakak bisa nahan rasa itu, tapi Dede enggak Kak,” ujarnya dengan nada yang berbeda, tetapi lebih menggelitik.
“Maksud Dede,” ujarku setengah terkejut.
“Masalah kumis Kak,” ujarnya pelan, deg jantungku berdetak lebih cepat lagi dari sebelumnya, Elya sadarlah Elya.
Comments (0)