Part. 15
Selamat Tinggal
Selamat Tinggal
Jantungku berdesir saat membaca kalimatnya. "Hatimu terbagi menjadi bagian Mas? Aku dan Gendis menempati berapa persen ruang di hatimu?"
Aku tertegun tanpa berniat membalas pesannya sama sekali. Aku mengetukkan jemariku yang lentik ke layar ponsel berusaha meneguhkan hatiku agar tidak masuk kedalam jebakannya.
"Aah.." aku menghentakkan kaki kananku ke lantai. Aku benar-benar membenci diriku sendiri! Mengapa suamiku sangat paham bagaimana cara menaklukkan hatiku?
"Ima.. kenapa tidak membalas pesan Mas? Apa kamu masih marah?"
Aku termangu membaca pesannya. "Pria ini pembohong! Jangan pernah kamu mempercayai semua ucapan dan perhatiannya!" Otakku berteriak menyuruh hatiku untuk tidak luluh oleh perhatian suamiku.
"Oiya, Mas ingin memberitahu. Sudah beberapa minggu ini indera pendengaran Mas mulai terganggu." Isi pesannya mulai mengusik hatiku.
Hatiku tergugah, akupun segera membalas pesannya "Memangnya ada masalah apa dengan pendengaranmu??"
"Entahlah tiba-tiba saja Mas kurang jelas saat mendengar suara apapun. Padahal Mas sudah berobat ke spesialis THT di dua RS yang terkenal tapi masih belum sembuh juga. Menurut keterangan mereka, indera pendengaran Mas tidak mengalami gangguan apapun, semuanya normal." Tuturnya memberikan penjelasan.
"Aneh.. pendengaran suamiku bermasalah namun dokter bilang tidak ada yang salah dengan indera pendengarnya?"
"Mas, bisa aku minta tolong? Saat ini aku memang tidak mengetahui apa yang sedang kamu lakukan di belakangku. Hanya Allah yang menjadi saksi perilakumu. Seandainya benar kamu menghianati aku dan Gendis, aku cuma minta kamu untuk berhati-hati. Sepertinya Allah tidak ikhlas jika kamu menyakiti kami." Entah dapat keberanian dan ide darimana sehingga aku berani memberi peringatan kepada suamiku. Seperti ada kekuatan yang menggerakkan jemariku untuk menulis kalimat itu.
Firasatku mengatakan apa yang sedang menimpa Mas ada hubungannya dengan puteri kami tercinta. "Mereka" tidak ikhlas jika aku dan Gendis disakiti oleh ayahnya. Saat ini Allah tengah memberi peringatan kecil ke suamiku. Seandainya Mas tidak menyadari pertanda ini, bisa saja musibah yang lebih besar akan menghampirinya.
"Mas masih menjadi suami Ima dan ayah bagi Gendis. Mas masih cinta Ima dan Gendis. Ima satu-satunya istri Mas." Jawaban dari suamiku terdengar menggambang. Dia tidak menolak ataupun mengiyakan tuduhanku.
"Nanti Mas hubungi Ima lagi sepulang dari RS. Dan kalau kaki Mas sudah membaik, Mas akan segera pulang ke rumah. Mas sudah tidak sabar ingin main bersama Gendis. Tolong cium pipi Gendis yang tembem untuk Mas."
Aku termenung membaca pesan terakhirnya. Tumben suamiku menanyakan kabar Gendis. Sebenarnya ingin kutanyakan bisnisnya bersama Nia, namun aku ragu. Lebih baik aku menanyakan perihal bisnis mereka jika suamiku sudah berada di rumah.
***
Setelah tiga bulan lamanya suamiku bertugas di kota hujan, akhirnya dia memberi kabar kepulangannya. Ada terbersit rasa bahagia di sudut hatiku walau aku masih belum bisa mempercayai suamiku sepenuhnya. Aku masih menaruh rasa curiga jika hubungan Mas dan Nia lebih dari sekedar rekan bisnis. Aku yakin benin-benih cinta lama telah bersemi di hati mereka.
Ditemani senja yang berwarna merah, aku membaca majalah ditemani secangkir teh hangat beraroma melati. Kuamati dari sudut mataku, Gendis sedari tadi asik mengoceh. Nampaknya ia mulai belajar bicara.
Putriku yang sedang duduk di lantai terlihat berusaha keras mengucapkan sebuah kalimat. Kuturunkan perlahan majalah yang sedang kubaca agar bisa mendengar jelas ucapan yang pertama kali terlontar dari bibirnya yang mungil.
Aku mengernyit bingung.
Apa aku tidak salah dengar??
Segera kuambil ponsel yang berada disampingku dan kunyalakan mode video. Perlahan kudekati anakku yang sedang berbicara sambil kurekam aktifitasnya.
"I-bu.. I....Ibu" ujarnya berulang-ulang dengan dengan suara terpatah-patah.
Tampaknya Gendis tidak menyukai jika aku merekam ucapannya, ia mulai mengamuk! Puteriku merangkak mendekatiku dan memukul ponselku dengan kencang hingga terjatuh dari genggamanku. Aku terperangah menghadapi serangannya yang begitu mendadak.
Tanpa merasa bersalah, anakku langsung membelakangiku dan mulai berbicara ke tembok "Ibu.. Ibu!"
"Ibu??" Pikirku menerka-nerka.
Kenapa kalimat pertama yang terucap dari bibir putriku adalah Ibu? Bukannya kalimat ayah atau mama seperti yang sering kuajarkan kepadanya? Siapa Ibu? Di rumahku tidak ada yang pernah kupanggil dengan sebutan Ibu!
Belum habis rasa keherananku, terdengar suara decit mobil berhenti di halaman rumah. Tak lama terdengar pintu gerbang dibuka. Dengan ujung mataku kulihat Mas sedang berjalan memasuki pelataran rumah.
Aku menatap ambang pintu yang sudah terbuka, tubuh tegapnya terbalut kulit yang terlihat menghitam akibat terbakar sinar matahari.
Suamiku mengucapkan salam sambil menatap penuh cinta ke arahku.
"Wa'alaikumsalam" jawabku dengan gugup berusaha menutupi rasa gundah di hati.
"Gendis, ayah pulang! Gendis kangen ayah tidak?" Tanya Mas kepada putri semata wayangnya.
Gendis menatap tajam ke arah ayahnya dan mulai merangkak mendekatiku. Putriku langsung membenamkan wajahnya kedalam pelukanku, walau sesekali ia berusaha mencuri pandang ke arah pria yang tengah berusaha memenangkan hatinya.
"Eh..Eh" hanya kalimat itu yang terucap dari bibirnya yang mungil sambil menunjuk ke ayahnya.
"Itu ayah Gendis baru datang dari Bogor" terangku sambil memangku tubuhnya yang mulai terasa berat.
"Gendis lupa sama ayah ya?" Tanyaku sambil menggenggam erat jemarinya yang mungil.
Mas melangkah perlahan kearahku, ia menatap sayu. Senyuman terkembang dari bibirnya yang merah, jemarinya mengelus puncak kepalaku, mengelus rambutku yang tidak terbungkus oleh jilbab ketika berada di rumah. Perlakuannya sukses memporak porandakan detak jantungku!
"Gendis takut karena jarang bertemu ayah ya?" Matanya menatap penuh perhatian ke arah puteriku.
"Ya sudah, ayah mandi dulu baru nanti main bersama Gendis " ujarnya sambil tersenyum manis.
Tak lama berselang terdengar suara adzan magrib berkumandang dari mushola di belakang rumah. Aku segera menghentikan aktifitasku yang sedang bercanda dengan putriku dan bersiap menunaikan kewajibanku. Kududukkan Gendis ke dalam baby walkernya "Tolong anteng ya Ndis, mama mau shalat magrib dulu" ucapku sambil mencium rambutnya yang beraroma strawberry.
Selesai menunaikan kewajibanku bermesraan dengan Sang Pencipta, kulihat di ruang tamu, Mas tengah membacakan kisah Nabi Musa ke puteri semata wayangnya. Wajah Gendis tampak antusias mendengarkan cerita ayahnya. Sesekali ia tertawa riang sambil bertepuk tangan seolah-olah paham dengan apa yang sedang dibacakan. Aku tersenyum simpul melihat tingkah puteriku.
Malam itu suasana di rumah terasa hangat penuh cinta kasih. Aku dan suamiku tertawa bahagia melihat tingkah laku Gendis yang lucu. Namun semuanya berubah saat nada ponsel suamiku berdering di tengah canda tawa kami.
"Halo" suara sopran suamiku terdengar menyapa. Entah sedang berbicara dengan siapa, suaranya terdengar serius.
"Sebentar Bu" ujarnya, kali ini Mas memakai isyarat tangan memintaku untuk mendekat ke arahnya.
"Ma tolong ambilkan NPWP dalam dompet coklat di kamar belakang" suaranya setengah berbisik karena tidak ingin terdengar oleh lawan bicaranya.
Dengan bergegas, aku segera menuju ke kamar belakang. Kulihat dompet kulit berwarna coklat tua tergeletak di atas meja. Segera kuambil dan kubuka isinya. Perlahan kucari kartu yang diminta suamiku.
"Aah ini dia kartunya" seruku sambil mengambil kartu yang didominasi warna putih yang berada dihimpitan kartu lainnya.
"Apa itu?"
Ujung mataku menangkap ada benda yang terjatuh ke lantai. Aku membungkuk dan mengambil benda yang ternyata sebuah foto berukuran kecil. Kuamati baik-baik wajah di foto tersebut.
"I-ini kan?" Aku termangu melihat wajah yang tampak tersenyum menghina ke arahku.
Jantungku berdesir kencang.
Di tanganku tampaklah foto Nia yang mengenakan jilbab biru tua sedang tersenyum manis. Tanganku bergetar menahan gejolak amarah yang merayap di hati.
"Ima mana NPWPnya? Mas butuh cepat!" Suaranya membuyarkan tatapanku yang mulai nanar.
"I-iya, tunggu sebentar Mas. " Aku segera menyelipkan foto tersebut ke dalam kantong celana panjang yang sedang kupakai.
Dengan tubuh bergetar, aku menghampiri suamiku dan menyerahkan kartunya.
"Wajahmu kenapa tiba-tiba nampak pias?" Tanyanya penuh perhatian.
Aku tersenyum getir "Entah Mas, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Mungkin tensiku drop karena kurang istirahat" jawabku berbohong.
"Ya sudah, kamu istirahat saja. Biar Mas yang menjaga Gendis."
"Baik Mas, terima kasih ya" sahutku pelan. Dengan langkah gontai, aku berjalan melangkah ke kamar.
Kubuka lemari pakaian perlahan dan kukeluarkan foto Nia dari kantongku. Segera kuselipkan foto tersebut diantara tumpukan bajuku. Suatu saat foto ini bisa menjadi bukti penghianatan yang sudah dilakukan suamiku!
Aku merebahkan diriku di atas peraduan. Kepalaku terasa berat karena terlalu banyak pikiran. Lambat laun mataku terpejam seiring dengan detik jarum jam yang terdengar berbunyi perlahan.
***
Tirai pekat malam telah tersingkap berganti dengan semburat cahaya dari ufuk timur. Aku menatap lukisan pagi yang terlihat sempurna, berusaha mendamaikan nuraniku yang semalam terluka.
Kuhirup aroma kopi dalam-dalam. Kemudian aku menyesapnya sedikit. Terasa panas dan pahit.
Aku termenung memikirkan foto yang semalam kutemui dalam dompet suamiku. "Sudah berapa lamakah hubungan yang mereka jalin? Dan sudah sejauh apa?"
Kulirik sekilas ponsel suamiku yang tergeletak di sudut meja ruang tamu.
Hati kecilku berbisik "Ayo Ima, ambil ponsel suamimu dan segera geledah isinya. Siapa tau ini hari keberuntunganmu! Cepat..!! Mumpung suamimu sedang mengajak Gendis berjemur! Ingat kesempatan tidak akan datang dua kali" bujuknya menggugah nurani.
Dengan ragu kuulurkan tanganku mengambil ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja. Jari jemariku dengan cepat membuka menu di layarnya. Pertama yang kubuka tentu saja aplikasi Whatsapp, seperti biasa semua pesan sudah dihapus oleh suamiku. Begitu juga panggilan masuk dan keluar di ponselnya tidak meninggalkan jejak sama sekali. Aku mendengus kecewa seperti anjing pelacak yang kehilangan jejak buruannya!
Aku menepuk puncak kepalaku "Aah, bagaimana mungkin aku bisa sebodoh ini!"
Jemariku segera membuka aplikasi file manager dan kubuka folder voicenote. Satu persatu mulai kuputar pesan suara yang belum dihapus.
"Tidak ada yang istimewa!" Gumamku merutuk diri sendiri.
Sebentar!!
Suara ini?? Aku mengerenyitkan kening dan mempertajam pendengaranku. Terdengar suara lembut wanita tengah berbicara dengan suamiku! Mereka asik bersenda gurau. Aku terhenyak berusaha menelan ludah dengan susah payah.
"Sial! Pekikku dalam hati. Kenapa mereka menggunakan bahasa Jawa! Aku tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan, namun aku tidak bodoh! Aku tau mereka sedang bercanda mesra. Aku mulai frustasi dengan apa yang tengah kudengar hingga akhirnya terdengar suara suamiku berkata "I Love You" diiiringi suara tawa manja membalas mesra "I Love You Too", diiringi kecupan jarak jauh.
Tanganku terasa lemas mendengar percakapan mereka. Hampir saja ku menjatuhkan ponsel suamiku dari genggamanku yang terasa luruh lantah. Seluruh tubuh terasa kaku, berat, tak mampu kugerakkan.
Berbulan-bulan lamanya aku mencurigai gelagat aneh suamiku. Entah sudah berapa lama aku berusaha mencari penyebab perubahan sikapnya dan sekarang aku berhasil mendapatkan bukti yang aku inginkan. Aku berusaha mengontrol diriku untuk tetap dapat berpikir jernih. Dengan perasaan gugup segera kukirim voicenote percakapan mereka ke ponselku.
Tak lama kemudian terdengar pintu garasi dibuka diiringi gelak tawa suami dan putriku.
Aku melihat sekilas ke arah suamiku, rona bahagia tampak memenuhi wajahnya yang tampan. Begitu juga puteriku yang terus tertawa sambil memegangi wajah ayahnya.
Dadaku terasa nyeri melihat kebahagiaan mereka.
Derap langkah kaki suamiku mulai memasuki ruang tamu. Wajahnya menatap mataku serta ponselnya yang masih berada dalam genggamanku.
"Ada apa Ima?" Ujarnya terbata-bata. Ia mengetahui perubahan raut wajahku.
Aku berdiri dengan tubuh bergetar dan mengambil paksa Gendis dari pelukan ayahnya. Iris mata putriku mengamati dalam-dalam mataku, ia mencoba mencari tau apa yang tengah aku rasakan. Jemarinya mulai mencengkram erat lengan bajuku. Anakku mulai merasakan apa yang sedang aku rasakan!
Kuputar suara voicenote mereka di hadapan suamiku. Wajah suamiku yang ceria berubah menjadi pucat, tubuhnya bersimpuh dihadapanku. Tangannya berusaha menggapai jemariku, namun segera kutepis. Tubuhnya lunglai, menatap pilu.
"Apa ini Mas? Ini suaramu dan Niakah?" Tanyaku lirih meminta penjelasan.
Senyum yang terkembang terhapus oleh rasa gugup "Iya itu suara Mas dan Nia" jawabnya mengangguk lemah.
"Tega kamu Mas!" Aku tersenyum getir.
Hening.
Masing-masing tengah mencoba menguasai diri agar tidak terbawa emosi.
"Setega itukah kamu mempermainkan janji pernikahan kita? Sebodoh itukah diriku yang sudah memberimu kesempatan dua kali?" Tanyaku dingin.
"Ima, tolong dengarkan Mas dulu." Pintanya memohon.
"Mas sudah lama putus dengan Nia. Tolong percaya sama Mas!"
Ketika kalimat itu meluncur dari bibirnya, aku merasa ada yang berderak di dadaku. Rasa sakit menjalar.
Kutatap wajah suamiku yang selama ini sudah menemaniku dalam suka dan duka. Aku menghela nafas pendek dan mengusap wajahku dengan tangan yang masih bergetar.
"Sudah berapa lama Mas?" Tanyaku lirih.
Suamiku terdiam, dia tidak bisa menjawab pertanyaanku.
"Apa saja yang sudah pernah kamu lakukan dengannya? Apa kamu pernah menyentuh tubuhnya?" Racauku pelan.
"Tidak!" Sanggah Mas menatap mataku.
"Apa kamu pernah mencium bibirnya?" Telisikku. Batinku belum puas mendengar jawabannya.
Suamiku menggelengkan kepalanya sambil menatapku lekat-lekat.
"Terus apa yang sudah kalian lakukan?" Ulangku berusaha mendapatkan jawaban.
"Mas hanya berbisnis dengannya. Dan kami hanya romantis lewat telepon, tidak lebih dari itu" Terdengar suara penyesalan suamiku sambil terus menunduk.
"Bisnismu?" Tanyaku sambil tersenyum sinis mencibir hubungan mereka.
"Bisnis kami tidak berjalan dengan lancar karena tidak ada yang menghandle dan mengawasi usaha di kota C." Sorot mata suamiku menyiratkan ketakutan.
"Ima tolong maafkan Mas" suaranya tercekat menanti jawabanku.
Kutatap wajah suamiku yang selalu kurindukan dalam setiap untaian doa yang kupanjatkan "Sekarang juga aku minta agar kamu segera mengemasi semua barangmu dan meninggalkan rumah ini secepatnya." Pintaku datar.
"Tapi Ima.." ia mendongak, menatap sendu ke arahku.
"Cukup Mas! Sudah cukup! Tolong hargai keputusanku." Air mataku sudah mengering, aku tak ingin menangis lagi. Aku harus tegar dengan keputusanku.
Dengan bimbang suamiku menuju ke kamarnya. Kulihat dia mulai mengemasi pakaiannya. Sambil menenteng tas ransel, ia menghampiriku "Ima, untuk terakhir kalinya bolehkah Mas menggendong Gendis?" Tanya suamiku dengan tatapan memohon yang menohok jantung.
Mas meletakkan ranselnya di dekat pintu dan melangkah maju, ia mengulurkan tangannya ingin menggendong puterinya untuk terakhir kalinya.
Kuserahkan Gendis ke dalam pelukan suamiku.
"Terima kasih" ucapnya setengah berbisik.
Mas membawa Gendis berjalan keluar. Sayup-sayup kudengar suamiku meminta maaf ke puteri kami atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat.
Tanpa membuang waktu, aku segera mengirim pesan ke wanita bernama Nia!
"Mba Nia, saya Ima istrinya Mas Dedi. Terima kasih ya Mba sudah menghancurkan rumah tanggaku. Hari ini aku berhasil mendapat bukti perselingkuhan kalian." Tulisku dengan hati yang hancur berkeping-keping.
Kuperhatikan Nia langsung online dan membaca pesanku. Tak lama kemudian dia langsung memblokir nomerku tanpa membalas pesananku.
Dengan langkah gontai, aku menuju kamarku. Aku juga mengemasi barang-barangku dan Gendis. Aku ingin meninggalkan rumah ini secepatnya. Rumah yang pernah memberiku teror ketakutan serta saksi bisu penghianatan suamiku.
Ketika amarah membuncah di dada, dan rasa kecewa menguasai hati. Ketika rasa benci menguasai diri, aku mencoba menarik nafas dan memasuki kesunyian.
Aku bersandar ke dinding yang dingin. Tubuhku merosot ke lantai.
Pertahananku luluh lantak.
Aku mulai menangis segukan sendirian...
Seluruh tubuhku rasanya tidak bertulang, begitu sulit untuk aku gerakkan. Dengan sekuat tenaga kucoba berdiri dengan berpegangan pada lemari jati yang berdiri kokoh disampingku.
Segera kuseka sisa airmataku. Aku berusaha menguatkan diri. Aku tidak ingin terlihat lemah di matanya! Dengan sisa kekuatan yang tersisa di tubuhku, aku melangkah ke ruang tamu menunggu kepulangan putriku dengan pria yang telah menghancurkan hatiku.
Tak butuh waktu lama bayangan suamiku mulai memasuki rumah. Mas menyerahkan Gendis ke pelukanku sambil tersenyum walau sorot matanya menyiratkan rasa bersalah.
"Ima, tidak bisakah Mas mendapat pengampunanmu? Tolong jangan pisahkan Mas dengan Gendis" suaranya parau menahan tangis.
Aku menggelengkan kepala dan tersenyum sinis.
Suamiku mengambil ranselnya dan berjalan mendekati kami. Tangannya mengusap lembut rambut ikal Gendis "Tolong maafin semua kesalahan ayah ya nak" tuturnya lembut dengan butiran airmata di kelopak matanya.
"Maafin Mas ya Ima jika selama ini tidak bisa menjadi suami dan Imam yang baik untuk dirimu dan puteri kita" ucapnya tulus.
Aku terdiam, berusaha menahan gejolak di dalam dada.
Dengan langkah lunglai Mas berjalan meninggalkan rumah. Tubuh tegapnya mematung di pekarangan rumah, menoleh ke arah aku dan Gendis seolah berpamitan untuk terakhir kalinya.
Langit tampak mendung, seolah melukiskan suasana hatiku yang berkali-kali terluka.
Tanpa menunggu lama segera kutelpon Pak Warsi untuk mengantarku ke rumah tante. Sekitar tiga puluh menit kemudian kendaraan Pak Warsi berhenti di halaman rumahku.
Aku membuka pintu mobil dan melirik sekilas ke arah rumahku. Aku menghela nafas "Selamat tinggal" bisikku pelan diiringi butiran kristal yang terjatuh dari mataku.
Sepanjang perjalanan, aku terdiam mematung walau sebenarnya hatiku meronta-ronta ingin menjerit melepaskan semua beban dihati.
***
Sesampainya di rumah tante, Pak Warsi membantuku menurunkan barang bawaannku dan segera pamit undur diri. Aku mengucapkan terima kasih dan melangkah ke dalam rumah dengan tatapan kosong.
Tanteku keluar dari kamarnya dan mengamati raut wajahku. Sepertinya beliau paham apa yang tengah aku rasakan. Beliau segera mengambil Gendis dari pelukanku.
"Ada masalah apa lagi dengan suamimu?" Tanyanya dengan raut wajah khawatir.
"Penyakitnya kambuh lagi ma! Kali ini Ima sudah tidak kuat. Ima mau pisah sama Mas."
"Terserah kamu, mama hanya bisa berdoa agar kalian diberikan jalan yang terbaik" ujarnya datar.
"Ma, Ima titip Gendis sebentar ya. Ima mau ke rumah Eyang" pintaku sambil melangkah ke luar rumah.
Aku mengucapkan salam dan mendorong pelan gerbang bercat putih. Terdengar jawaban dari dalam rumah. Kuperhatikan Eyang tengah duduk di ruang tamu yang pintunya tidak tertutup.
"Masuk Ima, ayo silahkan duduk." Pintanya ramah dengan tatapan menelisik tajam ke arahku.
Akupun memilih duduk di kursi dekat pintu.
"Apa yang sudah terjadi? Kalau saat ini Ima berdiri dekat daun pisang, niscaya daun pisangnya akan segera mengering layu" guraunya dengan mimik wajah serius.
"Eyang.." aku menggigit bibir bawahku berusaha menahan tangis.
"Ada masalah apa? Ceritakan semuanya sama Eyang. Anggap Eyang sebagai pengganti ayahmu" suara lembut menghiburku disertai tatapannya yang penuh kasih sayang.
Bibirku bungkam menahan isak, namun perhatian dari Eyang akhirnya membuat tangisku pecah...
Bersambung
Comments (0)