Baca cerita
Kembalilah
Chapter 15 (Bimbang Diantara Dia) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita
Kembalilah
bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.
Agak geli aku melihat SMS yang dikirimkan Dino kepada Cauthelia, apa-apaan dia mengirimkan SMS seperti itu. Aku memandang Cauthelia dengan sedikit sedih, ya kelebihannya bisa menjadi anugerah atau musibah untuknya. Hal tersebut pernah aku dengar keluar dari bibir merah mudanya waktu itu. Aku hanya sepintas pernah mendengarnya saat melewati kelasnya pada Masa Orientasi Sekolah.
Hujan kembali turun di pagi hari itu, aku masih berada di dalam kelasnya setelah aku mengantarkannya tadi. Perasaanku kepadanya sangatlah kuat saat ini, bahkan ia sudah mengganti dasi milik Aerish dengan dasi miliknya. Dan harum ini bukan hanya harum perfume miliknya tetapi juga harum tubuhnya yang sama seperti yang kucium kemarin.
“Kakak jadi ke tempat Kak Nadine nanti malem?” tanyanya memecahkan keheningan dengan agak sedih.
Aku terdiam sesaat, “iya Dek, Kakak udah janji sama dia,” ujarku dan berusaha tersenyum.
“Semalem apapun Kakak pulang dari rumah Kak Nadine, dateng ke rumahku yah, bisa kan?” tanyanya dengan penuh harap.
Aku kembali terdiam, agak lama, lalu aku mengangguk pelan, “iya Dek, Kakak nanti ke rumah Dede yah,” ujarku mengiyakan walaupun tampak tidak sepenuh hati karena aku ragu.
“Kakak suka enggak Dede pake baju kayak semalem?” tanyanya dengan wajah yang merah.
“Eh, kok tiba-tiba nanya begitu Dek?” tanyaku dan tiba-tiba pipiku terasa panas.
“Jawab ajah Kak,” pintanya dengan nada yang lagi-lagi menggelitik telinga.
“Sejujurnya kalo Kakak sebagai suami Dede ya Kakak suka, tapi karena kenyataannya Kakak bukan suaminya Dede, jadinya gak suka,” ujarku dan tersenyum.
“Okay kalo begitu Dede bisa yah jadi Istri yang baik buat Kakak,” ujarnya bersemangat, aku mengangguk.
Entah ada apa dengan gadis ini, senyumnya terlihat tidak biasa, sepertinya ia menyembunyikan sesuatu. Teringat aku akan diary yang ia berikan kemarin malam, sebenarnya apa isi dari diary tersebut? Aku sesungguhnya sangat penasaran, tetapi aku ingin menjaga komitmen aku untuk tidak membuka diary tersebut. Padahal semalaman aku terus berpikir, apa isinya, dan mengapa ia memberikannya kepadaku.
Kami berbicara banyak hal, hingga beberapa teman Cauthelia datang ke dalam kelas, okay, saatnya pergi, itu pikirku. Aku berpamitan kepada gadis itu dan ia mengantarkanku dengan lambaian khas dan juga senyumannya. Semakin hari, perasaanku semakin menjadi kepada gadis itu.
Kupandangi sweater yang ia berikan kepadaku, tanpa kusadari, aku menemukan kertas di saku sweater yang ia berikan kepadaku. Aku tidak ingin membacanya sekarang, sehingga setelah aku keluarkan aku kantungkan kembali kertas berwarna merah muda tersebut ke dalam saku lagi.
Aku tiba di kelas, di sana sudah menunggu Nadine yang menyambutku dengan senyuman, juga Aerish yang saat ini ada di belakang Nadine. Dan jantungku berdetak kencang saat kulihat ada Aerish di belakang Nadine, seakan mengerti apa yang kupikirkan Nadine tersenyum kepadaku, sangat manis dengan kacamata full frame otentik yang selalu ia gunakan.
Aerish menghampiriku dengan langkah sedikit gontai, ia memandang sweater yang kugunakan, dan akhirnya memandang wajahku. Ia tersenyum dengan tulus kepadaku dan aku pun melihatnya dengan penuh keheranan saat ini, dalam benakku apa yang terjadi kepada gadis ini. Aku lalu duduk di sebelah Nadine, ia juga tersenyum kepadaku, haduh hidupku kini menjadi semakin aneh, mengapa gadis yang biasanya ketus kepadaku kini tiba-tiba berubah menjadi malaikat?
“Tam,” panggil Aerish kepadaku, aku menoleh ke arahnya, “sweater dari aku mana?” tanyanya dengan wajah sedikit sedih.
“Dicuci dong Rish, kan sweater yang kamu kasih itu sweater baru,” ujarku membela diri.
“Tapi kalo udah kering dipake yah Tam,” pintanya, dan aku mengangguk pelan.
“Tama udah sarapan belum?” tanya Nadine saat itu.
Aku mengangguk, “kamu belum Nad?” tanyaku, ia pun menggeleng.
“Rish, boleh enggak aku pinjem Tama sebentar aja?” tanya Nadine, kepada Aerish, gadis itu tampak melihatku dengan agak sedih sampai akhirnya ia mengangguk tanda setuju, “Tam temenin Nadine makan ya, mau kan?” tanya Nadine kepadaku.
“Nanti aja bareng-bareng sama Aerish,” ujarku berkilah, tetapi tanpa komando Nadine menarik tanganku untuk menuju ke kantin.
Tidak sampai di sana, setelah ia menarik tanganku, ia mendekap tanganku, Nadine apa yang kau lakukan, ujarku dalam hati. Sepanjang perjalanan, ia mendekap tangan kiriku dengan sangat erat, sesekali bahkan ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Bagus sekali Nadine, kini seisi sekolah yang hanya sedikit pada pagi yang hujan itu memandang kita sedang berjalan menuju kantin seperti pasangan yang kasmaran.
Ada yang berubah dengan Nadine, entah apa yang terjadi kepadanya, tetapi ia kini bukanlah gadis yang jutek dan ketus seperti dia yang dahulu. Sesampainya di kantin, ia langsung duduk di sebelahku tanpa banyak kata-kata ia memesan sarapan favoritnya, Omelette.
“Demen amat sih Nad sama omelette,” tanyaku dengan sedikit heran.
“Emangnya Tama gak inget ya?” tanya Nadine kepadaku dengan wajah yang sedikit merah saat aku menatap ke dalam matanya.
“Apaan yah Nad?” ujarku kebingungan.
“Tama inget gak pas dulu pernah kasih Nadine omelette pas Nadine lagi laper di kelas X?” tanyanya dan aku mulai mengingat kejadian saat kelas X.
“Oh iya, aku inget Nad, emangnya kenapa kejadian itu bikin Nadine suka sama omelette?” tanyaku lagi, semakin penasaran.
“Nadine gak pernah suka sama telor, mau diapain aja, tapi telor bikinan Tama anehnya Nadine suka, gak ada rasa enek sama sekali yang Nadine rasain,” ujarnya dengan wajah yang sangat merah.
“Lah, kok bisa begitu Nad?” tanyaku hampir tidak percaya.
“Loh emangnya Nadine pernah bohong sama Tama?” tanyanya balik, aku pun menggeleng, “menurut Tama, Nadine gimana?” tanyanya, mirip seperti pertanyaan Cauthelia waktu itu.
“Pendekatan karakter ato fisik Nad?” tanyaku dengan pertanyaan yang sama kepada Cauthelia waktu itu.
“Gak mungkin secara fisik Tam, Nadine pasti dibawah Lia yang badannya bagus,” ujarnya dan mencoba tersenyum kepadaku.
“Nadine itu polos, jujur, tegas,” ujarku singkat, “selalu bisa mengambil keputusan dalam keadaan sesulit apapun, dan Nadine juga bisa bikin orang mengikuti apa yang kamu bilang,” ujarku, seketika wajahnya memerah, “satu lagi, Nadine itu keliatan banget imutnya kalo lagi benerin kacamata kamu yang full frame ini loh,” ujarku sambil memperbaiki kacamatanya.
Wajahnya langsung merah saat tanganku tidak sengaja menyentuh pipinya. Nadine, wajahnya yang manis dan juga sikapnya yang tegas, membuat gadis ini begitu unik. Tetapi akhir-akhir ini mengapa ia menjadi manja kepadaku? Terkadang aku menyadari dari caranya memanggilku, lebih seperti ingin diperhatikan. Perubahan yang terjadi pada dirinya juga cukup terasa, dari seorang gadis yang ketus, kini menjadi gadis yang sangat perhatian.
Makanan pesanannya pun tiba, ia memakan sarapannya dengan wajah yang masih saja memerah. Sesekali aku menggodanya dengan menyuapinya, lucunya meskipun awalnya ia menolak, akhirnya ia mau disuapi olehku. Kapan lagi melihat wajah Nadine memerah seharian. Sekilas dalam diamku, aku mengingat kembali Cauthelia, dan juga peristiwa semalam.
Entah apa yang terjadi dengan ideologi absolut yang selama ini kususun mengenai wanita, seakan sirna melihat tingkah gadis itu kepadaku semalam. Gadis yang protektif di luar, tetapi menjadi liar di dalam, dan jujur baru kutemui gadis seperti itu di diri Cauthelia Nandya. Ia selalu saja bisa menggodaku dengan kelebihan yang ia miliki, dibalik kesempurnaan fisiknya, ia selalu menjadi gadis yang ingin diperhatikan.
Entah berapa banyak energi yang harus terkuras apabila aku berada di sampingnya, bahkan kedekatanku seperti ini pun tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Cauthelia, ya Cauthelia, ada apa gerangan dirimu memberikan buku diary yang menurutku sangat sakral bagi hati seorang wanita, dan mengapa ia memberikannya kepadaku?
Entah bagaimana aku menghadapi semua dilema yang saat ini kuhadapi, tiga bidadari tanpa sayap kini ada di hadapanku dengan karakter dan juga kelebihan masing-masing. Tidak ada yang bisa memilih di saat seperti ini, terlebih semenjak perubahan sikap Nadine kepadaku akhir-akhir ini membuatku semakin berpikir, bisakah aku mencari jalan keluar dari semua ini?
Entah apa yang kupikirkan saat ini, hanya ada nama Cauthelia saja dalam tiga hari ini, Cauthelia, dan Cauthelia. Aku menyukainya, atau aku menyayanginya, atau aku mencintainya, sudahlah. Ada rasa cemburu saat aku membaca SMS Dino kepadanya, dan rasa itu sangat hebat sekali.
Entah apakah aku sudah jatuh hati kepada gadis sintal dengan segudang ilmu pengetahuan tentang mesin, dan juga kesempurnaan yang ia miliki. Tetapi Nadine dan Aerish juga masih belum bisa pergi dari hatiku, dan aku tidak serendah itu untuk mencintai ketiga gadis itu sekaligus, dan aku harus memilih.
Entahlah, entahlah, entahlah, berulang kali aku mengatakan itu di dalam pikiranku, dari semua masalah yang terjadi, aku hanya menginginkan satu, yang terbaik untukku dan untuk mereka. Rasa cinta itu tidak akan pernah bisa dibohongi dengan apa-apa yang telah terjadi, cinta itu absolut, dan tidak pernah salah.
Comments (0)