Part. 14
Pertengkaran
Pertengkaran
"Kamu itu hanya butuh duitku saja!!" Tatapnya sinis ke arahku yang terdiam mematung.
Mataku terasa memanas diikuti debaran jantung yang mulai berpacu kencang saat mendengat tudingan yang terucap dari bibirnya. Aku bangkit dari duduk dan kuhampiri suamiku yang masih menyandarkan tubuhnya dengan nyaman di sofa kesayangannya.
Dengan bibir bergetar, kukumpulkan segenap keberanianku "Sebentar!" Aku menatap nyalang wajah suamiku yang telah menemaniku selama sepuluh tahun.
"Apa katamu barusan? Coba ulangi lagi!" Bentakku sambil mengatupkan rahang kuat-kuat.
"Aku tidak salah dengarkan?"
Mataku mulai berkabut namun kukuatkan hatiku untuk tidak menangis di hadapannya! Aku tidak boleh terlihat lemah di matanya!
"Kamu bilang tadi aku cuma butuh duitmu saja? Apa kamu ingin mencari masalah denganku?"
Aku berusaha mengontrol suaraku supaya nadanya tidak terus meningkat di setiap kata yang terucap dari bibirku yang tipis.
Tangan kiriku mengepal erat. Tubuhku bergetar hebat. Aku mencoba menahan diri untuk tidak meninju wajah suamiku seperti dulu. Iya benar apa yang sedang kalian baca, tahun 2013 kami permah bertengkar hebat. Dengan penuh emosi kulayangkan tinju tangan kananku dan mengenai pelipis kiri suamiku hingga berdarah.
Dari situ aku merasa bersalah dan berjanji pada diriku sendiri. Semarah apapun, aku tidak akan pernah manyakiti siapapun lagi dengan tanganku. Aku juga teringat nasehat suamiku bahwa tangan itu seharusnya dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang baik bukan digunakan untuk sebaliknya.
Pandangan Mas terarah ke lantai, bukan ke mataku. Mungkin dimatanya, mataku tampak seperti serigala yang siap memangsa buruannya!
Aku menguatkan diri untuk terus menatap matanya
"JAWAB pertanyaanku!" Bentakku kasar.
"Sadar nggak apa yang baru saja kamu ucapkan? Sehina itukah diriku di matamu Mas?" Aku menghela nafas panjang mencoba mengontrol emosiku walau tampaknya sia-sia. Aku seperti gunung merapi yang siap memuntahkan lavanya kapanpun!
"Hey!" Kamu punya kuping dan mulut nggak?" Delikku seraya menatap tajam bagai pemangsa yang kelaparan.
Hening.
Tak ada satu patah katapun yang terdengar dari mulut pria yang sedang kuajak berbicara.
Tubuhnya tampak membeku!
"OTAKMU DiMANA MAS!!!" Pekikku tertahan.
Rasanya saat itu aku ingin menonjok dinding yang berada di hadapanku. Ingin kuluapkan semua amarah yang meledak-ledak!
"Kamu itu manusia apa tembok, Haah??" Ucapku berapi-api.
"Tadi kamu bisa seenaknya menghinaku tapi sekarang MANA??" Ayo lawan ucapanku!!!" Jeritku sambil tersenyum getir.
Tapi suamiku hanya terdiam dan tertunduk lesu menatap ke lantai yang memantulkan bayangannya.
"Heeh!! Diam bukanlah jawaban! AYO JAWAB PERTANYAANKU dengan mulutmu yang sudah berani menghinaku!!!"
Senyap... Yang terdengar hanyalah desah nafasku yang memburu!
"Coba kamu pikir, siapa yang sudah menemanimu dari belum punya apa-apa sampai sekarang?" Tanyaku terbata-bata.
"Apa aku pernah meninggalkanmu disaat dirimu terpuruk??? Apa perlu aku ungkit semua pengorbanan yang sudah kulakukan untukmu!" Tudingku ke arahnya.
"Uang katamu??? Ciih!!" Dengusku gusar.
"Coba kau ingat baik-baik siapa yang selalu menolongmu saat kesusahan? KELUARGAKU!!! Bukan keluargamu!!! Keluargamu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keluargaku!! Kalau bukan karena bantuan keluargaku, kamu juga tidak akan bisa seperti ini!!! Teriakku meluapkan semua emosi yang sedari tadi berusaha kutahan.
Ku tuding wajah suamiku yang tertunduk "Ingat satu hal Mas, ucapanmu tadi benar-benar sudah menyakiti hatiku! Sampai kapanpun akan aku ingat terus ucapanmu itu dan jangan harap akan aku maafkan!"
"Aku tidak ihklas kalau kamu bilang hanya mencintai uangmu saja! Kalau aku mau hidup mewah, bukan kamu yang aku pilih! Kamu sadar akan hal itukan?" Tanyaku sambil memijat kepalaku yang mendadak berdenyut.
"Mungkin saat ini kamu sudah tidak menganggap keberadaan aku dan puterimu lagi. It's okey, cuma aku minta tolong jaga ucapanmu! Hati-hati dengan hatiku, aku juga punya hati yang bisa sakit hati!! Seharusnya kamu yang paling paham dengan sifatku yang pendendam!" Tatapku sinis.
"Kamu!" Aku benar-benar sudah tidak mengenal siapa pria yang saat ini sedang berada dihadapanku. Karena saat ini kamu bukanlah orang yang sama yang dulu pernah kukenal. Entah karena apa tapi sifatmu telah banyak berubah Mas!" Sindirku sambil berlalu dari hadapannya.
Seandainya saat itu suamiku berani menjatuhkan egonya dengan mengucapkan permohonan maaf atas ucapannya yang sudah menghina diriku, niscaya emosiku tidak akan meluap seperti tadi. Sayang, Mas tidak berani meruntuhkan harga dirinya yang terlalu tinggi hingga akhirnya aku harus berbicara kasar kepadanya.
Aku memilih menjauh dari suamiku dan mengontrol emosiku agar jangan sampai ada barang berterbangan yang menjadi sasaran pelampiasan amarahku yang menggebu-gebu.
"Lebih baik aku menemani puteriku di kamar daripada harus melihat wajahmu yang menjijjkan itu!" Racauku dalam hati.
Kubuka pintu kamar perlahan, aku takut amukanku membangunkan Gendis dari tidur lelapnya. Alhamdulillah tampaknya peperangan aku dan Mas tidak mengganggu tidur anakku semata wayang. Kutatap wajah damai puteriku yang sedang tertidur pulas. Wajahnya terlihat cantik dan polos belum ternoda oleh dosa sedikitpun.
Aku duduk termenung di tepi ranjang, kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku yang tampak memucat "Kamu seharusnya menjadi pengganti figur orangtuaku yang telah tiada. Kamu, orang yang pernah mengulurkan tangannya ke arahku saat aku sedang terjatuh. Kau rengkuh aku dengan semua perhatian dan kasih sayangmu. Namun sekarang semuanya berubah. Aku seperti tidak lagi mengenalimu. Kemana dirimu yang dulu? Mengapa orang yang kucinta sekarang menjadi orang yang sering menorehkan luka?"
Segera kurebahkan tubuhku disamping puteriku. Kudekap tubuhnya erat-erat sembari berbisik terisak "Ndis, mama sudah lelah menghadapi perilaku ayahmu yang sudah tidak menghargai mama lagi. Hati mama sudah cape Ndis, cape..! Berjanjilah sama mama, Gendis tidak akan pernah menyakiti hati mama, tidak akan meninggalkan mama sendirian. Disaat semua menjauh, mama minta Gendis selalu setia disisi mama. Cuma Gendis yang bisa menguatkan mama. Hanya Gendis dan mama berdua selamanya..!" Bisikku dengan pipi yang mulai basah terkena air mata.
***
Keesokan paginya aku terbangun dengan leher yang terasa tegang akibat pertengkaran semalam. Aku menguap dan meregangkan otot-otot tubuhku yang kaku. Kulihat puteriku sudah terbangun lebih dahulu. Iris coklat mudanya tampak memandang ke arah langit-langit kamar sambil terus mengoceh sendirian diiringi gelak tawanya perlahan.
"Pagi Ndis" ucapku kepada belahan jiwaku sambil mengelus rambutnya yang tampak ikal serta kucium lembut keningnya.
"Terima kasih semalam Gendis tidak rewel ya, mama jadi bisa istirahat" ujarku seraya tersenyum menatap wajahnya yang menggemaskan.
Perlahan kubuka gorden jendela kamarku. Kulihat sinar surya mulai mengintip malu-malu dari ujung cakrawala.
Aku menatap ke arah cermin yang terletak dekat jedela kamar. Kutatap bayangan dalam cermin jati yang terpatri indah menghias dinding kamar. Terpampang pantulan wajahku yang terlihat lesu dengan mata sedikit sembab membingkai wajahku yang tampak pucat akibat harus menahan tangis semalam.
"Huuf.." desahku perlahan memikirkan peristiwa semalam. Pasti pertengkaranku semalam terdengar oleh tetanggaku yang hobi gibah. Siap-siap saja hari ini akan ada Ibu-ibu yang mengerubung bagai semut duduk di pos satpam untuk mendengarkan gibahan tetanggaku yang mulutnya super nyinyir itu.
Ku acak-acak rambutku yang tampak berantakan "ngapain juga aku harus repot-repot memikirkan ucapan tetangga, toh mereka tidak paham dengan kondisi rumah tanggaku. Apa juga yang harus kutakutkan? Gibahan mereka tidak akan membuatku mati kelaparan. Lagi pula aku jarang bergaul dengan mereka" gumamku berusaha menguatkan diri sendiri.
"Kreeeek..." derit suara pintu terbuka.
Kupertajam indera pendengaranku, terdengar suara gemiricik air dari kamar mandi. Suara pancuran air dari shower terdengar jelas ditelingaku. Sepertinya suamiku tengah berada di kamar mandi. Dia sedang bersiap-siap untuk pergi ke Bogor.
Tanpa membuang waktu segera kubuka pintu kamarku secara perlahan agar tidak mengeluarkan suara berderit. Dengan mendendap-endap, ujung mataku mengintip ke arah kamar mandi untuk memastikan kalau suamiku masih berada disana. Aku merasa menjadi pencuri yang sedang mengawasi target dalam rumahku sendiri! Setelah kurasa situasi aman, aku segera bergegas menuju ruang tamu.
"Ini saatnya!" Desisku dalam hati. Mataku berbinar saat kulihat ponsel suamiku tergeletak di atas meja ruang tamu. Dengan hati-hati segera kuambil ponselnya sambil Iris mata coklatku terus mengintai ke arah kamar mandi.
Saat ini jawaban yang sedang aku cari , ada di ponsel yang berada dalam genggamanku! "Ya Allah semoga ponselnya tidak memakai password" doaku dalam hati. Alhamdulillah tampaknya keberuntungan sedang memihakku, ponselnya benar-benar tidak memakai password.
Aku menjerit kegirangan dalam hati. Jari jemariku dengan cepat membuka layar ponsel suamiku. Aku cek percakapan di WhatsApp, namun aku tidak menemukan apa-apa. Tampaknya Mas lebih lihai, dia sudah menghapus semua percakapan di ponselnya. Segera kucek riwayat panggilan, lagi-lagi aku tidak menemukan apa yang kucari. Dentaman jantungku berdegub cepat. Tanganku gemetar disertai rasa gugup dan gelisah.
Saat itu aku benar-benar berpacu dengan waktu! Aku seperti seorang agen rahasia yang harus segera menyelesaikan misiku tanpa diketahui oleh musuhku. Berkali-kali ku mengelap telapak tanganku yang basah ke ujung baju yang kupakai.
Tanpa menunggu lama segera kucari kontak wanita bernama Nia. Tak perlu waktu lama bagiku untuk menemukan nama wanita itu. Segera kucatat nomernya dengan secarik kertas dan pulpen yang selalu tersedia di sudut meja ruang tamu. Tak lupa aku juga mengganti foto profil whatsapp suamiku yang sedang duduk sendirian di pantai menjadi foto kami bertiga. Aku benar-benar tidak sabar ingin melihat reaksinya!
Rasanya kakiku terasa lemas karena takut tertangkap basah. Aku bersikap seperti pencopet yang tidak mencuri! Aku sangat takut kalau Mas mememergokiku karena telah lancang menggeratak ponselnya.
"Hati-hati denganku Mas, aku tak sebodoh yang kau kira!" Bisikku dalam hati.
Setelah mendapatkan nomer ponsel wanita yang kucurigai, segera kukembalikan ponsel suamiku ke posisinya semula. Dan aku bergegas kembali ke kamar menemani Gendis yang masih asik mengoceh sendirian.
Tak lama kemudian terdengar pintu kamar mandi dibuka. Nampaknya suamiku sudah selesai membersihkan dirinya. Terdengar derap langkah kakinya memasuki ruangan yang bersebelahan dengan kamar tidurku.
Aroma parfum musk dari Louis Varel Extreme menyeruak masuk ke dalam kamar dan terhirup indera penciumanku. Dengan jantung berdebar, aku menyiapkan diri menanti amukan Mas karena telah lancang mengganti foto profil whatsappnya.
Sunyi...
Alhamdulillah, aku mulai bisa bernafas lega. Tampaknya suamiku masih belum menyadari kalau ponselnya tadi sempat aku geratak.
Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Sepertinya mobil jemputan suamiku sudah tiba. Aku tetap terdiam di kamar tak bergeming sedikitpun. Aku tidak berniat menghampiri dirinya terlebih dahulu dan meminta maaf. Aku juga tidak berniat mengantar kepergiannya bertugas sampai di depan pagar rumah. Ya sekeras itulah sifatku jika harga diriku sudah diinjak-injak.
Dengan gelisah, aku terus menunggu di dalam kamar. Aku berharap walaupun suamiku tengah marah padaku tapi dia tetap akan pamit dengan puteri kami satu-satunya. Namun harapanku hanya sebatas angan. Nampaknya Mas benar-benar marah dengan kejadian semalam sampai dirinya tidak mengucapkan kalimat sepatah katapun kepadaku dan Gendis.
"Braak" terdengar suara pintu mobil ditutup. Aku bergegas mengintip dari celah jendela kamar, kulihat suamiku sudah masuk ke dalam mobil yang dikendarai supirnya. Terdengar mesin mobil dinyalakan dan suara deru mobil mulai menjauh dari pekarangan rumahku.
Setelah kurasa situasinya aman, segera kuambil ponselku yang tergeletak di atas meja rias. Segera kukirim pesan ke sepupuku Dwi.
"Wii...!"Mba bisa minta tolong tidak?"
Kulihat saat itu status Dwi sedang online dan tak butuh lama aku segera mendapat jawabannya "Mau minta tolong apa Mba?"
Akhirnya kuceritakan semua kecurigaanku tentang Mas dan wanita bernama Nia. "Tolong save nomer wanita ini di ponselmu, Mba khawatir kalau Mas mengecek ponsel Mba dan menemukan nomer Nia, Mas akan marah dan menghapus nomernya! Nanti Mba kabari lagi apa yang harus kita lakukan."
"Okeh Mba, kirim aja nanti aku save."
"Thanks ya Wi."
"Yup!"
Segera kukirim nomer Nia ke Dwi.
"Sudah aku save ya Mba!"
Belum sempat aku membalas pesan dari Dwi, tba-tiba aku dikejutkan oleh dering ponselku.
"Tumben suamiku menelpon, jangan-jangan...?" Batinku dalam hati menerka kenapa suamiku menghubungiku.
Baru kuangkat panggilannya, langsung terdengar nada membentak dari ujung sana "Kamu ganti foto profil whatsapp aku ya?" Bentaknya kasar.
"Iya.. Kenapa? Memangnya aku salah kalau memajang fotomu, aku dan Gendis di profil whatsappmu?" Jawabku santai walau saat itu jantungku berdebar kencang karena takut.
"Jangan kurang ajar kamu berani mengganti foto profil aku seenaknya! Mas saja tidak pernah mengganti foto profil di ponselmu! Jangan pernah lancang lagi menggeratak ponselku tanpa ijin, aku nggak suka!" Hardiknya penuh amarah. Belum sempat aku lawan ucapannya, suamiku langsung menutup ponselnya dan menyudahi percakapan. Atau mungkin lebih tepatnya mengakhiri pertengkaran kami.
Aku terdiam..
Hatiku berdesir perih mendengar ucapan suamiku. Mataku mulai nanar berkabut. Kecurigaanku semakin kuat. Benar dugaanku pasti ada yang memberitahu Mas tentang foto profilnya yang aku ganti! Mas bukan tipe orang yang suka mengecek fotonya sendiri. Dahulu dengan leluasa aku bisa mengganti foto profilnya tanpa harus terkena marah. Sekarang??? Mas tampaknya tidak suka kalau aku memajang foto kami bertiga di ponselnya. Hal sepele seperti itu bisa memacu amarahnya! Sungguh keterlaluan! "Apa wanita itu yang memberitahu Mas?" Tanyaku dalam hati.
"Tuhan, mengapa orang yang kusayangi justru yang paling sering menorehkan luka di hatiku?" Kuusap bulir-bulir kristal air mata yang mulai berjatuhan dari kelopak mataku. Aku lelah jika harus terus menangis.
Mulai hari itu aku berusaha melupakan suamiku. Aku terus menyibukkan diri dengan membaca novel Sherlock Holmes yang menjadi salah satu bacaan favoritku. Aku juga semakin rajin membaca threat tentang anak indigo di KASKUS.
Aku begitu tenggelam dengan duniaku sendiri tanpa memperdulikan suamiku lagi. Tak kupedulikan dirinya yang tidak pernah memberi kabar kepadaku. Mungkin dirinya sudah nyaman dengan seseorang yang bisa membuat hatinya senang hingga untuk menanyakan kabarku dan puterinya saja ia enggan.
Menemani puteriku bermain adalah saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidupku. Dialah yang menjadi pelipur laraku. Wajahnya tampak bersinar saat tetawa dan tersenyum bahagia, membuatku melupakan rasa sakit hatiku. Aku benar-benar tidak ingin melewatkan pertumbuhannya sedetikpun. Aku tidak sabar menunggu kalimat pertama yang terucap dari bibirnya yang mungil dan merah merona.
Di satu sisi, aku dan Dwi juga menjadi detektif yang selalu mengawasi kontak suamiku dan Nia. Kuperhatikan setiap suamiku online, begitu juga dengan Nia. Dan itu bukan cuma terjadi sekali atau dua kali, namun sudah terlampau sering! Disaat yang sama mereka akan tampak online dan ofline berbarengan.
"Ya Allah tolong jangan siksa batinku seperti ini. Tolong beri aku bukti penghianatan suamiku...!" Pekikku dalam hati.
Namun Sang Pencipta tampaknya belum mau mengabulkan permohonanku.. Walaupun sudah kucek facebook suamiku, namun aku belum menemukan barang bukti yang menjadi kecurigaanku selama ini. Tampaknya Allah masih terus menguji kesabaranku, mungkin Sang Pencipta ingin melihat kesungguhan hatiku dalam menghadapi semua ujian dari-Nya yang selalu datang bertubi-tubi menghantamku.
Seandainya tubuh dan pikiranku ciptaan teknologi buatan manusia, niscaya saat itu mungkin aku sudah hancur berkeping-keping menjadi serpihan. Alhamdulillah aku merupakan salah satu ciptaan-Nya, sehingga dalam titik terendahpun aku selalu sanggup bertahan dan berdiri di atas ke dua kakiku sendiri.
***
Tak terasa sudah dua bulan semenjak kepergian Mas untuk bertugas di kota hujan. Terpisahkan oleh jarak dan waktu tidak membuat hubungan kami bertambah harmonis, melainkan semakin terlihat jurang perbedaan yang menganga lebar membentang diantara kami berdua.
Hubungan rumah tanggaku mulai hambar.. Tak ada lagi komunikasi di antara aku dan suamiku walau hanya berbasa-basi sekedar menanyakan kabar via telephone atau mengirim pesan. Dua insan mulai menentukan jalannya masing-masing, kami sudah tak seiring sejalan.
Aku paham mungkin sudah ada seseorang yang mengisi hati suamiku. Yang selalu menemani hari-harinya penuh dengan penuh canda tawa walau hanya sebatas lewat suara ataupun kalimat pesan yang menggoda. Nikmatilah hari-harimu tanpa ada perasaan berdosa suamiku, tanpa ada bayangan diriku dan puterimu yang hinggap dalam pikiranmu lagi.
Hingga suatu hari..
"Ting" terdengar suara pesan masuk masuk di ponsel. Kumelirik sekilas notif pesannya, tampak nama suamiku tertera di layarnya.
Aku menghela nafas pelan.
"Tumben" gumamku dalam hati.
Hatiku bimbang, haruskah aku membaca pesan yang baru saja kuterima atau langsung kuhapus saja pesannya tanpa perlu kubaca dulu apa isinya?
Akhirnya aku memutuskan untuk membaca pesan yang dikirim oleh suamiku. Nampaknya aku juga penasaran dengan isi pesannya. Setelah lama tak terdengar kabar, kira-kira kalimat apa yang akan ia tulis? Berita baik atau burukkah yang akan segera kubaca?
"Ma, apa kabar? Gimana kabar Gendis? Maaf Mas baru bisa memberi kabar karena kemarin-kemarin Mas sangat sibuk." Tulisnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Basa basi apalagi ini" gerutuku.
"Alhamdulillah baik." Hanya itu jawaban yang bisa kutulis. Hatiku masih sakit jika teringat ucapannya malam itu. Percayalah aku bukan orang yang mudah memaafkan! Sifatku sangat buruk, aku pendendam!
"Ma, Mas ingin memberitahu sesuatu tapi tolong jangan panik dan marah ya."
Mas mengirimiku foto.
"Astagfirullah" hanya kalimat itu yang terucap dari bibirku.
Mataku terbelalak melihat foto yang dikirim oleh Mas. Kuamati gambarnya yang tampak menjijikan seraya kututup mulutku dengan jemari tangan kanan.
Tampak darah membasahi celana hitam yang suamiku pakai. Aku melihat robekan dicelana panjangnya, terlihat luka memanjang yang sangat dalam. Kulit dan daging di betis kiri suamiku menganga lebar. Kakinya tampak seperti habis dicabik-cabik binatang buas, hingga menampakkan seonggok tulang keringnya.
Aku meringis ngilu saat melihat pemandangan yang tersaji di mataku.
"Ya Allah, kakimu kenapa Mas?" Tanyaku iba setelah melihat luka separah itu.
"Tadi Mas lagi mengecek perkerjaan tukang dan kaki Mas tidak sengaja menginjak kerikil yang berserakan di jalan. Mas terpeleset hingga kaki Mas terjatuh mengenai besi."
Aku terdiam dan menghela nafas pendek.
"Tolong lain kali kebih berhati-hati kalau lagi bekerja. Saat bekerja pikiran itu harus fokus, jangan malah mikir yang macem-macem biar tidak terjadi accident."
"Iya.." Jawabnya singkat.
"Sebenarnya Mas tidak mau memberitahu Ima tentang kecelakaan ini. Mas takut Ima marah. Ima, Mas boleh bilang sesuatu?"
"Apa?"
"Mas kangen Ima dan Gendis. Mas kangen rumah."
Jantungku berdesir saat membaca kalimatnya. "Hatimu terbagi menjadi bagian Mas? Aku dan Gendis menempati berapa persen ruang di hatimu?"
Bersambung
Comments (0)