Aku juga menjadi sedih melihat apa yang terjadi kepada Cauthelia kali ini, semoga saja bukan permintaan yang aneh atau permintaan yang sullit untuk dipenuhi. Setelah sekian lama, gadis itu terdiam, ia menyeka air matanya dengan perlahan. Setelah ia tersenyum kepadaku, ia memegang tanganku hangat dan sesaat ia pergi dari sana menuju ke kamarnya.
Tidak beberapa lama kemudian, ia keluar dari kamarnya, dengan membawa sebuah binder berwarna dominan merah muda. Ia lalu duduk di sebelahku, dan tersenyum kepadaku dan ia memberikan binder tersebut kepadaku. Ia menatapku dengan tatapan sedih, dan ia benar-benar mencoba untuk tersenyum saat itu.
“Kak, ini diary Dede, isinya tentang Kakak, tapi Dede punya satu permintaan sebelum Kakak baca ini,” ujarnya dengan nada yang sangat sedih.
“Iya Dek, syarat apa itu?” tanyaku dengan nada yang pelan.
“Kakak boleh buka ini kalo Dede udah izinin,” ujarnya pelan, ia lalu menggenggam tanganku dengan hangat.
“Kenapa harus nunggu Dede izinin Kakak?” tanyaku dengan penuh keheranan.
“Nanti Kakak juga tahu,” ia lalu meneteskan air matanya.
“Udah Dek, gak perlu sedih, Kakak jadi sedih nih,” ujarku yang sudah memasuki emosinya, aku pun lalu mengusap air mata yang menetes perlahan.
“Karena Kakak gak tahu,” ujarnya lalu menggenggam tanganku yang berada di pipinya.
“Is breá liom tú go mór,” ujarnya pelan dengan wajah yang sangat merah sambil menatapku dengan sangat hangat, “cibé rud is mian leat dom, tá mé go hiomlán mise,” ujarnya lalu ia menurunkan tanganku ke tengah dadanya.
Tidak ada niatan sedikitpun di dalam hatiku untuk menyentuhnya, bahkan memikirkannya sedikitpun tidak. Yang kurasakan saat itu adalah detak jantungnya yang sangat cepat, selain ada perasaan lembut dan nyaman di sana. Perasaannya mungkin begitu dalam untukku, dengan alasan yang belum aku mengerti hingga saat ini.
Aku tersenyum dan kubelai rambutnya yang lembut itu, sejurus kemudian ia memelukku dengan sangat erat. Aku pun mendekapnya dengan erat juga, dan jantungku benar-benar berdetak sangat cepat saat ini. Apakah aku mencintainya? apakah aku menyayanginya? Apakah ia akan ada di hatiku untuk waktu yang lama? Pertanyaan itu terus terngiang di dalam hatiku.
“Kak, Dede cuma mau bilang satu hal, kalau misalnya Dede pergi, Dede minta Kakak jangan pernah lupain Dede yah,” ujarnya di dekapanku.
“Maksud Dede?” tanyaku kaget, “Dede mau kemana emangnya?” tanyaku tiba-tiba aku tidak ingin kehilangannya.
“Gak kemana-mana kok Kak, Dede akan selalu ada di sini buat Kakak,” ujarnya sedikit terisak.
“Terus kenapa Dede bilang begitu?” tanyaku dengan emosi yang juga meledak, aku ingin menangis rasanya saat ia mengatakan itu.
“Karena Kakak sungguh berarti buat Dede, dan Dede juga mau jadi berarti buat Kakak,” ujarnya dan mendekapku lebih erat.
Perasaan ini tidak dapat kuungkapkan, sedih, ya aku sangat sedih ia mengatakan itu, baru beberapa hari aku dekat dengannya tetapi ia sudah mengatakan seperti itu, seakan ia tidak ingin lagi ada di sampingku. Perasaan ini, aku benar-benar jatuh hati kepada gadis ini, kudekap ia lebih erat seakan tidak ingin kulepaskan.
Setelah kulepaskan dekapannya, kami pun berusaha untuk menenangkan diri masing-masing, wajahnya masih sangat merah saat itu. Dan kami pun melanjutkan menonton film sampai malam hari, hingga pada jam 2010 kedua orang tua Cauthelia pulang ke rumah.
Seperti kebiasaanku kepada orang tuaku di rumah, aku menyambut mereka dengan mencium tangan mereka, dan itu diikuti oleh Cauthelia. Melihat keadaan Cauthelia yang baik-baik saja, kedua orang tuanya tersenyum dan berterima kasih kepadaku, sejurus kemudian aku diajak makan malam bersama keluarganya. Kami bercerita banyak tentang semuanya yang terjadi di sana, termasuk semua yang kami lalui hari ini.
Dalam cerita makan malam tersebut, aku mengetahui bahwa keluarga Cauthelia hanya memiliki dua anak, yaitu Cauthelia Nandya dan juga kakaknya, sementara Mikayla Ariesta adalah anak dari Tantenya Cauthelia yang saat ini sedang berada di Perancis bersama suaminya. Pantas saja mereka berdua memiliki wajah yang cukup berbeda. Kakaknya bernama Rachelia, ia berkuliah di salah satu universitas di Bandung.
Saat waktu sudah menunjukkan jam 2100 malam, aku pun berpamitan kepada keluarga Cauthelia dan aku bertolak dari sana. Setibanya di rumah aku langsung bercerita tentang apa yang terjadi hari ini, setelahnya aku merapikan diri dengan mandi, lalu aku buka ponselku lalu aku mengirimkan SMS kepada Cauthelia.
Sejurus kemudian aku meletakkan ponselku di meja dekat ranjangku, setelah aku memasang charger, aku pun memutuskan untuk tidur. Dalam bayang-bayang saat kupejamkan mata, terlihat jelas wajah Cauthelia yang tersenyum, dan lagi-lagi aku makin tergila-gila dengan gadis itu.
Pagi tiba, seperti biasa setelah mandi dan bersiap, aku langsung mempersiapkan sepeda motor pinjaman Ayahku untuk berangkat ke rumah Cauthelia terlebih dahulu lalu pergi ke sekolah. Pagi ini sangat gelap, dan kemungkinan masih akan turun hujan sehingga hari ini bisa dipastikan mirip-mirip dengan kemarin.
Setibanya di rumah Cauthelia, adik sepupunya sudah menungguku di depan pintu, kali ini ia juga ingin segera berangkat karena ia takut terlambat masuk ke sekolah seperti kemarin. Tidak lama, Cauthelia juga keluar, masih dengan rambut indahnya yang digerai, juga masih dengan menggunakan sweater dariku. Ia tampak membawakan sesuatu dan tangan kanannya, disingkapnya tasnya ke arah kiri dan ia memberikan sweater berwarna maroon untukku.
“Ini buat Kakak,” ujarnya dengan tersenyum.
“Makasih Dek,” ujarku membalas senyumannya.
“Dipake yah Kak, ini bukan sweater baru ini bener-bener sweater aku kok,” ujarnya lalu membukakan sweater yang saat ini kugunakan, ia pun melihat dasi milik Aerish yang sampai saat ini masih kugunakan.
“Masih pake dasi dari Kak Aerish yah?” tanyanya dengan senyum yang menurutku agak meledek, aku tersenyum menahan malu dan mengangguk, “ini Dede kasih juga buat Kakak,” ujarnya dan melepaskan dasi yang ia gunakan dan memasangkannya untukku.
“Makasih yah Dek, baru kali ini Kakak ngerasain begitu diperhatiin,” ujarku dengan wajah yang terasa sangat panas, ia pun membalasnya dengan senyuman yang sangat manis.
Cauthelia tampak sangat cantik hari ini, setiap hari sejak aku mengenalnya ia memang sangat cantik. Dia juga adalah team dancer di sekolahku, banyak sekali yang mengagumi keindahan fisiknya, dan memang kuakui. Ia juga lemah gemulai saat melakukan tiap gerakan tarinya, aku pernah melihatnya saat pensi bulan Oktober kemarin.
Kulajukan sepeda motorku agar lebih cepat tiba di sekolah, tetapi salah satu jalan yang kugunakan menuju sekolah kini tergenang air sekitar 30 cm, dan hal itu cukup mengganggu perjalananku menuju ke sekolah. Halangan yang singkat itu pun kami lalui hingga tiba di sekolah, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 0625, sudah cukup siang untukku.
Saat aku mengantarkan Cauthelia ke kelasnya, aku dihadang oleh Herman dan Rendra, sahabat Dino. Sedang apa mereka di sini, pikirku dalam hati, sontak aku langsung melindungi Cauthelia untuk berdiri di belakangku. Mereka menghampiriku dengan wajah yang sangat menjijikkan.
“Gue disuruh bawa Lia, minggir loe,” ujar Rendra sambil berusaha melewatiku.
“Gak segampang itu bro,” ujarku, “ini negara hukum, loe macem-macem sama hukum, loe yang kualat,” ujarku sambil melindungi gadis itu.
“**g* loe Tam, jelas-jelas Bokapnya Dino pejabat, gampang buat dia nutupin semua,” kilah Herman lalu mencoba menarik tangan Cauthelia.
“Gak bisa,” ujarku dan menahan tangan Herman, “loe kalo berani satu-satu jangan macem banci maen keroyokan,” ujarku dan memasang kuda-kuda, meski sebenarnya aku hanya sampai ban kuning Taekwondo.
“Okay, selow, selow,” ujar Herman tiba-tiba, “gini aja Tam, daripada kita bertiga ribut, kita damai aja,” ujarnya lalu mengangkat kedua tangannya setinggi pundak.
“Maksud loe damai gimana?” tanyaku skeptis.
“Gue tahu, kita semua cowok normal, sebagai cowok normal pastinya loe kepengen juga kan sama Lia?” tanya Rendra, aku hanya mendengarkan tanpa berkata apa-apa, “gimana kalo kita kerjain dulu,” ujar Rendra.
“Kerjain gimana bro?” tanyaku seolah tidak mengerti apa yang mereka katakan, padahal aku mengerti kemana arah pembicaraan ini.
“Loe jangan muna deh Tam, loe juga pengen kan **r*p*** *o***-nya Lia?” tanya Herman dengan wajah yang sangat menjijikkan, “kita *e***e** aja bro, kagak perlu *i**s****, nanti kita rekam buat senjata kita,” ujar Herman lagi.
Jujur, kata-kata Herman benar-benar mencerminkan bahwa ia layak mendapat gelar Paardenkracht. Tidak lama kemudian tiba-tiba Cauthelia muncul dari belakangku lalu ia memukul wajah Herman dengan tas yang ia bawa hingga terjatuh. Aku sedikit kaget serta ingin tertawa melihat tubuh kurus Herman jatuh tersungkur karena dipukul Cauthelia.
“Loe jangan banyak bacot ya!” bentaknya menggelegar, inilah sisi pemberontak Cauthelia yang mungkin banyak orang belum tahu, “gue bukan cewek murah ***g**t!” ujarnya dan ia memukulkan tasnya lagi ke wajah Herman.
“Dek udah Dek, cukup,” ujarku lalu menahan tangan Cauthelia, tetapi seakan ia mendapat suntikan tenaga dari Direct Port Nitrous Oxide di mesin yang sudah dilengkapi Twin Turbo, ia bisa melepas tangannya dariku dan memukul wajah Herman sekali lagi.
“Dek udah Dek,” ujarku lagi tetapi sepertinya amarahnya sudah tidak terbendung, setelah menjatuhkan Herman, ia juga mencoba menjatuhkan Rendra dan ia berhasil.
“Loe berdua, bilangin sama Dino, kalo emang pengen gue balikan bukan gini caranya, gue juga gak sudi balikan sama dia!” bentak gadis itu dan suaranya menggelegar.
Kedua laki-laki itu berdiri sambil menahan sakit di wajahnya, mereka hanya memandang sinis dan malu ke arah kami, dan akhirnya mereka pergi dengan langkah yang gontai. Kurangkul gadis itu yang masih terlihat marah dengan napas yang menderu, kubelai lembut rambutnya dan ia pun mulai menenangkan dirinya.
“Dek, Kakak boleh tahu gak, Dino SMS apa sama dd?” tanyaku mengingat peristiwa tiga hari yang lalu, “oh yang itu yah Kak,” ujarnya lalu ia mengeluarkan ponselnya.
Aku lalu memandang gadis itu dan aku menggelengkan kepala, sejurus kemudian ia menunjukkan MMS yang berisi video dua insan yang sedang memadu kasih, aku pun menggeleng untuk kedua kalinya. Gadis itu menatapku dengan tatapan sedih, ia melengkungkan bibirnya ke atas dan menghela napas panjang, setelah itu ia menunjukkan SMS lainnya kepadaku.
Comments (0)