Global Notification

Mau Menulis Karya Mu Disini Sendiri? Klik Disini

- Chapter 13 (Bimbang Diantara Dia)

Lihat semua chapter di

Baca cerita Kembalilah Chapter 13 (Bimbang Diantara Dia) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita Kembalilah bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.

BIMBANG DI ANTARA DIA (BAGIAN 5)


      Aku kembali ke kelas, sepanjang jalan aku hanya bisa memikirkan Cauthelia dengan segala kesempurnaannya. Mengapa aku jadi bereaksi begini saat memikirkan Cauthelia, padahal aku bukanlah laki-laki yang mudah bereaksi dengan hal-hal seperti itu. Mata cokelatnya, rambut panjang bergelombangnya, wajah chubbynya, bibir merah mudanya, tubuhnya, sudah sudah sudah, hentikan, stop, aku makin tergila-gila kepada kesempurnaan gadis itu.

      Setibanya di kelas, suasana ternyata sudah ramai, saat tadi aku ke kantin ternyata satu persatu teman-temanku mulai berdatangan. Aku langsung menuju ke kursiku, di sana juga sudah ada Nadine yang saat ini tampak sibuk dengan mempelajari beberapa mata pelajaran. Aku memandangnya dari samping saat sedang serius seperti ini, sesekali kacamata full frame-nya diperbaiki posisinya karena agak turun.

      “Serius amat Nad,” sapaku.

      Ia hanya memandangku, dan berusaha tersenyum, “udah nganterin Lia?” tanyanya, aku mengangguk pelan.

      “Tama, Nadine bisa ngomong sebentar gak?” tanyanya tiba-tiba, ia menggenggam tanganku dengan erat.

      “Kenapa Nad?” tanyaku heran.

      “Besok malem Tama ada acara enggak?” tanya Nadine serius.

      “Besok malem ya, kayaknya sih gak ada Nad, kenapa tuh?” tanyaku lebih serius lagi.

      “Dateng ke rumah Nadine yah, Nadine mau kasih sesuatu buat Tama,” ujarnya dengan wajah yang sedikit merah.

      “Besok malem ya, nanti enggak enak kalo ada orang tua loe Nad,” ujarku.

      “Gak ada kok Tam, cuma ada Kakak Nadine doang di rumah,” ujarnya sambil memperbaiki kacamatanya yang baru saja turun.

      “Seriusan enggak masalah Nad?” tanyaku meyakinkannya.

      Ia mengangguk pasti, “iya Tama, itung-itung sekalian Nadine mau minta maaf sama Tama,” ujarnya dengan sangat menyesal.

      “Minta maaf apaan sih Nad?” tanyaku dengan tersenyum, “kamu gak salah apa-apa kok,” ujarku lalu memanggilnya dengan kamu, seketika wajah Nadine memerah, “jadi jangan merasa bersalah terus ya di depan aku,” ujarku dan ia benar-benar berubah.

      “Tama enggak sakit kan?” tanyanya pelan.

      Aku menggeleng pasti, ia lalu mencoba memegang keningku, saat itu aku benar-benar terkejut, “gak kok Nad, aku gak sakit,” ujarku dan tersenyum.

      “Tapi janji ya sama Nadine, besok malem Tama ke rumah,” ujarnya dengan penuh harap, aku mengangguk pasti.

      Dan ya, aku berjanji kepada Nadine untuk datang ke rumahnya besok, aku menjabat tangannya sebagai tanda bahwa aku menyetujui ajakannya. Aku pun tidak ragu dengan ajakannya, karena aku yakin Nadine pasti benar-benar mempersiapkanku suatu hal yang mungkin spesial menurutku.

      Tidak terasa, jam pulang sekolah tiba, aku berpisah dengan Nadine dan Aerish. Hari ini tidak banyak yang aku lakukan di kelas, hanya mencari beberapa inspirasi untuk melanjutkan proyek novelku, Tomorrow. Kulangkahkan kaki menuju kelas Cauthelia, sesampainya di sana, ia telah menungguku di depan kelas dengan senyumannya yang khas. Sesampainya aku di hadapan gadis itu, aku usap lembut kepalanya dan ia tersenyum kepadaku.

      Rambutnya halus sekali, itu yang tersirat di hatiku pertama kali, selain itu sangat harum juga, padahal ini sudah jam pulang sekolah. Dan seperti biasa, kuantarkan dia pulang dengan menggunakan sepeda motor milik Ayahku. Kami berbicara banyak hal, dan itu membuatku sangat gembira. Sejurus kemudian, kami tiba di rumahnya, dan suasana kali ini berbeda, di rumahnya tidak ada orang lain selain dirinya.

      Duo Stuttgart tidak terlihat di garasi mobilnya, hanya tersisa jejak ContiPremiumContact 2 ukuran 235 yang menandakan ini adalah jejak mobil W220 milik Ayahnya Cauthelia, sementara Pak Tamin dan adiknya, serta asisten rumah tangganya juga tidak ada di rumah. Aku memperhatikan Cauthelia, ia lalu tersenyum, seakan mengatakan aku baik-baik saja.

      Ia mengeluarkan kunci cadangan, lalu kami masuk ke dalam rumahnya, di sana ia langsung menelepon orang tuanya bahwa saat ini ia sudah pulang dan ada di rumah bersamaku. Setelah itu ia masuk ke dalam kamarnya, dan aku berada di ruang tamu, sama seperti kemarin saat aku kemari.

      Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, dua puluh menit, dua puluh lima menit, dan akhirnya tiga puluh menit aku menunggu, keluarlah Cauthelia dari kamarnya yang berada di lantai 2. Kali ini ia menggunakan tank top merah muda dengan hot pants hitam yang jelas sekali lebih pendek dari yang kemarin, “okay stay cool,” itu ucapku dalam hati padahal jantung berdetak sangat keras.

      “Kakak, maaf yah Dede lama,” ujarnya dan aku benar-benar mencium wangi sabun dan shampoo yang sangat kentara, ya dia pasti baru saja mandi, “Dede mandi?” tanyaku pelan, ia mengangguk pasti.

      Tanpa banyak kata ia menarikku dan mengajakku menuju ke lantai 2, haduh ujian apalagi Elya? Tanyaku dalam hati, aku sudah cukup banyak melalui rintangan hari ini, dan kumohon jangan tambah ujianku lagi. Ia memintaku duduk di sofa yang ada di lantai atas, lalu ia mengambil beberapa DVD Film dan ia menyodorkanku beberapa film tersebut.

      “Kakak mau nonton film apaan?” tanyanya dengan lembut, aku melihat beberapa film yang ia sodorkan, dan aku terarik dengan Transporter, karena selain film itu bagus, dalam film itu juga menggunakan BMW E38, sehingga merasa bahwa mobil yang dimiliki Ayahku digunakan dalam film tersebut.

      “Transporter aja Dek,” ujarku dan tertawa kecil.

      “Huuuuu, pasti gara-gara E38,” ujarnya sambil mengerucutkan bibirnya yang merah muda itu.

      “Okay, Dede setelin yah filmnya,” ujarnya lalu memasukkan piringan DVD tersebut kedalam pemutarnya, dan pembukaan film pun muncul dari televisi plasma miliknya.

      Tidak lama kemudian ia turun ke bawah, entahlah apa yang ia lakukan saat itu, mengetahui ia turun ke bawah dengan inisiatif aku menekan tombol pause yang ada di remote pemutar DVD tersebut. Tidak beberapa lama kemudian ia naik ke atas dengan dua gelas orange juice dan lasagna.

      Entah apa yang ada di pikiran gadis itu, ia mengetahui benar bahwa meja kaca di depan sofa tersebut posisinya setara dengan tinggi dudukan sofa, dengan santai ia menunduk untuk menyuguhkan lasagna dan juice tersebut dari depanku. Ia tidak melakukan itu sekali, tapi berkali-kali, aku sedikit menghela napas saat ia sudah selesai menyuguhkan apa yang ia masak tadi.

      Sejurus kemudian, ia turun ke bawah dan kembali ke atas, ia lalu duduk bersimpuh di sebelahku. Setelah itu ia menekan tombol play kembali dan kami mulai menonton film. Sore itu, keadaan diluar kembali tidak bersahabat, mega menumpahkan muatannya dengan gagah dan membahasi apa-apa yang ada di bumi. Hujan deras disertai petir terjadi sore ini.

      Film sudah berjalan sekitar 30 menit, aku mengagumi keindahan BMW E38 yang menjadi icon dalam film tersebut. Elya semakin mantap berada di sebelahku, sekarang ia menyandarkan kepalanya di pundakku, dan dari sini terlihat jelas bahwa tank top-nya cukup rendah sehingga belahannya terlihat jelas. Aku berusaha mengalihkan pandanganku, dan berusaha tidak memikirkannya.

      “Dede, gak takut pake baju gitu di depan Kakak?” tanyaku dengan agak ketus.

      Ia menggeleng dengan pasti, “sama sekali enggak Kak,” ujarnya lalu memandangku.

      “Ada alasannya kan Dek?” tanyaku pelan.

      “Karena Kakak itu orangnya bisa menahan hal-hal macem begini,” ujarnya lalu tertawa kecil, “kalau di lokomotif, Kakak itu bagaikan Westinghouse Brake, siap menghentikan laju kereta berapapun kecepatannya,” ujarnya dengan segala filosofi yang ia miliki.

      “Westinghouse Brake?” tanyaku heran.

      Aku tidak mengerti, “iya Kak, rem kereta,” ujarnya lalu tertawa kecil.

      Ia menyuguhkan masakan yang telah ia buat tadi, dan kami pun memakannya. Aku tahu, ia membuat masakan ini sendiri, dan ini bukanlah makanan instan. Rasanya luar biasa nikmat, seakan ia mengerti apa yang aku inginkan dari sebua lasagna. Seandainya aku bisa menikahinya suatu saat nanti, aku yakin aku pasti akan menjadi orang yang paling bahagia. Tidak butuh waktu lama, masakan tersebut pun akhirnya habis.

      Kami pun melanjutkan menonton film tersebut kembali, tanpa menaikkan tank topnya yang sudah turun ia masih saja menyandarkan kepala ke pundakku. Kecurigaanku meningkat saat ia mengambil ikat rambut di meja kaca yang berada di depan kami, dan ia mengulangi apa yang ia lalukan tadi siang, mengikat rambutnya dengan menarik tangannya ke belakang. Cukup lama ia melakukan itu, dan aku melihatnya lagi, kali ini wajahnya lebih eksotis dibandingkan tadi siang.

      “Kak, Dede mau ngomong serius sama Kakak,” ujarnya lalu ia duduk bersimpuh di bawahku, apa-apaan gadis ini, jujur kepalaku dipenuhi tanda tanya dan juga fantasi yang membuat memejamkan mata beberapa kali.

      “Mau ngomong apa Dek?” tanyaku pelan.

      “Besok malem mau enggak temenin Dede semaleman?” tanyanya dengan pelan.

      “Loh kenapa emangnya?” tanyaku lagi.

      “Besok malem Papa, Mama, Kayla, Pak Tamin, sama Bu Nunu pergi Kak, pulangnya jam duabelasan malem,” ujarnya penuh harap.

      “Maaf Dek,” ujarku singkat.

      “Kenapa Kak?” tanyanya dengan wajah yang kecewa.

      “Kakak udah janji sama Nadine buat dateng ke rumahnya tadi siang,” ujarku dengan pelan, ia terlihat sangat kecewa, wajahnya langsung berubah, tetapi akhirnya ia tersenyum.

      “Gak apah-apah kok Kak,” ujarnya memulai lagi dengan intonasi yang cukup menggelitik telinga, aku menghela napasku panjang.

      “Apapun yang terjadi, Dede pasti akan nungguin Kakak kok, semalem apapun Kakak pulang dari tempat Kak Nadine, Dede pasti tungguin,” ujarnya lalu berdiri dari duduk bersimpuhnya, ia membungkuk tepat di depanku, “yang pasti Dede seneng banget Kakak dateng kesinih,” ujarnya dengan intonasi yang sangat menggelitik telingaku, aku pun tersenyum kepadanya.

      “Dede bener Kakak masih punya Westinghouse Brake,” ujarku lalu memandangnya dengan pasti.

      Gadis itu tersenyum, lalu ia duduk di sebelahku lagi dengan posisi yang bersimpuh. Suasana sore itu sangatlah syahdu dengan hujan yang turun dengan derasnya. Sadar, posisi kami sudah sangat dekat satu dengan lainnya. Kepalanya makin mantap bersandar di pundakku. Tanpa aku sadari pundakku terasa panas, aku menyadari gadis ini menangis, ada ada dengannya tiba-tiba?

      “Dede kok nangis?” tanyaku dengan pelan.

      Ia menggeleng pelan, “Dede cuma sedih Kak,” ujarnya sedikit terisak.

      “Dede kenapa, cerita sama Kakak,” ujarku dengan nada yang sangat cemas.

      “Enggak apa-apa kok Kak,” ujarnya lalu tangisannya semakin menjadi, aku sungguh heran dengan gadis ini.

      “Dede punya satu permintaan Kak, Kakak mau penuhin enggak?” tanyanya dengan tangisan yang sudah menjadi, aku benar-benar tidak mengerti apa yang ia pikirkan saat ini, aku mengangguk setuju.

Tags: baca cerita Kembalilah Chapter 13 (Bimbang Diantara Dia) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah Chapter 13 (Bimbang Diantara Dia) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 13 (Bimbang Diantara Dia) online, Chapter 13 (Bimbang Diantara Dia) baru ceritaku, Kembalilah Chapter 13 (Bimbang Diantara Dia) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling

Cerita Lainnya Yang Mungkin Anda Suka

Comments (0)

Sorted by