Jantungku kembali berdetak dengan sangat cepat, aku memikirkan gadis itu aku takut terjadi apa-apa kepadanya. Tanpa banyak bicara, aku berlari menuju ke kelasnya. Entah mengapa, aku takut terjadi apa-apa dengan gadis itu, sesampainya di kelasnya aku terkejut ia tidak ada di sana. Kuraih ponselku dan aku mencoba meneleponnya, dial tone pun berbunyi.
“Hallo Kak,” jawabnya dengan nada yang terdengar baik-baik saja.
“Syukurlah,” ujarku dengan sangat lega, “Dede dimana sekarang?” tanyaku dengan napas masih terengah-engah.
“Dede di kantin kok Kak, tadi kan Dede diajak ke kantin sama Kakak, tapi Kakak masih ada urusan sama ka Aerish,” ujarnya dengan nada yang sedikit sedih.
“Maaf ya Dek,” sesalku, “Kakak nyusul kesana ya,” ujarku lalu menutup telepon tersebut.
Ucapan syukur tidak henti-hentinya terucap dari mulutku, jujur saja yang aku takutkan adalah Cauthelia bertemu dengan Dino dan ia diperlakukan tidak baik oleh laki-laki itu. Tidak ada yang membuatku merasa tenang selain keadaan Cauthelia yang saat ini baik-baik saja. Di persimpangan jalan menuju kantin, aku bertemu dengan Nadine dan Aerish yang nampak juga ingin pergi ke kantin, haduh akan ada drama apalagi ini, pikirku dalam hati saat itu.
Kupercepat langkahku menuju kantin, dan di sana sudah menunggu Cauthelia yang menyambutku dengan wajah yang terlihat sedih. Aku mengerti mengapa ia begitu bersedih, dan aku juga tidak pernah mengerti kata-kata apa yang ia ucapkan tadi saat ia meninggalkanku bersama Aerish di depan kelas. Dan yang paling bagusnya, Nadine bersama Aerish juga mengikutiku.
Aku duduk di sebelah Cauthelia dan saat itu pula mereka, Aerish dan Nadine juga duduk di depanku. Ini baru namanya cadas, Cauthelia, Nadine dan Aerish duduk semeja bersamaku, dan sontak itu membuat banyak mata yang berada di sana melihat kami. Kebanyakan dari siswa di sekolahku saat ini berada di kantin, dan kebanyakan juga dari mereka mengenal siapa Nadine dan juga Cauthelia.
Cauthelia mengeluarkan ponselnya, ia sepertinya ingin mencari kesibukan sendiri dengan bermain mobile game. Kami terdiam satu sama lain, hanya ada kontak mata yang dingin antara ketiga gadis itu. Berbicara Cauthelia, dahulu ia pernah bertengkar hebat dengan Rahma, salah satu anggota kabid OSIS yang juga menyukai Dino, dan saat itu Cauthelia lah yang memenangkan Dino. Tetapi semenjak itu, sikapnya jadi lebih baik, mungkin lebih tepatnya ingin menghindari masalah.
Nadine dan Aerish pun hanya terdiam, mata kedua gadis itu tidak lepas memandang Cauthelia, sadar dipandangi, Cauthelia kemudian melihatku dengan wajah yang sedikit sedih, aku berusaha tersenyum. Giliranku mengeluarkan ponsel, kubuka pemutar musik di ponselku, lalu kuputar sebuah lagu.
Lagu ini sangat bermakna dalam untukku, setidaknya untuk saat ini selain laguku sendiri. Entah untuk siapa lagu ini aku tujukan, untuk Cauthelia atau Aerish, aku pun terdiam sejurus seperti Cauthelia yang terdiam mendengar lagu slow rock ini bait demi bait, dimana terdapat lirik-lirik yang sangat romantis disuguhkan pada lagu ini.
“Ini lagunya siapa Kak?” tanya Cauthelia.
Aku menoleh kearahnya, “Bon Jovi, judulnya All About Lovin’ You,” ujarku.
“Kirain lagu Perancis gitu,” ujar gadis itu.
“Mana Kakak ngerti bahasa Perancis Dek,” ujarku kepadanya, dan ia tersenyum, “loh emang Dede bisa bahasa Perancis?” tanyaku dengan penuh keheranan.
“Je peux parler Français, agus is féidir liom labhairt Éire,” ujarnya dan tersenyum, saat itu wajahnya memerah sambil melihatku.
“Ternyata Dede ahli bahasa juga yah,” ujarku memujinya.
“Enggak banyak kok Kak, kebetulan kan Papa kerja di kedutaan, jadi Dede belajar bahasa Perancis sama Irlandia,” ujarnya dengan ekspresi khasnya, menjulurkan lidah dan menutup satu matanya.
“Tam,” panggil Nadine saat itu.
Aku menoleh ke arahnya, “ya Nad,” ujarku dan berusaha bersikap biasa di depannya.
“Maafin Nadine yah kalo misalnya tadi bikin Tama marah,” ujarnya dengan nada yang penuh kesedihan.
“Udahlah Nad, santai aja, gak perlu dipikirin,” ujarku dan tersenyum.
“Kak Aerish,” panggil Cauthelia, dan jujur saja itu membuatku sedikit terkejut.
Aerish pun memandang Cauthelia dengan agak sinis, “kenapa?” jawabnya sekenanya.
“Huuuuum, boleh pinjem iketan rambut gak?” pintanya dengan polos, sejalan kemudian ia mengambil ikat rambut dari saku kemejanya dan memberikan kepada Cauthelia.
“Makasih yah Kak,” ujarnya dengan tanpa ada rasa canggung.
Aku hanya melihatnya saat Cauthelia menerima ikat rambut tersebut dari Aerish, tidak ada wajah benci ataupun kesal kepada gadis itu. Tidak lama kemudian ia melingkarkan ikat rambutnya di tangan kanannya, dan saat itu ia mengangkat kedua tangannya ke belakang untuk meraih rambutnya yang panjang. Aku memandang gadis itu, dan dengan posisi yang ia lakukan tersebut, tentu saja membuat dadanya terlihat lebih membusung, saat itu ia malah sengaja memandangku dan menjulurkan lidahnya.
Gadis ini benar-benar mengujiku, ia malah berlama-lama mengikat rambutnya dan bodohnya aku mataku tidak lepas memandang dadanya saat itu. Haduh, bukan main Elya, itu pikirku dalam hati, setelah sekian lama ia membenahi rambutnya yang panjang, ia pun menyelesaikannya, dengan tetap menoleh ke arahku. Ia lalu tertawa kecil melihat sesuatu yang berubah di wajahku, dengan perlahan wajahnya mengarah kepadaku, dan ia membisikkan sesuatu di telinga kiriku.
“Gede ya Kak?” ujarnya setelah itu tertawa kecil, aku hanya memandangnya dengan sedikit malu.
“Ehm, mesra amat yah berdua,” ujar Aerish tiba-tiba dan kami pun memandangnya dengan heran.
“Biarin aja Rish,” ujar Nadine lalu tertawa kecil.
Hari ini dilewati dengan banyak peristiwa ajaib, dan aku mengerti ternyata sifat pemberontak dalam diri Cauthelia belumlah sirna sepenuhnya, ia masih senang menggoda Aerish di sana. Jam demi jam berlalu kami lewati hingga tibalah waktu istirahat. Dan menurut kabar yang kuterima genangan air sudah berada dimana-mana sejak pagi, sehingga sudah tidak mungkin lagi untuk warga sekolah datang pada hari ini.
Kami masih berempat, suasana memang tidak memanas, tetapi ketidakakuran sangat terlihat antara Aerish dan Cauthelia, mereka selalu saja berselisih paham. Aku pun memesankan makan siang untuk kami berempat, bahkan mereka berdua masih saja berebut untuk mengambil minuman yang keempat-nya sama-sama teh manis hangat. Melihat itu aku hanya bisa tertawa, mereka berdua benar-benar seperti anak kecil.
Saat ini, apa yang kupikirkan, melihat ketiga gadis itu ada di hadapanku. Sesekali aku melihat sweater abu-abu yang diberikan Aerish tadi, juga dasi miliknya yang masih saja aku pakai sejak kelas X dahulu. Rasa itu masih ada untuk Aerish, aku sangat yakin dengan hal itu. Tetapi bagaimana dengan Cauthelia, ia juga tiba-tiba bisa mengisi hatiku, sangat ajaib, pikirku. Karena aku adalah orang yang sulit untuk jatuh hati, dan itu terbukti sejak kelas XI dahulu tidak ada seorang gadispun yang aku dekati.
Bukan karena aku tidak pandai bergaul, tetapi aku sangat yakin dengan perasaanku kepada Aerish. Namanya sudah tercantum di hatiku, bahkan semua bayangan tentang gadis ini juga sudah sangat lekat di hatiku. Satu hal yang aku heran, saat Cauthelia datang ke rumahku dua hari yang lalu, semuanya berubah dan gadis ini benar-benar bisa mengisi hatiku yang sudah lama kosong. Cauthelia, nama yang indah untuk dirinya yang sempurna.
Jam istirahat pun selesai, kami memutuskan untuk kembali ke kelas masing-masing, tetapi dengan terlebih dahulu mengantarkan Cauthelia ke kelasnya. Hujan masih saja turun meskipun tidak deras, dan hal tersebut membuat hari ini benar-benar dingin. Cauthelia memeluk sendiri tubuhnya dengan tangannya, padahal ia sudah mengenakan sweater, dan tidak lama kemudian, tibalah kami di kelas X-1.
“Dek, nanti pulang Kakak anterin yah,” ujarku.
Ia menggangguk pasti, “makasih yah Kak,” ujarnya, dan tiba-tiba ia melepas sweaternya, dan meletakkan di kursi di dekat kelasnya.
“Oh iya, tolong balikin ini ke Kak Aerish ya, bilang makasih,” ujarnya lalu kembali mengangkat kedua tangannya ke belakang dan melepaskan ikat rambut yang masih ia gunakan.
Lagi-lagi ia menjulurkan lidahnya, saat aku memandang ke dadanya, sungguh benar-benar gadis ini. Dan ia tetap berlama-lama berpose seperti itu, sampai ia melepas ikat rambut tersebut dan memberikannya kepadaku. Sejalan lalu ia mengambil sweaternya dan masuk ke dalam kelas dengan melambaikan tangannya kepadaku. Aku pun balas melambaikan tanganku kepadanya tentunya dengan senyuman.
Comments (0)