Aku menggandeng gadis itu dengan perlahan, dan sejalan kemudian ada satu tangan menahanku. Deg, detak jantungku berdetak makin cepat. Otakku berspekulasi, siapa yang menahanku saat ini, aku sudah bersiap dengan hal terburuk apabila memang yang menahan tanganku saat ini adalah Dino atau teman-temannya, tetapi perfume ini.
“Aerish, ngapain loe?” tanyaku sambil menoleh kearahnya.
“Enggak apa, aku cuma mau kasih ini,” ujarnya lalu memberikanku sweater berwarna abu-abu, aku memandangnya dan aku juga memandang Cauthelia, dan mereka berdua saling berpandangan.
“Kamu masih pake dasi dari aku kan?” tanya Aerish, seketika badanku terasa lemas, kakiku sedikit gemetar karena memang dasi yang saat ini aku gunakan adalah dasi yang ditukarkan oleh dasinya seminggu sebelum kepindahannya.
“Kak, kok diem?” tanya Cauthelia, ia makin erat menggenggam tanganku.
“Loe bener Rish, ini dasi punya loe,” ujarku bergetar, aku tertunduk, ya aku mengakui, rasa itu masih sangat erat untuk Aerish.
“Sama kayak aku yah,” ujarnya lalu ia membalik dasi yang ia gunakan, dimana di sana ada tanda tangan dariku.
“Ní féidir liom cúram, is breá liom fós agat,” ujar Cauthelia pelan.
“Dek, Dede ngomong apaan?” tanyaku keheranan, ia mendekatkan badannya kepadaku, bahkan sampai dadanya menempel di punggungku.
“Ní féidir liom cúram, is breá liom fós agat,” ujarnya lebih keras, “Is breá liom tú,” ujarnya lagi, “Is breá liom tú,” ia mengulangi perkataannya sekali lagi.
“Dek, apa yang Dede bilang?” tanyaku keheranan, ia hanya terdiam di belakangku.
“Is breá liom tú,” ujarnya lalu ia melepas tanganku dan ia pergi melewatiku dengan tersenyum, wajahnya sangat merah saat itu, ia pergi sendiri ke kantin, tinggallah aku bersama Aerish di sini masih memegang tanganku.
“Loe suka sama Lia?” tanya Aerish langsung kepadaku.
Aku terdiam, aku mengangguk pelan namun pasti, “dan karena dia gue bisa sejenak lupain loe,” ujarku dan tersenyum kepadanya.
“Tam,” panggil Aerish ia lalu menggenggam tanganku, “apa kamu udah lupa sama janji kamu dulu?” tanyanya
Deg, jantungku berdetak sangat cepat saat itu, entah mengapa, lagi-lagi kenangan tentang Aerish muncul dalam benakku. Saat kupejamkan mataku, terlihat jelas semua kenangan yang pernah tercipta bersama Aerish. Dua tahun aku menyimpan rasa kepadanya, dan kini orang yang kucintai ada di hadapanku.
Tanpa sadar aku tersenyum sendiri dengan apa yang kuingat tadi, ia juga tersenyum melihatku. Ia melihat dasi yang ia telah tandatangani sendiri ia lalu menggenggam tanganku, Aerish, ya kedatangannya yang tiba-tiba juga membalikkan hatiku secara tiba-tiba dan melupakan apa yang telah terjadi kepadaku bersama Cauthelia.
“Kamu suka ujan kan?” tanya Aerish dengan nada yang sangat kurindukan.
Aku mengangguk, “ujanlah yang bikin kita kenal lebih deket, gak cuma loe, Nadine sama Elya juga,” ujarku dan tersenyum.
“Bisa gak, sebentar aja kamu ga ngomongin cewek gendut itu?” ujarnya dan aku sedikit terkejut mendengar kata-kata Aerish yang tidak pernah begitu membenci wanita lain sebelumnya.
“Elya bukan gendut, Elya itu montok dan bohay,” ujarku sambil tersenyum kecut.
“Okay, bisa gak kamu gak ngomongin cewek montok dan bohay itu di depanku, walau hanya sekali?” pintanya dengan senyum yang agak dipaksakan.
“Adakah suatu alasan, kenapa gue gak boleh ngomongin Elya?” tanyaku dengan sangat penasaran.
“Aku cemburu sama cewek itu,” ujarnya dan aku benar-benar terkejut dengan apa yang ia katakan barusan, karena Aerish bukanlah gadis yang mudah cemburu.
“Apa alasan loe cemburu sama dia, jujur sama gue?” tanyaku dengan heran.
“Karena dia punya apa yang aku gak punya, itu yang bikin gue cemburu,” ujarnya dan tertunduk.
Aku terkejut, apakah tubuh sintal Cauthelia membuatnya menjadi cemburu, ada perasaan bahagia, takut, canggung dan semuanya menjadi satu, aku tidak mengerti apa yang kurasakan saat ini. Dan saat itu kusadari bahwa Dino pun juga tidak ada di sana, sial Elya, pikirku dalam hati, tanpa banyak kata aku berusaha mencarinya dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, Elya, Elya, Elya, itu yang terucap dalam hatiku saat ini.
Comments (0)