Global Notification

Mau Menulis Karya Mu Disini Sendiri? Klik Disini

- Chapter 1 (Tentang Rasa Itu)

Lihat semua chapter di

Baca cerita Kembalilah Chapter 1 (Tentang Rasa Itu) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita Kembalilah bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.

TENTANG RASA ITU (BAGIAN 1)


     Sudah hampir dua tahun aku menyimpan perasaan kepadanya, namanya Aerish Rivier, ia dulu teman sekelasku saat masih kelas X SMA, sekarang aku sudah di penghujung semester pertama di kelas XII, dan jujur saja aku masih mengharapkan balasan dari pernyataanku saat kenaikan kelas XI waktu itu. Aku hampir lupa, aku Faristama Aldrich, aku bersekolah di suatu sekolah yang cukup favorit di kotaku dan berada di kelas unggulan, meskipun tidak ada yang bisa diunggulkan dariku.

      Sore ini, sepulang sekolah hujan deras mengguyur kotaku, sejak sebelum aku pulang sekolah hingga saat ini hujan masih saja membasahi kota ini. Beruntung rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah, hanya saja ya aku hanya menggunakan sepeda motor menuju ke sekolah, sehingga tetap saja kehujanan. Setelah selesai mandi dan berbenah, seperti biasa aku mengoperasikan notebook-ku dan mulai bermain video game.

      Sekilas aku pandangi jalanan yang dibasahi air hujan sore itu, tidak ada yang menarik dari jalanan selebar 4 meter yang berada di depanku. Cukup lama aku memandang keluar rumah dari dalam jendela, dan kulihat ada perempuan berjalan di sana. Kupandangi dengan seksama, dan ya itu adalah seragam sekolahku. Sedikit tertegun, mengapa ia pulang dibawah guyuran hujan pada sore itu, aku langsung turun dan bergegas menuju keluar rumah dengan membawa payung.

      “Hei,” panggilku saat ia mulai berjalan menjauhi rumahku, gadis itu menengok perlahan, “mendingan loe neduh dulu di rumah gue,” ujarku sambil mengampirinya dan memberikannya payung.

      “Makasih ya,” ujarnya lalu mengambil payung dari tanganku, gadis yang rambut panjangnya sudah basah kuyub itu menoleh ke arahku, wajahnya terlihat sedikit sedih.

      “Udah gak usah sungkan, loe masuk aja gak masalah kok,” ujarku lalu mempersilakannya untuk masuk ke rumahku, perlahan tapi pasti gadis itu memasuki rumahku.

Dengan sigap aku mengambilkannya handuk dan satu potong sweater yang biasa aku gunakan ke sekolah, mungkin bisa berguna untuknya. Jelas ia berasal dari sekolahku, tetapi entah ada di kelas mana, dan aku juga tidak pernah tahu ada temanku yang berasal dari kelas XII. Tanpa banyak kata, aku membuatkannya cokelat panas dan mengantarkannya ke ruang tamu tempat ia duduk di sana.

      “Loe dari sekolah jalan kaki?” tanyaku sangat heran sambil kupandangi seksama wajah gadis itu.

      “Iya, aku jalan kak,” ujarnya.

      “Kak?” tanyaku heran.

      “Kamu kak Tama kan?” ujarnya lagi, aku hanya mengangguk dengan penuh keheranan, “aku Cauthelia Nandya, X-1, salam kenal ya kak,” ujarnya lalu menjabat tangaku.

      “Oke, salam kenal ya, gue Tama,” ujarku dan tersenyum kepadanya, “tapi satu hal, gue heran kenapa loe pulang jalan kaki dari sekolah?” tanyaku dengan heran sambil menunjuk ke arah sekolah.

      “Aku bingung kak, kalo mau cerita dimulai darimana,” ujarnya lalu tertunduk.

      “Oke anggap gue gak tahu dan gue gak mau tahu,” melihat perubahan sikapnya aku tidak melanjutkan pertanyaanku lagi.

      “Rumah loe dimana emang?” tanyaku lagi.

      “Aku gak jauh kok dari sini, cuma ya aku emang sedikit kedinginan,” ujarnya dan berusaha tersenyum kepadaku.

      “Gue anter loe pulang, sekarang loe abisin cokelatnya, keringin baju loe, terus gue anterin loe pulang,” ujarku ringan.

      “Emangnya kenapa Kak?” tanya dia dengan wajah yang heran.

      “Bisa berabe gue kalo orang tua gue pulang terus loe masih di sini,” ujarku, lalu mencari kunci mobil yang biasanya tergeletak di meja.

      “Makasih yah kak, kamu mau repot-repot buat aku,” ujarnya dengan lembut.

      “Santai aja, pas banget gue liat ke luar pas loe lewat, anggap aja ini kebetulan,” ujarku dan aku sudah siap dengan kunci mobilku.

      “Kak, aku boleh bawa sweaternya gak?” tanya dia dan memandangku dengan tersenyum.

      Aku mengangguk setuju, “boleh emangnya kenapa?” tanyaku heran.

      “Gak apa-apa sih, cuma pengen aja,” ujarnya lalu ia tertunduk, aku hanya memandangnya dengan heran saat itu.

      Aku lalu menuju garasi dan memanaskan BMW E38 milik orang tuaku, gadis itu mengikutiku hingga kesana. Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum yang sedikit kupaksakan, ia lalu menghampiriku dan berdiri tepat di sampingku. Apa-apaan dia, gumamku dalam hati, karena baru kali ini ada gadis yang dekat denganku lagi semenjak aku berpisah dengan Aerish, aku tidak pernah mendekatkan diriku kepada gadis lainnya.

      Tentang Aerish, satu hal yang selalu aku ingat dari dia adalah segalanya tentang dia. Aku juga bingung, entah bagaimana aku tidak dapat melupakan apa yang telah kami lakukan bersama. Saat sejak kelas X, aku memang sudah dekat dengannya, bermula dari pertama kali aku bertemu dengannya pada saat masa orientasi. Sebenarnya saat itu aku belum benar-benar tertarik dengan gadis itu, hanya saja kebersamaanku sejak hari pertama orientasi membawaku lebih dekat dengannya.

      “Kak?” panggil gadis itu.

      “Eh iya, sorry gue ngelamun,” ujarku sekenanya.

      “Aku pikir kamu kenapa ka,” ujarnya dan tertawa kecil

      “Okay gue anter loe sampe rumah ya,” ujarku lalu masuk ke kursi pengemudi, ia lalu berputar melewati bagian depan mobil dan masuk di kursi penumpang depan.

      “Makasih ya kak udah mau anterin aku,” ujarnya dan tersenyum.

      “Sama-sama, eh loe tadi siapa namanya?” ujarku tiba-tiba aku lupa siapa nama gadis ini.

      “Cauthelia, kakak bisa panggil aku Elya,” ujarnya dan tersenyum.

      “Sebentar, gue inget-inget nama loe Cauthelia, biasanya loe dipanggil Lia kan?” tanyaku mulai penasaran dengan gadis ini, dia mengangguk dan tersenyum kepadaku.

      “Loh itu kakak tahu,” ia lalu tertawa kecil.

      “Iya gue pernah denger nama loe dari temen-temen sekelas gue,” ujarku lalu mulai menjalankan 2000 E38 750iL milik orang tuaku itu.

      “Kalo kakak tahu nama aku, kenapa kakak gak pernah tahu aku?” tanyanya dengan pelan, aku lalu memandangnya sembari berkonsentrasi saat keluar dari pintu gerbang.

      “Karena gue gak mau tahu,” ujarku sambil melajukan mobil bertransmisi otomatis ini, “oh iya ke arah mana rumah loe Elya?” tanyaku, ia lalu memandang ke arah jalanan.

      “Nanti pas keluar perumahan ini, kakak belok ke kiri,” ujarnya singkat.

      “Hah, jalan raya?” tanyaku heran, ia hanya mengangguk.

      “Loe bilang rumah loe deket?” tanyaku semakin tidak percaya.

      “Iya kak deket,” ujarnya sambil menjulurkan lidahnya.

      “Lah loe ngapain sekarang pulang jalan kaki sejauh itu?” tanyaku semakin merasa ini ada yang tidak beres, ia terdiam dan menunduk perlahan, aku sedikit keheranan melihat itu, ia lalu memandangku dan berusaha tersenyum.

      “Biasa kak, masalah cinta,” ujarnya dan tampak sedih.

      “Cowok ya,” ujarku ternyata lama-lama ingin tahu juga masalahnya.

      “Iya kak, nanti deh aku email ke kakak, punya email kan?” tanyanya pelan, aku mengangguk pasti.

      “Loe catet aja nomor handphone gue, nanti malem gue SMS loe alamat email gue,” setelah itu aku menyebutkan sendiri nomor teleponku.

      “Bentar ka, aku ambil hape dulu,” ujarnya lalu aku melihat ia mengeluarkan ponsel, lalu aku menyebutkan kembali nomor teleponku.

      “Makasih ya kak Tama,” ujarnya dan tersenyum.

      “Sama-sama,” lalu tidak terasa aku sudah tiba di jalan raya dan berbelok ke kiri.

      Setelah itu aku mengikuti instruksi dia, dan sampailah kami di sebuah perumahan yang terletak cukup jauh dari rumahku. Yang benar saja, mau tiba jam berapa dia di rumah apabila ia masih berjalan kaki? Masalah apa sebenarnya yang dia hadapi, mengapa sampai begitu beratnya sampai dia harus jalan kaki? Ah, mengapa aku jadi kepo begini ya, sudahlah tidak perlu dipikirkan lagi, yang pasti saat ini aku sudah tiba di depan rumahnya.

      Ia turun dari pintu kiri dan tidak lupa ia mengucapkan terima kasih, ia lalu tersenyum kepadaku dan menutup pintu mobil ini. Dan selesai, saat ia masuk ke dalam rumahnya, aku benar-benar menunggu sampai ia masuk baru aku memutar mobilku dan melaju pulang. Entah mengapa aku berusaha mengingat nama gadis itu, karena aku sedikit familiar dengan nama Cauthelia, karena sering disebut-sebut di sekolah, tapi ya sudahlah, aku melajukan mobil itu lebih cepat.


Tags: baca cerita Kembalilah Chapter 1 (Tentang Rasa Itu) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah Chapter 1 (Tentang Rasa Itu) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 1 (Tentang Rasa Itu) online, Chapter 1 (Tentang Rasa Itu) baru ceritaku, Kembalilah Chapter 1 (Tentang Rasa Itu) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling

Cerita Lainnya Yang Mungkin Anda Suka

Comments (0)

Sorted by